images/images-1678012570.jpg
Sejarah

Dugaan Tentang Adanya Kapal Sriwijaya Ditahun 700-an Masehi

Malika D. Ana

Mar 06, 2023

421 views

24 Comments

Save

Dugaan Tentang Adanya Kapal Sriwijaya Ditahun 700-an Masehi

 

 

Abad.id - Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti diantaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand.

 

Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera.

 

Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

 

Prasasti Sojomerto

 

Adapun bunyi tulisan aslinya sebagai berikut :
1. … – ryayon çrî sata …
2. … _ â kotî
3. … namah ççîvaya
4. bhatâra parameçva
5. ra sarvva daiva ku samvah hiya
6. – mih inan –is-ânda dapû
7. nta selendra namah santanû
8. namânda bâpanda bhadravati
9. namanda ayanda sampûla
10. namanda vininda selendra namah
11. mamâgappâsar lempewângih

 

Yang terjemahan Bahasa Indonesianya kurang lebih sepeti dibawah ini: (Berhubung beberapa aksaranya rusak terkikis usia, maka yang disampaikan dibawah ini adalah penfsirannya.
"Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa
… dari yang mulia Dapunta Selendra
Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama istri dari yang mulia Selendra."

 

Sepuluh panel relief kapal yang terpahat di dinding Candi Borobudur memunculkan spekulasi, Wangsa Sailendra dari Kerajaan Mdang (Medang atau Mataram Kuno merupakan pelaut yang tangguh.

 



Kini replika kapal Borobudur dengan panjang 18,29 meter, lebar 4,50 meter, dan tinggi 2,25 meter buatan As’ad Abdullah, warga Pulau Pagerungan Kecil, Kabupaten Sumenep, Madura, itu ”dihidupkan” dengan merujuk dari salah satu relief kapal yang terpahat di dinding Candi Borobudur, tepatnya relief di sisi utara candi.


Replika Kapal Borobudur


Di candi tersimpan 10 relief, berupa 6 kapal besar dan 4 kapal kecil, kapal besar menggunakan layar (cadik), sedangkan kapal kecil menggunakan dayung.


Salah satu relief Kapal Cadik di Borobudur

 

Keberadaan relief kapal ini memunculkan dugaan bahwa pada masa Sailendra, dinasti yang membangun Borobudur, memiliki armada laut yang cukup kuat.

Ada dugaan Mataram Kuno adalah kerajaan maritim seperti Sriwijaya, dan perahu di relief Candi Borobudur bisa jadi milik pendatang yang berdagang ke Mataram, ada pula kemungkinan perahu semacam itu dimiliki Kerajaan Mataram.

 

 

Dinasti Syailendra di Jawa

 

 

Candi Borobudur

 

Samaratungga menjadi penerus kerajaan Mdhang (Medang). Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835.

 

Untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

 

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu.

 

Gambaran Kapal Cadik

 

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. 

 

Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa.

 

Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.

 

Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.

 

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Karena Dapunta Hyang (Sailendra) mempunyai dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).

 

Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.(mda)

 

Bahan Bacaan :

Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas.

Artikel lainnya

Seru, 400 Orang Jawa Sedunia Bakal Kumpul di Surabaya

Author Abad

Oct 04, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Politik Hukum, Tumbal dan Sumber Kegaduhan

Malika D. Ana

Jan 07, 2023

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023