abad.id- Geger Pecinan sebuah pemberontakan yang terjadi di Batavia pada tahun 1740 oleh komunitas Tionghoa yang tinggal di sana. Geger Pecinan dipicu oleh diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh orang Tionghoa dalam sistem kolonial Belanda pada saat itu.
Cara-cara diskriminasi dimulai sejak para imigran ini tiba di Batavia. Agar terhindar dari tangkapan aparat, imigran Tionghoa memberikan uang perlindungan kepada polisi dan antek-anteknya. Mereka adalah aparat keamanan yang diangkat VOC untuk mengawasi daerah perkebunan yang terletak di luar kota. Dalam perjalanan waktu, para imigran ilegal menjadi sapi perahan bagi aparat Kompeni yang korup.
Pada tahun 1740, suasana Batavia mulai mencekam karena timbul wabah penyakit yang menelan banyak korban seperti disentri dan kolera. Rumah sakit dipenuhi pasien penderita wabah. Di saat orang-orang Tionghoa merayakan hari raya Imlek bulan Pebruari, Kompeni melakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang Tionghoa yang dicurigai tidak memiliki surat izin menetap. Sebanyak 100 lebih orang Tionghoa yang berdiam di daerah Bekasi dan Tanjung Priok dimasukkan dalam tahanan.
Kekacauan pun meledak. Banyak orang-orang Tionghoa mulai membentuk kumpulan yang bersiaga untuk mempertahankan diri dari tindakan Kompeni. Mereka sebelumnya bersifat defensif sekarang berubah bertindak agresif. Tanggal 4 Februari 1740, orang Tionghoa mulai menyerang penjara untuk membebaskan kawan-kawannya yang ditahan. Gubernur Jenderal Valckenier meminta pendapat Dewan Hindia untuk memecahkan keadaan yang gawat tersebut.
Akhirnya pada tanggal 25 Juli 1740, Dewan Hindia membuat suatu keputusan yang justru memperburuk situasi. Keputusan tersebut berbunyi bahwa warga Tionghoa, baik yang telah memiliki izin tinggal ataupun tidak, apabila dicurigai melakukan perbuatan yang tidak baik, akan ditangkap. Bagi mereka yang terbukti belum mempunyai pekerjaan tetap akan dibuang ke Sri Lanka.
Di bulan September, sebanyak 1.000 orang tionghua dari bekas pabrik hula di Gandaria melakukan aksi mogok. Mereka dipimpin Ehe (Qae) Panjang. Oleh warga jawa lebih mengenal dengan sebutan Sepanjang atau kapiten Separjang. Namun, siapa nama sebenarya dari penilmpin pemberontakan tersebut belum dapat diketahui dengan pasti.
Menurut salah satu sumber buku Geger Pacinan tulisan Daradjadi, nama Tay Wan Soey atau Kapiten Selanjang masih memiliki hubungan kerabat dengan Kaisar Tiongkok yang bemama Kin Lang atau Kinn Liong dari pihak ibu. Merupakan salah satu keluarga besar Dinasti Qing yang di bangsa Manchu. Tay Wan Soey dibuang ke luar wilayah Tiongkok karena dicurigai terlibat pemberotakan.
Nama Tay Wan Soey pertama kali disebut sebagai pemimpin pemberontak Tionghoa yang ingin diajak berunding oleh pihak Kompeni. Pada tangal Otober1740, VOC mengirim Gustaaf willem Raronvan Imboff (Van Imhoff) dan Van Aarden ke Tanah Abang di wilayah Batavia untuk menemui Tay Wan Soey dengan maksud mengajak berunding. Namun, ajakan berunding tersebut ditolak oleh Tay Wan Soey
Tay Wan Soey bersama warga Tionghoa lain telah mengambil posisi di sekitar pinggir kota seperti hendak melakukan serangan terhadap kota Batavia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka Kompeni membuat maklumat. Pertama: Semua orang dilarang masuk kota untuk membawa keluar para perempuan Tionghoa. Ketentuan tersebut dibuat mengingat sehari sebelumnya banyak perempuan Tionghoa telah diungsikan keluar kota. Kedua, orang Tionghoa yang menolak menyerahkan senjata atau melawan pejabat hukum atau menyerang pasukan Kompeni yang berada di luar benteng kota akan ditembak mati. Ketiga, mulai pukul 18.30 semua orang Tionghoa harus berdiam di rumah masing-masing dan tidak boleh menyalakan lampu.
Maklumat yang diumumkan kepada khalayak ramai pada tanggal 8 Oktober pagi tahun 1740 tersebut, ditutup dengan seruan bahwa orang Tionghoa yang patuh pada Kompeni akan mendapat kemudahan-kemudahan, sedang mereka yang membangkang akan dibunuh.
Pada keesokan tanggal 9 Oktober, para pemberontak yang sudah berkerumun di gerbang kota untuk menyerang Batavia berhasil dibubarkan. Dalam operasi tersebut banyak orang Tionghoa yang ditangkap. Van Imhoff memerintahkan agar mereka segera dibawa ke Ceylon. Hal ini menyulut desas-desus bahwa orang Tionghoa tahanan Kompeni akan dibuang di tengah laut. Berita ini menimbulkan kepanikan luar biasa di antara orang Tionghoa, baik yang memberontak maupun tidak.
Mereka berusaha melarikan diri keluar kota untuk mencari perlindungan pada para pemberontak. Pasukan Kompeni berusaha menghalangi mereka dengan melepaskan tembakan-tembakan. Korban bergelimpangan tersebar di dalam kota Batavia. Suasana tegang yang meliputi Batavia meledak tatkala terdengar bunyi tembakan meriam Kompeni. Penduduk Tionghoa yang berusaha menyelamatkan diri ke muara dan pantai tempat berlabuhnya kapal dan jung, telah dihadang para pelaut yang segera menghabisi nyawa mereka. Orang-orang Tionghoa melawan perburuan terhadap mereka dengan menggunakan senjata seadanya. Mereka kebanyakan hanya menggunakan linggis, parang, dan pentungan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberontakan tersebut dilakukan secara spontan tanpa persiapan yang memadai.
Dengan alasan mencari senjata yang mungkin dapat digunakan oleh pemberontak, serdadu Kompeni menggeledah rumah-rumah Tionghoa, dan menjarah hartanya. Akhirnya keadaan kota Batavia menjadi anarkis. Penjarahan dan pembunuhan terjadi di mana-mana.
Tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya, terjadi kebakaran di permukiman Tionghoa. Kompeni curiga kejadian itu merupakan tanda dari orang Tionghoa untuk mengajak sesama kaumnya mulai menyerang.
Gubernur Jenderal Valckenier segera mengerahkan seluruh kekuatan militernya untuk membantai orang Tionghoa tanpa pandang bulu. Selain itu, Kompeni membujuk semua penduduk Batavia untuk ikut menumpas pemberontakan orang Tionghoa. Para penduduk, baik dari kalangan pribumi, para budak orang asing, mereka yang disebut sebagai orang Moor, dintimidasi serta ditakut-takuti bahwa apabila orang Tionghoa berhasil menguasai Batavia, maka keselamatan mereka tidak akan terjamin. Akibatnya berbagai golongan masyarakat di Batavia sama-sama memburu orang Tionghoa. Adapun orang Eropa dan golongan budak merupakan kelompok yang paling banyak membantai.
Pembunuhan massal tersebut mencapai pucaknya pada tanggal 10 Oktober 1740. Gubernur Jenderal Valckenir memerintahkan agar penduduk Tionghoa yang masih tersisa dikumpulkan menjadi satu. Kaum lelaki, perempuan, tua-muda sudah tidak dibedakan lagi. Mereka diseret keluar dari rumah tinggal atau tempat persembunyian. Orang Tionghoa yang berada di penjara dipisahkan dari etnis lainnya dan langsung dieksekusi seketika. Kompeni berhasil mengumpulkan sekitar 500 orang Tionghoa, yang kemudian digiring ke Stadthuys (sekarang Museum Sejarah Jakarta). Di tempat tersebut, para tahanan yang malang itu dipenggal kepalanya satu persatu.
Para pasien yang sedang dirawat di rumah sakit, diseret keluar dan dibantai di pinggir sungai untuk memudahkan pembuangan mayat mereka. Menurut berita yang tersebar di kalangan penduduk Batavia, Gubernur Jenderal memberi hadiah uang bagi bagi siapapun yang membawa dua kepada orang Tionghoa. Sebagian Tionghoa mencoba mencari perlindungan pada beberapa pegawai Kompeni dengan cara menyuap dengan seluruh uang dan emas yang dimiliki. Harta diterima, tetapi orangnya tetap disembelih. Sebagian orang Thonghoa yang tidak tahan mengalami penderitaan demikian hebat memilih bunuh diri dengan mengzantung diri.
Peristiwa pembantaian massal yang terjadi di dalam kota Batavia dengan cepat terdengar oleh para pemberontak pimpinan Tay Wan Soey yang berada di luar kota. Mereka lalu menyerang secara besar-besaran terhadap pos-pos Kompeni di luar kota. Pos VOC di Tangerang diserang dengan melibatkan sekitar 3.000 orang. Kekuatan VOC di daerah Meester Cornelis mengalami serangan yang dahsyat dan bertubi-tubi pada tanggal 11 Oktober dari pagi sampai sore hari.
Dalam serangan terebut banyak pasukan dari kedua pihak yang tewas di suatu rawa. Begitu banyaknya mayat yang bergelimpangan di tempat tersebut. Kampung yang dikenal dengan nama Rawa Bangke.
Kapitan Sepanjang atau Tay Wan Soey telah memindalkan konsentrasi pasukanya dari Gandaria te Gading Melati, mulai bergerak ke arah kota unhuk menolong sesama warganya yang sedang mengalami malapetaka. Namun, mereka gagal memasuki Batavia dampak minimnya jumlah personel pasukan. Para pemberontak mencoba mempertahankan diri dengan membuat barikade dari gubuk dengan bahan kayu dipancang. Mereka menguasahi daerah Bekasi. Saat mau menuju ke arah Banten, di tengah jalan dihadang pasukan Kesultanan Banten yang tidak ingin terlibat dalam huru-hara tersebut.
Kobaran api masih terlihat di dalam kota Batavia hingga tanggal 13 Oktober 1740. Akhirnya VOC berusaha untuk memadamkan semua api yang masih menyala, didasari atas rasa khawatir kalau kobaran api tersebut ikut memusnahkan gudang-gudang VOC yang menyimpan barang dagangan miliknya. Dalam peristiwa berdarah yang terjadi selama kurang lebih empat hari tersebut, diperkirakan sekitar 7.000-10.000 orang Tionghoa tewas. Korban terbanyak diperkirakan terjadi di daerah kawasan Kali Besar yang sekarang dikenal sebagai Jalan Kali Besar Barat, Kali Besar Timur, Jalan Pintu Besar, Jalan Roa Malaka Utara, Jalan Roa Malaka Selatan, dan Jalan Kopi.
Di balik semua itu, kekhawatiran VOC akibat kerusuhan tersebut, sesungguhnya bukan sernata-mata karena ketakutan atas pembalasan Kaisar Tiongkok. VOC lebih mengkhawatirkan masa depan perekonomian Hindia Timur pasca kerusuhun. Memang, pemberontakan Tionghoa di Batavia telah usai, namun jung-jung dari Tiongkok yang berlayar menuju kota tersebut turun drastis. Saudagar Tionghoa menghindari berdagang dengan Belanda. Di pihak lain kekuatan perdagangan Kompeni Inggris (East India Company) di Hindia Timur secara pasti bergerak naik. Banyak para pedagang Tionghoa lebih senang berdagang dengan saingan VOC tersebut.
Selanjutnya untuk keperluan memonitor gerakan orang-orang Tionghoa, Collegie van Schepenen diberi hak untuk mencatat warga Tionghoa yang berdiam di wilayah Batavia setiap enam bulan sekali. Mereka tidak diperbolehkan tinggal di lingkungan tembok kota. Pada setiap jam enam sore orang-orang Tionghoa diusir keluar dari Batavia. VOC juga memutuskan untuk mengizinkan warga Tionghoa bermukim di sekitar Glodok. Tempat tersebut dipilih Kompeni karena apabila terjadi kerusuhan, orang-orang Tionghoa tersebut masih berada dalam jarak tembak meriam Kompeni.
Sementara itu Tay Wan Soey pemimpin pasukan Tionghua mulai keluar dan melanjutkan perlawanan bersama raja Sunan Kuning. Rasa bencinya terhadap VOC menjadikan Kapiten Sepanjang akan terus melakukan perlawanan denan membangun kekuatann di lereng Gunung Lawu. Di bulan Juli 1742, setelah 2 tahun peristiwa di Batavia, Kapiten Sepanjang memimpin pasukan Tionghoa dan Jawa dalam melakukan penyerangan ke Kraton Mataram. Mereka berhasil memenangkan pertempuran itu. Raja Mataram saat itu, Pakubuwana II, terpaksa melarikan diri ke Magetan dengan bantuan VOC.
Setelah Kraton Mataram di Kartasura jatuh ke tangan pasukan Tionghoa-Jawa, Raden Mas Garendri atau Sunan Kuning diangkat menjadi raja dengan gelar Sunan Amangkurat V. Saat bertahta sebagai raja, ia mengangkat Kapiten Sepanjang sebagai guru untuk panglima perang kerajaan. Sunan Kuning menganggap Kapiten Sepanjang punya sarat pengalaman sehingga cocok bagi para panglima perangnya yang masih muda.
Sayangnya, tahta Sunan Kuning di Kartasura tidak lama. Pada akhir tahun 1742, tentara VOC yang dibantu pasukan Madura yang dipimpin Cakraningrat V berhasil merebut Kartasura dan mengangkat kembali Pakubuwana II ke tahta kerajaan.
Setelah terusir dari Kraton, Kapiten Sepanjang, Sunan Kuning, dan para pasukannya melarikan diri dan meneruskan pelawanannya dengan bergerilya. Namun dalam suatu pertempuran, Sunan Kuning terpisah dengan Kapiten Sepanjang. Sunan Kuning kemudian ditangkap VOC di Surabaya pada 2 Desember 1743, sementara Kapiten Sepanjang terus melanjutkan perjuangan. Beberapa sumber menyebutkan pada akhirnya Kapiten Sepanjang menyeberang ke Bali dan mengabdi pada sebuah kerajaan di sana. (pul)