Bangku dibawa bangsa Portugis untuk tempat duduk dan berdoa di gereja. Kemudian model dan ukuran disesuaikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk duduk siswa di sekolah. Foto KITLV
abad.id- Sebuah tulisan besar di dinding musium pendidikan Surabaya, yang isinya tentang langkah Ki Hajar Dewantara usai pulang dari pengasingan di Belanda. Banyak yang mengira Ki Hajar Dewantara tidak selantang dulu. Ternyata langkahnya tidak melalui ruang diskusi dan orasi, namun membuka sekolah Taman Siswa sebagai bentuk perlawanan dalam "senyap".
Konsep bersekolah yang digagas Taman Siswa ini sebuah gebrakan yang kemudian menjadi pelopor munculnya "sekolah liar", tempat tumbuhnya kesadaran. Sebuah sekolah yang menjadi bibit semangat solidaritas dan keberanian melawan ketidakadilan. Sebab pemerintah Hindia Belanda sejak abad ke-16, mulai mendirikan sekolah. Kemudian, memasuki abad ke-19, Belanda telah mendirikan sejumlah 20 jenis sekolah untuk tanah kolonial. Tujuan Belanda hanya untuk memperoleh tenaga kerja yang murah namun profesional, serta sebagai bentuk balas budi atau politik etis. Beberapa sekolah pada zaman Hindia Belanda antara lain ELS, HIS, HCS, MULO, AMS, Schakel School, dan STOVIA.
Bangku yang menjadi koleksi Musium Pendidikan Surabaya ukurannya lebih kecil. Pembuat bangku menyesuaikan bentuk dan ukuran badan anak (ergonomic). Foto Pulung
Hal yang membedakan sekolah setelah politik etis ini adalah tersedianya meja dan kursi. Pada masa Hindia Belanda, model Meja daan Kursi disebut Bangku dari bahasa Portugis. Bentuknya panjang untuk dua, tiga, empat orang duduk bersama dan menyatu dengan meja. Benda ini muncul setelah warga Portugis membawa bangku masuk ke gereja sebagai tempat duduk dan berdoa.
Pengajar dari Sekolah Alam Insan Mulia, Mukhtar Fanani mengatakan, banyak hal yang bisa diceritakan di balik bangku, dari hal positf atau sebaliknya. Mulai contekan, ngrepek, sampai benar-benar fokus dengan belajar. Bangku hanyalah sarana atau bagian dari penunjang proses pembelajaran. Seperti sarana menulis, duduk mendengarkan, tempat mengerjakan atau hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran pada umumnya.
Alat dan sarana ini memiliki efek positif terhadap prestasi belajar. Semakin baik alat dan sarana pengajaran, semakin tinggi pula prestasi belajar murid. Secara lebih spesifik, perabot memiliki peranan yang erat kaitannya dengan perkembangan fisik, psikoemosional, dan sosial anak. “Bahkan penataan meja kursi akan sangat erat kaitannya dengan pendekatan apa yang dilakukan guru, apakah teacher centered (berpusat pada guru) atau student centered (berpusat pada siswa),” kata Mukhtar Fanani
Sedangkan Kritikus Arsitektur Peter Megantara berpendapat, bangku sekolah jaman dulu justru mendidik kemandirian para siswanya. Sebab di bangku itu hanya diduduki satu orang satu siswa dan satu kelas terdiri dari beberapa siswa. Sehingga murid lebih fokus belajar dan lebih konsentrasi terhadap apa yang disampaikan guru di kelas. Selain itu, model bangku itu dilengkapi dengan loker sekaligus untuk menyimpan perkakas dan buku siswa. Bangku memberi kemudahan siswa tidak perlu lagi membawa tas saat masuk kelas. “Loker cukup besar dan bisa menampung buku, modul dan alat gambar dan pensil sekaligus,” kata Peter
Siswa tidak perlu membawa tas masuk kelas. Sebab loker cukup besar dan bisa menampung buku, modul dan alat gambar dan pensil sekaligus. Foto dok net
Bagi sekolah yang memprioritaskas kegiatan menggambar dan praktek mendesain, model bangku seperti ini juga sangat tepat. Kemiringan bangku memudahkan para siswa melakukan aktifitas menggambar. “Saat saya belajar arsitek, model miring bangku juga diperlukan untuk memudahkan mahasiswanya menggambar, ” terang peter
Ada filosofi dibalik bangku lama model kolonial ini. Budaya sekolah menggunakan kursi dan meja diawali di eropa dan mulai masuk ke sekolah-sekolah di Hindia Belanda, seiring dengan kebijakan politik etis. Bagi masyarakat eropa, bangku sekolah merupakan simbul peradaban ilmu pengetahuan yang dinamis dan dialogis. Seorang guru yang berdiri di depan kelas menerangkan kepada siswa, sementara siswa bertanya terhadap ketidak tahunya. Sehingga terbentuk kegiatan belajar dan mengajar. “Dulu sekolah di seminari Katolik juga menggunakan bangku ini, bahkan satu bangku untuk satu siswa dengan jumlah murid tidak banyak,” tambah Peter.
Apa yang sudah dirintis Ki Hajar Dewantara dengan mengembangkan pendidikan melalui sarana dan prasarana yang baik, telah membentuk perkembangan bentuk tubuh anak-anak lebih sehat. Bangku belajar jaman dulu memiliki ukuran yang berbeda, sehingga berpengaruh pada perkembangan tulang belakang, atau bentuk tubuh lainnya. Apalagi perkembang tulang dan badan manusia sangat berkembang pesat pada anak anak. Perlu pengaturan bentuk dan ukuran disesuaikan dengan ukuran badan anak (ergonomic). “ Warna dan ukuran bangku sangat memengaruhi guru dalam merancang strategi belajar mengajar. Meja dan kursi bisa dijadikan media pembelajaran, tidak sekadar perlengkapan saja,” Kata Peter.
Mendidik dan mengajar merupakan proses memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental , jasmani dan rohani. Hal positif yang bisa diterapkan di kelas harus sesuai dengan budaya yang berkarakter. Sama dengan filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pengembangan budi pekerti (olah cipta, olah karya, olah karsa, dan olah raga) yang terpadu menjadi satu kesatuan. (pul)