images/images-1677761345.png
Sejarah

Sudomo, Laksamana di Tengah Lautan Jenderal

Pulung Ciptoaji

Mar 03, 2023

772 views

24 Comments

Save

abad.id- Orde Baru suatu masa paling dikenang orang di Indonesia. Di era yang dipimpin Presiden Soeharto ini, terdapat satu nama yang dikenal dengan julukan si Raja Tega. Namanya Laksamana Sudomo, pria kelahiran Malang 20 September 1926, perjalanan karirnya dimulai setelah Pertempuran Laut Aru. Sudomo kemudian dikirim ke Makassar untuk membantu Panglima Mandala, Mayor Jenderal Soeharto. Kerjasama Sudomo-Soeharto menjadi awal hubungan baik diantara keduanya.

 

Selepas lengsernya Presiden Soekarno usai Gerakan 30 September 1965, Soeharto mengambil kekuasaannya secara sistematis. Langkah ini tentu diiringi dengan bertugasnya Sudomo. Jika Soeharto dan anak buahnya melenyapkan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Angkatan Darat, maka Sudomo memainkan peran di Angkatan Laut.

 

 

Tugasnya membantu Kepala Staf Angkatan Laut yang saat itu dijabat Jenderal Soemitro, untuk “membersihkan” AL dari orang-orang berbau PKI. Menurutnya, semua yang terindikasi PKI harus disingkirkan, sebagaimana perintah Soeharto. Pada tahun 1969, Sudomo akhirnya diangkat sebagai Kepala Staf TNI AL, menggantikan Soemitro.

 

 

Salim Haji Said dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto mengaku sangat kenal dengan peran yang dilakukan Sudomo. Suatu saat pernah dihadapkan pada kasus Di/Tll pada masa Orde Baru. Ternyata bagi dunia inteljen,  pada dasarnya organisasi ini sengaja "dibangkitkan dari kuburnya” oleh Ali Murtopo untuk menakut-nakuti, dan memojokkan, dan menekan aspirasi politik lslam. Sudomo juga menjadi saksi menjelang akhir Orde Baru tidak lagi melihat Islam sebagai musuh. Buktinya, Soeharto mendukung berdirinya Bank Muamalat dan lkatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan mendorong B.J.Habibie, menteri kesayangannya menjadi Ketua ICMI.

 

 

Berbeda dengan para mantan pembesar yang dulu kerap "mengorbankan" banyak orang pada masa berkuasanya pada zaman Orde Baru, Sudomo justru merasa seperti orang yang tidak pernah bersalah. Meski pernah memimpin Kopkamtib yang dulu menjadi alat kekuasaan otoriter Soeharto, Sudomo itu tahu diri. “Sebagai perwira Angkatan Laut, dia tahu dirinya hanya alat bagi Soeharto. Jadi, tidak pernah benar-benar merasa berkuasa,” tulis Salim Haji Said

 

 

Kekuasaan Presiden Soeharto sudah coba digulingkan para mahasiswa pada 18 Maret 1978. Jelang Sidang Umum MPR. Suasana ibukota memanas karena aksi mahasiswa dari berbagai daerah yang bergerak menuju Istana Negara. Tujuan mereka mendesak Soeharto untuk tidak lagi melanjutkan kekuasaannya sebagai presiden. Namun aksi mereka berakhir dengan kekecewaan. Sebab Soeharto tidak sedang berada di tempat.

 

Selang dua hari, barulah turun tanggapan dari perwakilan istana. Bukan langsung dari Soeharto, melainkan diamanatkan melalui Sudomo. Soeharto yang saat itu juga menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), menunjuk Laksamana Sudomo selaku Kepala Staf Kopkamtib untuk melaksanakan tugas harian.

 

Gebrakan pun dilancarkan Sudomo merespon aksi para mahasiswa. Pertama, ia memberangus sejumlah media massa dengan tudingan membesar-besarkan aksi mahasiswa lewat pemberitaan. Sejumlah koran yang dihentikan paksa penerbitannya harus memenuhi syarat-syarat khusus untuk bisa terbit kembali.

 

Langkah represif selanjutnya, Sudomo mengerahkan tentara untuk menduduki beberapa universitas yang mahasiswanya terlibat aksi. Ada 143 orang mahasiswa yang dianggap sebagai biang kegaduhan langsung ditahan. Lalu, mereka diseret ke meja hijau, dan selanjutnya dijebloskan ke penjara.

 

Karena “jasanya” mengamankan posisi Presiden Soeharto, tak sampai sebulan setelah tindakannya merespon gerakan mahasiswa, Sudomo benar-benar menjadi orang nomor satu di Kopkamtib. Ia tak lagi hanya menjadi kepala staf, melainkan resmi ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib (Pangkobkamtib) mulai 17 April 1978.

 

Kendati demikian, beberapa orang yang dulu pernah menjadi pembantu Sudomo itu menjelaskan bagaimana cara Sudomo secara diam-diam menyelamatkan sejumlah aktivis mahasiswa yang semestinya harus ditahan setelah Peristiwa Malari dan Peristiwa Bandung 1978. Bahkan, beberapa tokoh mahasiswa diberinya kesempatan menyelesaikan pendidikan di luar negeri, meski status mereka orang yang masih dicekal. Konon Dr Syahrir dan Dr Rizal Ramli adalah tokoh-tokoh mahasiswa yang diberi kelonggaran menyelesaikan pendidikan tinggi mereka di Amerika.

 

Rizal Ramli seorang tokoh mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang ditangkap saat pergolakan mahasiswa pada awal 1978. Waktu itu, mahasiswa ITB bersama sejumlah mahasiswa beberapa kampus menolak Soeharto yang akan dilantik kembali menjadi Presiden pada Sidang MPR 1978 itu. ITB diserbu oleh tentara luar. Pangdam Siliwangi waktu itu, Mayor Jenderal TNI Sutanto, memang sejak awal menolak menggunakan kekerasan untuk meredam aksi mahasiswa. Dikemudian hari baru diketahui bahwa aksi penyerangan kepada mahasiswa tidak berasal dari Siliwangi. Selain sejumlah ditangkap, Rektor ITB, Iskandar Ali Syahbana, juga diberhentikan.

 

Sebagai orang yang pada dasarnya baik, dan mungkin sadar sebagai hanya alat kekuasaan Soeharto, Sudomo "terpaksa" menunjukkan loyalitasnya kepada Bos besar dengan bertindak keras kepada para seniornya yang tidak disenangi Soeharto. Kalau Benny Moerdani menghindarkan Jenderal Nasution untuk jumpa Soeharto, Sudomo menindak para penanda tangan Petisi 50 yang tokoh utamanya Letjen Marinir Ali Sadikin. Sudomo, menurut pengakuannya sendiri, yang mencekal para penanda tangan Petisi 50, menutup jalur bisnis, dan mencegah mereka berhubungan dengan media.

 

Dengan kata lain, Sudomolah yang "menghukum mati secara perdata" para pengkritik Soeharto tersebut. Akibatnya, Ali Sadikin mantan senior Sudomo di Angkatan Laut dan teman-temannya tidak bisa berbisnis, karena semua bank dilarang memberi kredit kepadanya, teman-temannya, dan keluarganya. Para wartawan juga dicegah memberitakan kegiatan dan pernyataan-pernyataan para penanda tangan Petisi 50 tersebut. Keputusan drastis Sudomo tersebut ongkos yang harus dibayar Laksamana untuk tetap   bertahan di lingkaran Soeharto. (pul)

 

 

 

 

 

 

Artikel lainnya

Reruntuhan St Paul's College Makau Sangat Memukau

Pulung Ciptoaji

Dec 27, 2022

Surabaya Sambut Kapal Pesiar MS Viking Mars

Author Abad

Dec 20, 2022

Jugun Ianfu Dipaksa Melayani Seks 10 Orang Sehari

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Dari Kolaborasi ke Nominasi

Author Abad

Oct 26, 2022