Wawasan Dwipāntara Sebagai Cikal Bakal Wawasan dan Geopolitik Nusantara
Abad.id - Berbicara mengenai luas wilayah territorial Republik Indonesia, biasanya tidak lupa membicarakan pula Sumpah Palapa yang konon kabarnya diucapkan Mahāpatih Majapahit Gajah Mada pada tahun 1336.
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak akan melepaskan puasa dari makanan yang mengandung palapa (bumbu) alias puasa mutih. Beliau Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara insun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
"Jika telah mengalahkan Nusāntara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Demikian isi sumpah seperti yang ditulis dalam Kitab Pararaton. Dari kutipan Pararaton ini kemudian ditambah dengan kutipan Nāgarakĕrtāgama yang menyebutkan nama-nama tempat di Nusāntara, berkembanglah suatu anggapan bahwa luas wilayah Kerajaan Majapahit sama seperti luas wilayah Republik Indonesia sekarang ini! Isu ini kemudian dijadikan alat politik masa pemerintahan sebelum reformasi (1998) untuk menyatukan Nusāntara yang diwujudkan dalam alat komunikasi satelit dengan nama “Palapa”. Benarkan luas Majapahit seluas yang diyakini sampai saat ini? Apakah masih relevan isu Sumpah Palapa sebagai alat politik untuk mempersatukan Nusāntara di bawah negara Indonesia?
Sebetulnya ketika republik ini berdiri, sungguh kurang tepat jika Sumpah Palapa dijadikan semacam alat pemersatu karena ada semacam “dendam” sejarah ketika terjadi Perang Bubat, yaitu perang antara Sunda dan Majapahit. Akibat “dendam” sejarah ini, di tatar Sunda tidak ada nama jalan Majapahit, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada seperti di daerah lain di Indonesia.
Wilayah Majapahit
Nāgarakĕrtāgama dan beberapa prasasti dari jaman Majapahit menginformasikan tentang struktur kewilayahan kerajaan dan hubungannya dengan tempat-tempat lain di Nusāntara dan Asia Tenggara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk wilayah kekuasaan Majapahit hanya terdiri dari sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Bali. Mungkin sampai juga ke Sumbawa di daerah kaki gunung Tambora. Di wilayah kekuasaan ini terdapat 21 negara daerah yang dipimpin oleh Paduka Bhattara, seperti Mataram, Pajang, Jipang, Lasĕm, Janggala, Madura, Bali, dan Gurun.
Di luar negara daerah yang tergabung di bawah Majapahit merupakan desantara kacayya, yaitu daerah-daerah di Nusāntara dari Sumatra hingga Papua yang dilindungi oleh Raja Majapahit. Daerah-daerah ini tergabung dalam kerjasama regional, dan bukan merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Sebagai terimakasih karena telah dilindungi, daerah-daerah ini mengirimkan upeti (tributary). Daerah-daerah itu, misalnya Mālayu, Palembang, Tanjungpura, Pasir, Bantayan, Luwuk, Maloko, dan Seram. Keadaan seperti ini sama halnya ketika raja-raja (Dātu Śrīwijaya, Mālayu, dan Palembang) di Nusāntara mengirinkan utusan dengan membawa hadiah kepada Kaisar Tiongkok. Hal tersebut bukan berarti mereka adalah jajahan Tiongkok.
Adapun kerajaan-kerajaan lain di luar Nusāntara, seperti Champa, Khmer, Dwarawati, Burma dan lain-lain disebut dengan istilah mitra satata (negara-negara sahabat yang kedudukannya sejajar). Kerajaan-kerajaan ini menjalin hubungan politik dan perdagangan dengan Majapahit. Beberapa pakar arkeologi dan sejarah menduga bahwa politik perluasan Nusantara ini berakhir sampai tahun 1357, yaitu dengan terjadinya peristiwa di Bubat di Majapahit.
“Konsekuensi” dari anggapan tersebut tentu timbul pertanyaan seberapa besar angkatan laut Majapahit kala itu? Sementara itu Majapahit baru selesai menumpas beberapa pemberontakan yang terjadi di Tanah Jawa (kawasan inti Majapahit), seperti pemberontakan di Sadĕng dan Keṭa pada tahun 1331. Apakah mungkin Majapahit dapat menaklukan daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahannya? Beberapa sumber sejarah dari dua arah (Majapahit dan daerah taklukan) menyebutkan tentang penaklukan seperti dalam naskah Rāja Puraṇa (Kidung Pasunggrigis) menyebutkan tentang penaklukan Bali pada tahun 1343 dan Prasasti Wadu Tunti menyebutkan tentang penaklukan Kerajaan Kapalu di Sumbawa pada sekitar tahun 1343. Prasasti Wadu Tunti adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di desa Padede, kecamatan Donggo, kabupaten Bima, di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Prasasti ini pertama kali dicatat oleh peneliti Belanda G.P. Roufaer.Namun di tempat-tempat lain yang daftar namanya tercantum dalam Nāgarakĕrtāgama, sumber sejarah seperti itu nyaris tidak ada. Kalaupun ada, hanya bersifat cerita tutur yang diceriterakan dari mulut ke mulut yang pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan dan pada akhirnya hilang.
Prasasti Wadu Tunti Prasasti ini ditulis dalam aksara Jawa Kuno dan bahasa Jawa Kuno yang bercampur bahasa lokal. Kata wadu tunti dalam bahasa Bima (Mbojo) berarti 'batu tulis'.
Prasasti ini menjadi semacam bukti arkeologis juga ditemukan di beberapa situs di luar Jawa. “Bukti” arkeologis itu antara lain berupa tembikar dalam bentuk kendi yang oleh para pakar disebut dengan istilah “kendi Majapahit” dengan ciri mempunyai payungan dan dibuat dari tanah liat halus yang berwarna merah. Kendi semacam ini ditemukan di Situs Muara Jambi (Jambi), Ketapang (Kalimantan Barat) dan Bontobontoa (Sulawesi Selatan). Dengan bukti semacam ini beberapa pakar menduga bahwa daerah tersebut merupakan salah satu bagian dari wilayah Majapahit.
Wawasan Dwipantara
Pada sekitar tahun 1260 Kerajaan Mongol yang sudah menguasai Kekaisaran Tiongkok menunjukkan gelagat akan memperluas wilayah ke selatan hingga meyeberangi lautan. Pada tahun 1280 Khubilai Khan mendirikan Dinasty Yuan. Ini tidak berarti secara otomatis wilayah-wilayah lain mengakui pemerintahan Dinasti Yuan. Karena itu, segera ia memulainya dengan meminta pengakuan kekuasaan dari negara-negara yang sebelumya mengakui kekuasaan kaisar-kaisar Tiongkok dari Dinasty Song.
Jawa tidak luput dari rencana besar Khubilai Khan. Utusan yang membawa pesan supaya raja Jawa mau tunduk kepada Kaisar mulai datang pada tahun 1280 dan 1281. Tuntutannya agar raja Jawa mengirimkan seorang pangeran ke Tiongkok sebagai tanda tunduk kepada kekaisaran dinasty Yuan. Pangeran Singhasāri tersebut mungkin dipakai sebagai sandera, alat politik agar Singhasāri tidak melalukan pemberontakan setelah tunduk pada Kaisar Tiongkok.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa persatuan dapat terwujud apabila ada ancaman dari luar. Beberapa puluh tahun sebelum Mahāpatih Gajah Mada bersumpah, Mahārāja Kĕrtanāgara dari Kerajaan Singhasāri juga berniat menyatukan Nusāntara. Hal ini dianggap penting untuk menghadapai ancaman serangan Kerajaan Mongol. Prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang arca Camundi yang dikeluarkan oleh Mahārāja Kĕrtanāgara terkandung gagasan perluasan cakrawala mandala ke luar pulau Jawa yang meliputi daerah seluruh dwipāntara. Gagasan ini mulai diwujudkan pada tahun 1270 Masehi. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa arca Bhattari Camundi itu ditahbiskan pada waktu Śrī Mahārāja Kĕrtanāgara menang di seluruh wilayah dan menundukan semua pulau-pulau yang lain.
Dalam usahanya menyatukan Nusāntara, Śrī Mahārāja Kĕrtanāgara tidak selalu dengan kekuatan senjata. Dengan Kerajaan Mālayu, Singhasāri tidak melakukan peperangan tetapi menjalin persahabatan. Ekspedisi Pamālayu menghadiahkan sebuah arca Amoghapāśa kepada Mālayu-Dharmaśraya di daerah hulu Batanghari sebagai tanda persahabatan. Mungkin maksudnya mengajak beraliansi dalam menghadapi serangan tentara Mongol yang datang dari utara. Tetapi yang perlu diingat bahwa ketika itu gagasan menyatukan Nusāntara sudah mulai tumbuh, yaitu ketika mengantisipasi serangan dari luar. Namun sayangnya usaha menangkal serangan Mongol tidak berhasil. Singhasāri hancur bukan karena serangan Mongol, tetapi serangan dari Jayakatwang, raja bawahan Singhasāri yang sudah lama menaruh dendam.
Negara Kepulauan
Tampaknya aneh dan janggal apabila sebuah negara terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil. Di antara pulau-pulau itu ada laut yang bebas dilalui oleh kapal-kapal asing. Dengan demikian, seolah-olah Indonesia ini terpisah-pisah oleh laut bebas. Keadaan ini membuat risih para pemimpin Indonesia. Indonesia, lain dengan Sriwijaya, Singhasari ataupun Majapahit. Indonesia merupakan satu kesatuan bangsa, budaya, dan bahasa. Laut bukanlah sebagai pemisah tetapi merupakan pemersatu.
Berkaca dari perjalanan sejarah, bangsa Indonesia di bawah Perdana Menteri Djoeanda mengumumkan bahwa, ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.”
Inilah Deklarasi Djoeanda 1957 yang diumumkan ke dunia internasional pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri RI Ir. H. Djoeanda. Kelak pada masa pemerintahan Presiden Megawati, tanggal deklarasi tersebut diperingati sebagai Hari Nusantara. Kita patut bersyukur, kalau tidak ada pengumuman itu maka wilayah Indonesia hanya sebatas 3 mil dari garis pantai sebuah pulau, dan perairan di antara pulau merupakan perairan internasional.
Penerimaan masyarakat internasional atas konsep Negara Kepulauan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB melalui United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Dengan dasar hukum ini, diakui bahwa luas Republik Indonesia mencapai 1,9 juta mil² dan terdiri dari 17.508 pulau. Kini laut di antara pulau merupakan laut pedalaman yang tidak lagi bebas dilalui kapal-kapal asing.
Perjalanan sejarah Bangsa Bahari ini dalam membentuk sebuah Negara Kepulauan sudah sangat panjang. Pada masa Kadātuan Śrīwijaya di abad ke-7-10 Masehi Bangsa Bahari ini sudah mempunyai kedaulatan di laut dengan mewajibkan para saudagar asing menggunakan kapal-kapal Śrīwijaya kalau mau berniaga di wilayah kedaulatannya. Kemudian pada masa pemerintahan Śrī Mahārāja Kĕrtanāgara pada abad ke-13 ada usaha penyatuan dwipāntara, dan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit (abad ke-14) ada usaha penyatuan Nusāntara.
Latar belakang sejarah diatas mendasari tercetusnya Wawasan Nusantara sekaligus Geopolitik Nusantara. Geopolitik merupakan pertimbangan dasar dalam penyelenggaraan negara berdasarkan letak geografisnya. Secara umum Geopolitik juga bisa diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh letak geografis suatu negara. Suatu negara membutuhkan geopolitik untuk menentukan pembinaan politik nasional berdasarkan kondisi dan situasi geografis dalam mencapai tujuan negara.
Secara spesifik, geopolitik adalah metode analisis kebijakan luar negeri yang berupaya memahami, menjelaskan, dan memperkirakan perilaku politik internasional dalam variabel geografi.
Variabel geografi tersebut umumnya mengarah pada lokasi geografis negara atau negara yang dipertanyakan, ukuran negara yang terlibat, iklim wilayah tempat negara tersebut berada, topografi wilayah, demografi, sumber daya alam, dan perkembangan teknologi.
Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa yang majemuk mempunyai geopolitik tersendiri, yaitu wawasan nusantara. Wawasan nusantara merupakan cara pandang bangsa Indonesia terhadap lingkungannya.
Sebagai negara yang sangat luas dengan berbagai keragaman di dalamnya, Indonesia memiliki wawasan nusantara sebagai dasar pengembangan wawasan nasional. Bangsa Indonesia memandang wawasan nusantara sebagai visi dan perwujudan kebhinekaan (keberagaman) yang ada di Indonesia.
Hakikat dari wawasan nusantara ini adalah menyatukan perbedaan dan batasan wilayah di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke sehingga terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bersatu dan utuh dalam mencapai tujuan nasional Indonesia.
Wawasan nusantara Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan bangsa Indonesia yang berdasarkan falsafah Pancasila dan oleh pandangan geopolitik Indonesia yang berdasarkan pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Hal itu karena dasar pemikiran wawasan nusantara terdiri atas dasar pemikiran berdasarkan filsafat, kewilayahan, sosial budaya, dan kesejarahan.(mda)