images/images-1677060924.png
Tokoh

Kematian Bisu Tan Malaka (3)

Pulung Ciptoaji

Feb 23, 2023

362 views

24 Comments

Save

abad.id- Setelah terjadinya penangkapan tersebut, Tan Malaka dan 20 pemuda pengawalnya tidak pernah terlihat lagi. Dalam proses penangkapan ini, Tan Malaka beserta pasukan pemuda yang mengawalnya diperlakukan oleh pasukan TNI Batalion Sikatan seakanakan sebagai pengkhianat bangsa, dengan hukuman yang pantas dan setimpal yaitu hukuman ditembak mati.

 

Eksekusi mati terhadap Tan Malaka dan pasukan pemuda dilakukan pada tanggal 21 Februari 1949 oleh Tentara Nasional Indonesia di lereng Gunung Wilis, tepatnya Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, Kecamatan semen, Kabupaten Kediri. Eksekusi tersebut atas perintah dan dipimpin langsung oleh Letnan Dua Soekotjo kepada Suradi Tekebek.

 

Menurut peneliti asal negeri kincir angin Harry Albert Poeze, setelah selesai mengeksekusi pejuang kemerdekaan, pasukan Batalion Sikatan meninggalkan tubuhnya tergeletak bersimbah darah di lokasi. Penduduk setempat merasa iba melihat kondisi jasad yang telah dieksekusi tersebut. Namun tidak langsung melakukan penguburan. Setelah beberapa anggota TNI pergi dari lokasi, warga langsung berinisiatif menguburkan jasad sang revolusioner di sekitar lokasi penembakan.

 

 

Harry Albert Poeze menggambarkan, meskipun tidak mengenal sosok Tan Malaka, namun rasa kemanusiaan membuat penduduk setempat merasa berkewajiban memakamkan jasad yang dieksekusi oleh tentara dalam suasana mencekam.

 

Tidak hanya mengeksekusi mati Tan Malaka, prajurit Batalion Sikatan juga melakukan penyisiran di sekitar area yang digunakan oleh Tan Malaka sebagai tempat persembunyian. Mereka mengobrak-abrik markas yang ditempati. TNI juga menemukan banyak arsip dan buku, lalu mereka memusnahkan sekecil apa pun yang mereka temukan. Buku-buku dan arsip Tan Malaka semua dibakar.

 

“Keterangan yang menggambarkan banyak dokumen dan buku-buku yang dimilikinya membuktikan Tan Malaka seorang yang "kecanduan" dalam membaca. Di samping itu, ia sangat produktif dalam menulis. Diperkirakan sebagian besar buku-buku yang dibakar adalah hasil karyanya,” kata Harry Albert Poeze.

 

Memang tidak mudah bagi kita menelusuri jejak kematian Tan Malaka, sebab kasus kematiannya sangat misterius 74 tahun yang lalu. Buku Misteri Pembunuhan Tan Malaka tulisan Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono menjelaskan semua bukti dan semua saksi telah hilang tak berbekas. Untuk menelusuri jejak kematiannya, sepeti menempuh jalan panjang yang penuh lika-liku. Atau laksana meluruskan benang kusut yang sulit ditemukan ujung dan pangkalnya.

 

Sumber yang dipercaya datang dari bekas anak buah Tan Malaka yang selamat. Menginformasikan bahwa pada tanggal 19 Februari 1949 mereka disergap, diburu, dan ditembaki oleh Tentara Nasional Indonesia di bawah komado Letkol Surachmat dan Kolonel Sungkono. Setelah penyergapan itu, mereka tidak melihat sang pemimpin. Padahal mereka sudah mencari dan menelusuri, tetapi tidak menemukan di area di sekitar kaki Gunung Wilis. Mereka memprediksi Tan Malaka mati saat terjadi pembantaian di kali Brantas, dan mayatnya dibuang di sungai.

 

Berita ini menyebar ke sebagjian kalangan, sehingga terbangun sebuah opini bahwa Tan Malaka mati ditembak, mayatnya tidak ditemukan karena hanyut di Sungal Brantas. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada tanggal 19 Februari 1949, Tan Malaka belum mati, ia hanya dilumpuhkan dan ditangkap sebab warga desa sempat melihat sosok yang mirip dengan Tan Malaka digiring masuk ke perkampungan.

 

Pertanyaan yang butuh jawaban pasti inilah yang membuat adik Tan Malaka merasa berkewajiban untuk mengungkapkan kematian kakaknya. la ingin mengungkapkan peristiwa ini, karena menginginkan keadilan sejarah. Ditemani Jamaludin Tamim salah satu pengikut Tan Malaka, Kamaruddin tidak henti-hentinya berupaya menemui Sungkono. Tujuannya mempertanyakan kasus yang menimpa kakak satu-satunya itu. Sebab ketika mereka membaca dari sebuah media harian, bahwa Sungkono sangat tahu tentang pembunuhan yang terjadi terhadap Tan Malaka. Tetapi ini bukanlah perkara mudah, setiap kali mereka ingin menemui sang gubernur, setiap kali pula yang bersangkutan menghindar untuk ditemui.

 

Tamim juga menyampaikan perihal pembunuhan Tan Malaka ini kepada partai yang mereka dirikan. Tentu saja dengan tujuan meminta bantuan Partai Murba agar turut mengusutnya.  Pada awalnya, segenap pengurus Partai Murba masih ragu mengenai berita tersebut. Mereka beranggapan berita itu hanyalah isu belaka yang sumber beritanya belum pasti. Pihak Partai Murba beranggapan belum terlalu penting kasus ini untuk dibahas, kecuali ditemukan bukti bukti kuat yang menunjukkan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh tentara.

 

Namun ketika bertahun-tahun Tan Malaka tidak juga tampak, anggota dan pengurus partai Murba mulai mempercayai tentang desas-desus kematian Tan Malaka. Beberapa pengurus mewacanakan akan membahas persolan ini bertepatan dengan penyelenggaraan kongres Partai Murba yang ketiga bulan Februari tahun 1952. Secara resmi partai ini mengangkat persoalan kematian Tan Malaka. “Tentu saja diskusi mengenai hal ini menempuh waktu yang sangat panjang, karena kesulitan tentang bukti kematian Tan Malaka, yang tidak mereka miliki. Sementara saksi yang melihat serta ikut disergap dalam ke jadian tersebut, tidak pernah muncul lagi,” tulis Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono.

 

Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya secara resmi pula partai ini memutuskan bahwa tokoh yang menginginkan kemerdekaan 100% ini telah mati ditembak oleh tentara. Karena itulah, Partai berlambang bintang ini, berkewajiban mempertanyakannya kepada pemerintah. Mereka bersepakat menyerahkan kepercayaan sepenuhnya pada kewenangan pemerintah, untuk mengusut dan menjatuhkan sanksi hukuman yang setimpal atas perbuatan pelaku.

 

Partai Murba segera mengirimkan delegasi untuk bertemu langsung dengan Presiden Sukarno pada tahun 1951. Ternyata belum ada kabar dari pihak pemerintah, hingga akhirnya tahun 1955 partai Murba kembali menemui Sukarno. Namun lagi-lagi Sukarno berdalih belum menemukan bukti tentang keberadaan Tan Malaka, baik hidup atau mati.

 

Alasan tersebut membuat partai ini maklum dan masih menunggu tindakan nyata dari pemerintah. Mereka percaya Sukarno akan membantu mengusut kasus ini. Karena yang mereka ketahui Sukarno dan Tan Malaka pernah terjalin ikatan emosional yang kuat. “Mereka pernah duduk bersama membicarakan tentang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” terang Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono.

 

Namun ternyata pendapat tersebut keliru, sebab sudah bertahun-tahun laporan tersebut disampaikan dan kenyataannya pemerintah belum melakukan tindakan apa pun.. Di mata sahabat-sahabatnya, pemerintah sebenarnya enggan mengusut kasus ini. Seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan di balik pembunuhannya.

 

Sementara itu dalam tulisan Lambert Giebels Sukarno Biografi 1901-1950 sedikit digambarkan kekhawatiran Soekarno dan Hatta terhadap Tan Malaka. Saat itu Sukarno dan Hatta sedang dalam pengasingan di pulau Bangka yang rerpencil.  Tan Malaka diperkirakan mampu mengambil alih pimpinan revolusi dengan tunjangan pasukan gerilya yang merasa dikhianati oleh Soekarno dan Hatta. Juga dengan bantuan Revolutionaire Volksfiont(=Front Rakyat Revolusioner) yang digerakkan oleh partai Murba Tan Malaka. Namun ketakutan mereka ternyata tidak berdasar. Tan Malaka sudah mati pada bulan Pebruari 1949 di sekitar Kediri.

 

Dalam pandangan Lambert Giebels, Tan Malaka bergabung dengan sebuah kesatuan gerilya yang terdiri dari pengikut-pengikut partainya sendiri, Murba, dan yang berada di bawah pimpinan teman sedaerahnya bernama Sabaruddin. Pada masa Agresi Militer II ini, Tan Malaka mengecam pedas Soekarno dan Hatta yang saat itu sedang tertangkap dan diasingkan di Bangka. Saat kekosongan kekuasaan ini, sebenarnya sudah siap untuk mendirikan sebuah Republik Indonesia tanpa Soekarno dan Hatta, dengan Sabaruddin sebagai Panglima Besar menggantikan Soedirman yang menderita TBC itu. Dengan menggeser Soedirman, rupanya Tan Malaka kelewat batas. Pimpinan angkatan bersejata memutuskan untuk memberi pelajaran kepada orang revolusioner yang berbahaya ini dan pengikut-pengikutnya yang suka memberontak. “Serentetan peristiwa yang rumit menyusul keputusan ini, berakhir dengan kematian Tan Malaka yang penuh kekerasan,” tulis Lambert Giebels.

 

Namun penulis Biografi asal Belanda ini tidak merinci kronologis dan dasar argumen keterlibatan Sudirman dalam pembunuhan Tan Malaka. Sebab saat itu ada kelompok lain yang bertentangan dengan Tan Malaka yaitu Perdana Menteri Syahrir. Sejak ditunjuk sebagai perdana menteri, dua orang ini punya cara yang berseberangan dalam menentukan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya. Atau kelompok lain yang mungkin masuk dalam skenario, yaitu kelompok Hatta yang hendak maju Konfrensi Meja Bundar. Demi pengakuan kedaulatan dalam bingkai negara RIS dan menanggung hutang perang, dipastikan tidak disetujui oleh Tan Malaka. Maka jauh sebelum KMB dimulai, Tan harus dihentikan.

 

Sedikit ada kabar baik muncul tahun 1964 atau tepatnya, atau 14 tahun setelah tanggal kematiannya. Bukannya kejelasan temuan dan hukuman yang setimpal bagi pelaku pembunuh Tan Malaka, Sukarno  hanya memberi harapan berupa penghargaan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Keppres no. 53 tahun 1963. Meskipun Tan Malaka mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan, namun teka-teki kematian tidak pernah diungkap. (pul) mengkhawatirkan lagi: ia

dicurigai mau mengambil alih kekuasan.

Kekhawatiran Soekarno dan Hatta terhadap Tan Malaka dari Bangka yang rerpencil itu, bukannya tidak beralasan. Orang komunis nasigraying diperkirakan mampu mengambil alih pimpinan revolusi dengan tunjangan pasukan gerilya yang merasa dikhianati oleh Soekarno dan Hatta.Juga dengan bantuan Revolutionaire Volksfiont(=Front Rakyat Revolusioner)yang terutama digerakkan oleh partai Murba Tan Malaka. Ketakutan mereka ternyata tidak berdasar.Tan Malaka sudah mati. Awal 1949 di sekitar Kediri, Tan Malaka bergabung dengan sebuah kesatuan gerilya yang terdiri dari pengikut-pengikut partainya sendiri, Murba, dan yang berada di bawah pimpinan teman sedaerahnya,Sabaruddin.Tan Malaka mengecam pedas Soekarno dan Hatta, kedua pemimpin yang tertangkap itu,dan menurut kata orang sudah siap untuk mendirikan sebuah Republik Indonesia tanpa Soekarno dan Hatta, dengan Sabaruddin sebagai Panglima Besar,menggantikan Soedirman,yang menderita TBC itu.Dengan menggeser Soedirman,rupanya Tan Malaka kelewat batas.Pimpinan angkatan bersejata memutuskan untuk memberi pelajaran kepada orang revolusioner yang berbahaya ini dan pengikut-pengikutnya yang suka memberontak. Serentetan peristiwa yang rumit menyusul keputusan ini, akhirnya berakhir dengan kematian Tan Malaka yang penuh kekerasan.

Pada 5 Maret 1949 dalam surat berbahasa Belanda,Soekarno memberikan reaksinya atas "undangan Beel untuk menari". Soekarno menulis bahwa ia menaruh simpati pada kecergasan Wali Tinggi Kerajaan Belanda itu. Namun, tanggung jawab berat yang harus ia pikul andaikata ia menerima undangan untuk menghadiri perundingan meja bundar, tidak sanggup ia pikul secara pribadi,demikian ia jawab dengan halus.Tanggung jawab sebesar itu hanya dapat dipikul "oleh pemerintah Republik yang berkuasa penuh di wilayahnya sendiri,dan yang berkedudukan di Yogyakarta."

Walaupun       ajakannya ditolak,Beel pantang mundur.Untuk sekejap ampaknya ia berhasil dalam usahanya menyelengarakan perundingan meja Pada 28 Februari                                      BFO menyatakan bersedia mengikuti

1998).

 

 

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022