images/images-1682297114.jpg
Indonesiana

Tujuan Temu Trah di Hari Lebaran

Pulung Ciptoaji

Apr 24, 2023

808 views

24 Comments

Save

Bung Hatta bersama keluarga. Foto Fb   

 

                                                                       

Abad-id Sebuah pertanyaan dilematis bagi generasi muda, apakah saya memiliki trah..? siapakah leluhur saya, seberapa besar keluarga kami dan apa yang bisa membuat bangga untuk negara ?. Jawabannya bisa menjawab “ya” atau “tidak”. Sebab jika dilihat dari garis keturungan moyang sudah jelas nama dan perangkatnya hingga 4 sampai 5 generasi ke atas. Namun bisa dijawab tidak, sebab dari semua yang memiliki garis keturunan itu tidak memiliki hubungan emosional. Wujudnya hanya bentuk pengakuan pernah ada hubungan biologis saja. Namun ada juga hubungan kekerabatan berdasar garis keturunan itu masih dipelihara secara baik. Hubungan kekerabatan yang masih rukun ini disebut trah.

 

Syarat memiliki trah bukan berarti mereka anggotanya keturunan bangsawan atau tokoh terkenal. Ternyata banyak juga warga masyarakat mengenalkan trah mereka, meskipun dari golongan warga biasa atau wong cilik. Namun tentu saja, masih ada yang sengaja menghindari terbentuknya trah, karena banyak faktor. Mulai modernisasi, hubungan jarak, teknologi dan disrupsi budaya.

 

Banyak alasan sebuah keluarga sangat bersemangat untuk mendirikan ikatan kekeluargaan trah pada akhir-akhri ini. Bahkan beberapa diantaranya mampu berkembang pesat hingga membentuk pengurus dan kantor perwakilan kota. Misalnya kumpulan trah keluarga Han dan keluarga kek di Surabaya, ternyata memiliki cabang anggota hingga ke luar negeri. Perkumpulan anggota sangat besar, karena tokoh yang dianggap titik awal garis keturunan pernah hidup ratusan tahun lalu. Perkembangan perkumpulan keluarga ini sudah membentuk jaringan bisnis yang bisa memakmurkan seluruh anggota keturunan.

 

Contoh lain dari suku Jawa pembentukan ikatan kekeluargaan yang berlangsung sukarela misalnya keluarga Sumomarlin di Kelurahan Santren Kota Blitar.  Ada empat generasi dari urutan Canggah yang masih hidup. Yaitu Sumarmi anak dari Suromarlin generasi ke 2, kemudian Purwanti Cucu Suromarlin generasi ke 3, saya sendiri generasi ke 4, anak dan cucu sebagai generasi ke 5 dan ke 6.

 

keluarga pulung

Kelaurga Suromarlin di Kota Blitar. Foto istimewa 

 

Keluarga kami sangat menjaga tradisi dengan aktif menggelar pertemuan trah. Saat pertemuan berlangsung, banyak hal unik ditemukan. Misalnya seorang anak kecil dipanggil “Mas” oleh orang yang lebih tua umurnya. Atau seorang anak memanggil seorang bapak-bapak dengan sebutan “Dik”. Lalu kenapa yang lebih muda dipanggil mas, sedangkan yang lebih tua dipanggil dik. Ternyata begitulah tata cara memanggil kekerabatan keluarga di suku Jawa. Mungkin sekali anak kecil yang dipanggil mas itu ternyata memiliki garis keturunan yang lebih tua. Atau bapak-bapak dipanggil adik karena memang dia keturunan paling yunior di struktur kekerabatan. Orang Jawa menyebutnya “Kalah Awu”

 

Macam-Macam Trah

 

Ikatan perkumpulan trah ini sesuatu yang baru dalam budaya orang Jawa. Sebab tidak pernah dalam sejarah masa lampau, dari masing masih punjer trah tersebut mewasiatkan ikatan keketabaan yang solid. Bahkan sejarah kerajaan-kerajaan sering mencatat hubungan sesama anggota trah justru sering terjadi pertikaian dan permusuhan. Misalnya trah Arjasa keturunan Ken Arok hingga keturunan Brawijaya. Lalu mengapa orang Jawa akhir akhir ini suka dengan pengakuan trah.

 

Pembentukan trah ini disebabkan naik turunnya keluarga seseorang di masyarakat. Seorang keluarga bangsawan yang jauh garisnya berusaha menunjukan kekuatan dengan garis keturunan utama. Tipe trah bangsawan ini mengambil pusat awal garis keturunan seorang raja atau bengsawan terkenal. Misalnya Paguyuban trah HB ke I. Namun banyak pula para priyayi yang sangat butuh pengakuan eksistensinya di masyarakat. Misalnya keluarga dari seorang Habdidalem (Ponggawa/pegawai) kraton Ngayogjokarto Hadiningrat tempo dulu ini. Memang, golongan Habdidalem tugasnya hanya menjadi pesuruh. Namun pejabat yang mangku kedudukan ini masih tergolong priyayi atau bangsawan yang terpandang pada masa itu.

 

Jabatan dari Sri sultan Hamengku Buwono ke VII terhadap mereka dinamakan Habdidalem Gandek. Artinya gandek masih menjadi utusan raja yang dipercaya. Sebab semua yang menjadi Habdidalem Gandek selalau diberi nama awal Duta. Misalanya Dutadipura artinya utusan keraton.

 

Jabatan Habdidalem Gandek ini sudah diperkenalkan raja sejak Sultan Hamengkubuwono ke VII. Mereka para Habdidalem Gandek mendapat hak istimewa tempat tinggal dalam satu daerah khusus. Tujuannya agar mudah koordinasi dengan Kanjeng Sultan. Daerah tersebut hingga kini dikenal dengan kawasan Gandekan Yogjakarta.  Semua  anggota keluarga juga diperbolehkan tinggal di kawasan itu.  Maka tidak heran, keluarga mereka punya status sosial di  masyarakat dan sangat disegani. Secara ekonomi keluarga Habdidalem Gandik juga lebih mapan. Misalnya anak anak memakai celana monyet (celana pendek kolor) dan mengenakan gelang emas di kedua tangannya. Gelang emas ini menunjukan kelas golongan anak-anak priyayi baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan Habdidalem Gandik selalu mengenakan pakaian khas Yogjakarta lengkap dengan topi pet. Setiap dalam tugas mengantarkan surat, para Habdidalem Gandik selalu mendapat pengawalan. Contoh lain keluarga yang aktif dengan perkumpulan priyayi ini misalnya trah Sumodilogo dan paguyuban Tri Darmo

 

Ada pula perkumpulan trah wong cilik, yang muncul akibat naiknya pamor salah satu anghota keluarga. Contohnya paling jelas misalnya pembentukan trah Mbok Berek sejak tahun 70an. Perkumpulan ini masih eksis dengan banyak kegiatan. Terangkatnya trah mbok berek karena pamor keberhasilan nenek mereka yang sangat terkenal karena memiliki warung ayam goreng mbok berek. Sementara trah keluarga santri biasanya muncul dengan menggunakan bahasa arab. Misalnya Bani Ilham, keluarga trah Nyai Haji Irsyad, keluarga Bani Muhamad Raji atau keluarga trah Pondok Ndresmo Surabaya. (pul)

 

 

 

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023