Sosok wanita yang menginspirasi Sukarno bernama Sarinah. Foto istimewa
abad.id- Jika bicara tentang golongan profesi manusia, namanya sudah diubah. Namun nasibnya tetap saja seperti sediakala. Dulu·pada jaman kolonial Belanda panggilannya Babu. Ada babu dalam, ada babu luar, ada babu masak, ada babu cuci, tetapi yang sering dan kebanyakan adalah "babu serabutan'.
Jaman orde baru mulai ada penghargaan terhadap profesi ini, dan media menyebut profesinya menjadi pembantu rumah tangga. Namanya sudah berubah, tetapi nasibnya sama saja. Kemudian jaman milenia namanya berubaha lagi menjadi Asisten Rumah Tangga. Jauh lebih keren, dan siap-siap akan diubah lagi menjadi pramuwisma, yang artinya kutang lebih sama tidak mempengaruhi nasibnya.
Profesi babu di jaman kolonial Belanda bisa jadi orang paling terjajah digempuran penjajahan. Bagaimana tidak, seorang dipekerjakan sebagai babu di sebuah keluarga priyayi atau Belanda, harus melayani majikan lebih dari urusannya peribadi. Dia wajib bekerja saat matahari belum muncul, dan berhenti saat matahari sedang tidur.
Banyak keluarga Belanda yang mempercayakan anak-anaknya kepada babu pribumi. Ternyata mereka tidak sekedar menjadi pengasuh. Di daerah tertentu juga dipanggil genduk-genduk. Babu menemani bermain, dan sekaligus tempat menumpahkan kemarahan. Misalnya saat majikan mandi di kali, dia bagian nungguin pakaian. Saat bermain bola, tugasnya lari-lari mengabil bola yang ditendang jauh kemana pun melesatnya. Lalu memandikan majikan. Kalau menyabuni saya lalu kena mata dan terasa pedih, bisa kena marah habis-habisan. Namun nilai kemanusiaan justru membawa menjadi jiwa solidaritas. Misalnya seorang sinyo atau noni Belanda jauh lebih paham budaya lokal dari para babunya. Bahkan Rasa kangen karena sangat dekat secara emosional masih dibawa hingga masa dewasa.
Begitu pula seorang babu Sarinah yang selalu dekat dan menjadi inspirasi Sukarno. Saat keluarga pindah ke Mojokerto, suasana masih ditandai kemiskinan dan diskriminasi. Beruntung Sukarno dadi golongan yang dianggap priyayi yang memiliki status sosial yang sama dengan orang Belanda dan keturunan Indo. Sukarno bisa masuk sekolah untuk 'golongan menengah di daerah perkotaan' seperti Mojokerto.
Si ayah Raden Sukemi seorang guru yang berwatak keras, baik di sekolah maupun di rumah. Sikap keras ini memperkuat kenangan negatif Soekarno tentang Mojokerto. Kenangan menurut Soekarno menimbulkan rasa segan, sedangkan jika mengingat ibunya seakan-akan terpatri gambaran seorang wanita yang sepintas lemah lembut. Padahal kalau mengenalnya lebih baik, ia bukanlah orang yang mudah untuk bergaul.
Bagi Sukarno, bukan ibu atau sang ayah yang menjadi tempat untuk berlindung saat gelisah. Bukan pula sang kakak perempuannya yang dua tahun lebih tua. Melainkan seorang babu Sarinah, gadis yang dipekerjakan di keluarga Sukarno. Babu Sarinah menemani sejak masih bayi tinggal di Tulungaggung. Di rumah kakek Sukarno tersebut, Sarinah sudah beradaptasi dengan majikannya. Sarinah sendiri berasal dari rakyat kelas buruh dan buta huruf. Keluarga Sarinah mengiklaskan anak gadisnya tersebut ikut ngeger di keluarga Sukarno di Mojoketo.
Setiap malam Sukarno membagi tempat tidurnya dengan Sarinah. Hubungannya dengan gadis yang beberapa tahun lebih tua itu sangat akrab. Sarinah yang mengajar Sukarno untuk mencintai orang-orang yang sederhana. “Sebagai manusia, Sarinahlah yang paling mempengaruhi hidup saya," tegas Sukarno yang disampaikan di sebuah biografi tulisan Lambert Giebels.
Rumah yang mula-mula dihuni keluarga Sukarno agak rendah, maka waktu musim hujan sering kebanjiran jika air kali yang mengalir meluap. Di musim kering, kali penuh air limbah yang kental. Lingkungan yang tidak sehat inilah menurut Soekarno yang menjadi penyebab sakit tyfus waktu ia umur sebelas tahun. Seketika sang ayah segera bertindak dengan berusaha melakukan ritual dan jampi-jampi. Sementara Sarinah tampak ikut gelisah dan panik begitu melihat kondisi Sukarno semakin lemah. Meskipun bukan saudara kandung, Sarinah berhasil mengabdikan diri secara total sehingga sangat dihargai keluarga Sukarno.
Kenangan dan pengabdian Sarinah terhadap keluarga Sukarno benar-benar menginsiprasi untuk membuat buku. Buku tersebut diselesaikan di sela-sela waktu senggang di Yogjakarta. Kesibukannya sebagai presiden dan situasi Agresi Militer Kedua, Sukarno masih menyempatkan menulis buku.
Buku ini bisa dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama membahas apa yang disebut Sukarno 'masalah kaum wanita'. Ia sudah mulai menulis buku ini ketika masih di Bengkulu, dengan menggunakan literatur dunia, yang dalam bukunya memang seringi disebut sebagai sumber referensi. Sebelum ia menerbitkannya, bagian ini oleh Sukarno diuji coba pada sekelompok wanita muda di istana, yang tak lain adalah murid-murid kursus ilmu politiknya.
Lima bab pertama tentang Sarinah. Sukarno mulai dengan membahas sejarah emansipasi wanita. Gaya oratoris yang menjadi ciri karangan Sukarno lainnya, di sini diganti dengan pendekatan serius bagaikan analisis ilmiah. Banyak penulis, pria maupun wanita, yang ia bahas sebagai pembandinh. Diantaranya Henriëtte Roland Holst yang banyak dikutip, serta feminis Belanda yang tersohor Clara Wichman. Lalu penulis-penulis terkemuka seperti Mary Wollstonecraft, Clara Zetkin dan penulis wanita berbangsa Rusia, Kolontai. Di samping penulis-penulis feminis ini juga dikutip sebagai pembanding beberapa ilmuwan dan peneliti seperti Condorcet,Goethe,Schopenhauer, Darwin, Mommsen,Toelstra, dan tentu saja favorit Soekarno, Jean Jaurès.
Dalam buku Sarinah tersebut, Sukarno berpendapat ada tiga tahap dalam sejarah emansipasi wanita. Tahap pertama ketika wanita menjadi 'priayi', yaitu waktu para wanita dari golongan sosial lebih tinggi, yang karena mempunyai banyak pembantu, mempunyai banyak waktu luang sehingga lebih bisa memperhatikan hal-hal yang menarik minatnya daripada sekadar urusan luar rumah tangga, seperti tata cara dan merias diri. “Tahap perkembangan wanita Indonesia masih terhenti di tahap ini,” demikian pendapat Sukarno.
Tahap kedua saat para wanita Barat mulai memperjuangkan hak pilih mereka. Seperti penulis feminis lainnya setelah dia, Sukarno menyimpulkan bahwa gerakan perjuangan emansipasi wanita untuk memperoleh hak pilih, tenggelam dalam suksesnya sendiri. Serta fase emansipasi wanita yang ketiga, yaitu gerakan sosialis. Sama seperti Engels, pendapat Sukarno dalam perkawinan komunal zaman dahulu kala wanita menikmati tempat yang lebih utama dari pria. Karena dalam kehidupan mengembara zaman itu, wanita yang harus mendukung beban yang paling berat, dan ia mempunyai tugas-tugas paling penting. “Wanita adalah pengolah tanah yang pertama, wanita yang pertama menciptakan kebudayaan; wanita yang pertama kali membuat Peraturan,” demikian Sukarno menulis. (pul)