Kusni Kasdut, sosoknya hidup pada era 70 an. Dia salah satu pejahat yang namanya melegenda. Dia bahkan dijuluki Robin Hood Indonesia. Sebab hasil rampokannya selalu dibagikan kepada orang-orang miskin. Kusni Kasdut menghembuskan nafas terakhir di depan regu tembak.
Abad.id Hidup Kusni Kasdut berakhir di depan regu tembak. Tepatnya menjelang fajar pertengahan Februari. Tepatnya di sebuah tempat dekat Kota Gresik, Jawa Timur, pada 16 Februari 1980.
Pria bertubuh kecil itu kelahiran Blitar, Jawa Timur, Desember 1929. Kusni memiliki nama asli Waluyo. Di dalam buku ‘Kusni Kasdut’ karya Parakitri Simbolon pada 1979, Kusni atau Waluyo merupakan anak Wonomejo dan Mbok Cilik. Kusni ditinggal mati ayahnya sejak berumur 5 tahun. Kusni tinggal bersama ibunya dengan hidup yang sangat miskin. Ketika Jepang menjajah Indonesia, Kusni muda bergabung dengan heiho (tentara pembantu).
Kusni ditempatkan di Batalion Matsamura, Kota Malang. Ia dilatih sangat keras oleh tentara Jepang. Salah sedikit, kepala ditempeleng. Tak lama, Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dua hari kemudian, tepatnya 19 Agustus, Kusni bergabung dengan laskar yang tergabung Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Rampal, Malang.
Kusni bersama pasukan laskar itu bergerilya hingga Surabaya menghadapi pasukan Sekutu dan Inggris. Setelah pasukan Inggris mundur, rakyat membuat kelompok-kelompok sendiri. Kusni memutuskan pergi ke Yogyakarta untuk bergabung dengan laskar Barisan Bambu Runcing. Laskar ini rencananya akan merebut Kota Bandung.
Namun, ketika sampai Madiun, Kusni justru bergabung dengan laskar Brigade Teratai. Anggota laskar itu, selain dari TNI, kebanyakan berasal dari kalangan dunia hitam, seperti copet, rampok, germo, dan wanita panggilan. Di sana Kusni ditugaskan sebagai staf pertempuran ekonomi. Banyak bergaul dengan pelacur dan berandalan kecil yang menjadi mata-mata.
Tugasnya pernah mengambil emas dan berlian milik warga keturunan Tionghoa yang akan digunakan untuk modal perang. Kusni merasa bangga atas apa yang ia lakukan. Saat berada di Yogyakarta, 19 Desember 1948, Kusni menemukan meriam tentara Belanda. Ia dan warga mendorong meriam itu sejauh 20 kilometer untuk diserahkan kepada segerombolan prajurit untuk modal melawan Belanda.
Semua usahanya selama empat tahun ikut berjuang membuatnya bangga. Apalagi ia sering menyumbang harta hasil rampasan dalam operasinya untuk kepentingan perjuangan. Beberapa kali ditangkap pasukan Belanda, dipukuli, dan dijebloskan ke penjara. Kusni dikenal seperti belut yang licin dan dijuluki ‘Kancil’ karena selalu berhasil meloloskan diri.
Kisah Kusni berakhir pada usia 51 tahun. Dia dihukum mati akibat beberapa ulahnya yang dianggap tak bisa diampuni. Ia merampok dan tak segan-segan membunuh korbannya. Seorang polisi, sepasang suami-istri, dan seorang pengusaha tewas di tangannya.
Selain sosoknya yang melegenda, di sisi lain, ternyata ia adalah mantan anggota laskar pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.
Nama Kusni Kasdut sangat melegenda pada waktu itu. Orang-orang jaman dulu pasti mengenal sosok yang satu ini. Dia tertangkap, melarikan diri, dan tertangkap lagi. Setidaknya sudah lima kali Kusni Kasdut melarikan diri. Dan terakhir, dia pun harus menjalani vonis hukuman mati atas segala perbuatannya. Namun pada saat-saat akhir hayatnya, ia bertobat dan dengan tegar menghadapi hukumannya.
Terlahir dari keluarga petani miskin, tidak lantas menghantuinya. Ia terus berjuang. Ya, tanpa revolusi, mustahil dapat beristrikan seorang gadis indo dari keluarga menengah, sekali pun telah diindonesiakan sebagai Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih.
Istri yang ia cintai, ia kagumi, bahkan ia puja itu melahirkan tekad untuk memperbaiki kehidupannya.
Ia mencoba mencari pekerjaan yang sepadan dengan martabatnya yang baru, dan kegagalan demi kegagalan yang ia dapat.
Untuk kesekian kalinya, berbekal pengalaman semasa revolusi 45, Kusni berusaha masuk anggota TNI, tetapi ditolak.
Penolakan ini disebabkan sebelumnya ia tak resmi terdaftar dalam kesatuan. Selain itu, pada kaki kirinya terdapat bekas tembakan yang ia dapat semasa perang fisik melawan Belanda. Akibatnya, ia cacat secara fisik. Akhirnya ia memutuskan kembali ke Rampal, Malang.
Selama satu tahun di Rampal, ia mengurus surat pernyataan bekas pejuang. Di tempat itu juga, ia mengumpulkan uang. Uang itu dibagikan kepada keluarganya di Blitar. Sisanya digunakan Kusni untuk biaya berangkat menuju kantor Biro Rekonstruksi Nasional di Jakarta. Biro itu tempat mengurus penempatan bekas pejuang. Kembali Kusni kecewa, ia tak mendapat pekerjaan.
Kegagalan-kegagalan tersebut membentuknya ia seolah diperlakukan tidak adil oleh penguasa waktu itu, seperti ‘habis manis sepah dibuang’. Ada satu kesamaan antara Kusni Kasdut, Mat Pelor, dan Mat Peci. Mereka dulunya adalah para pejuang '45, memilih jalan pintas untuk menyambung hidup. Mereka kecewa atas penguasa jaman itu karena kurang diperhatikan masa depannya
Hal itu menimbulkan obsesi untuk merebut keadilan dengan sepucuk pistol, membenarkan diri memperoleh rejeki yang tak halal. Terlebih lagi membiarkan anak dan istrinya terlantar. Bersama teman senasip dan seperjuangan yang tak ada harapan untuk menyambung hidup, Kusni akhirnya merampok.
Memanjat Monas
Pada masanya, Kusni Kasdut dikenal sebagai penjahat spesialis “barang antik”. Dia, juga tergolong bengis dalam merampok korban-korbannya. Jika ada yang melawan, akan dibunuhnya.
Salah satu curian yang paling spektakuler ketika dia merampok Museum Nasional Jakarta. Dengan menggunakan jeep dan mengenakan seragam polisi (yang tentunya palsu), pada tanggal 31 Mei 1961, Kusni masuk ke Museum Nasional yang dikenal juga Gedung Gajah. Setelah melukai penjaga, dia lantas membawa lari 11 permata koleksi museum tersebut.
Kusni juga pernah membunuh. Bahkan, mungkin sering. Saat merampok seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan, Awab Alhajiri.
Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembak dari jeep yang dibawa oleh Kusni Kasdut. Itulah pembunuhan yang menggemparkan pada waktu itu. Tak lama kemudian disusul dengan pembunuhan lain.
Dalam melakukan aksinya, Kusni Kasdut selalu ditemani oleh Bir Ali. Dia adalah tangan kanan Kusni Kasdut, anak Cikini Kecil (sekarang ini letaknya di belakang Hotel Sofyan).
Bir Ali, yang juga menjadi pembunuh Ali Bajened bersama Kusni Kasdut di Jalan KH Wahid Hasyim, bernama lengkap Muhammad Ali. Dia mendapat gelar Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir, ia tewas dalam tembak menembak dengan polisi.
Tak hanya itu, aksi fenomenal Kusni Kasdut adalah ketika dia memanjat monumen tugu Monas di Jakarta. Ceritanya, waktu itu dia ingin mengambil obor emas di monumen tersebut. Aksinya itu berhasil digagalkan petugas. Sewaktu Kusni memanjat, dia buru-buru ditangkap.
Namun demikian, Kusni Kasdut bukan sembarang pencuri. Sewaktu berada di tahanan, dia sering beberapa kali mengelabui polisi dan penjaga sipir. Kusni berhasil lolos sebanyak lima kali. Dia juga berkali-kali ditangkap. Ternyata hal itu tidak membuatnya kapok. Justru dia semakin berani saja.
Sekian tahun menjadi buronan, Kusni Kasdut tertangkap ketika mencoba menggadaikan permata hasil rampokannya di Semarang. Petugas pegadaian curiga karena ukurannya yang tidak lazim. Akhirnya ia ditangkap, dijebloskan ke penjara dan dihukum mati atas rangkaian tindak kejahatannya.
Terakhir, saat Kusni Kasdut menunggu keputusan atas permohonan grasinya karena dijatuhi hukuman mati, dia juga sempat melarikan diri. Tapi kemudian ditangkap kembali.
Eksekusi Mati
Meski perawakan Kusni kecil, tapi dia sangat disegani di kalangan penjahat. Malahan di kalangan masyarakat, Kusni sempat dijuluki “Robin Hood” Indonesia. Karena ternyata hasil rampokannya sering dibagi-bagikan kepada kaum miskin.
Barulah pada tanggal 16 Februari 1980, Kusni menjalani hukuman mati di depan regu tembak. Dan sebelum dieksekusi, itu merupakan malam panjang bagi Kusni Kasdut.
Dalam keterasingannya di penjara, yang jauh dari orang-orang dicintai, Kusni bertobat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Ini terjadi ketika dalam penjara. Beberapa jam sebelum ajal itu datang, Kusni punya permintaan terakhir. Ia ingin duduk di tengah keluarganya. Kepala penjara Kalisosok Surabaya memenuhi permintaan itu.
Jam terus berputar. Sebelum eksekusi tiba, Kusni meminta ijin untuk melukis. Ia mencoba menuangkan sebuah karya lukisan dari gedebog (pohon pisang). Dalam lukisan tersebut tergambar dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara dan arsitektur bangunannya yang unik.
Sembilan jam sebelum dibawa pergi tim eksekutor, Kusni duduk di tengah anak, menantu, dan dua cucunya. Makan malam terakhir disajikan di atas meja: capcai, mie, dan ayam goreng kegemarannya.
Keluarga itu menangis kecuali Kusni. Ia hanya menitipkan pesan terakhir yang sederhana: agar honor dari kisahnya yang ditulis Parakitri Simbolon dan diterbitkan Gramedia diurus Bambang, anak dari istri pertamanya.
Sebelum berpisah dengan keluarganya, Kusni sempat memeluk Ninik sembari berkata, “Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976. Situasilah yang membuat ayah jadi begini. Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek.” Ninik dan yang lain menangis.
“Diamlah,” lanjutnya, “Ninik kan sudah tahu ayah sudah pasrah. Ayah yakin, Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah.”
Kusni lalu kembali ke selnya dan hanya duduk dekat terali besi, merokok kretek, mengobrol dengan sipir, dan sesekali bersembahyang. Ketika tim eksekutor menjemputnya pukul 3.00 pagi, ia menolak disuruh mandi. Kusni lalu menyalami petugas yang selama ini menjaganya.
Di depan penjara sebelum menuju lapangan tembak, telah menunggu dua perwira polisi yang menangkapnya ketika kabur dari Penjara Lowokwaru, Malang. Mereka memeluk Kusni. Tak lama terdengar deru 19 mobil polisi yang beriringan membawa pesakitan itu pergi. Sejak malam itu ia tinggal nama.
Tapi tiga peluru di jantung dan lima di perut Kusni pada subuh itu menghabisi petualangan hitamnya. Kusni Kasdut mati di depan algojo. Tubuh lelaki itu lunglai di tiang penyangga.@nov
*) diolah dari berbagai sumber