images/images-1684543915.jpg
Sejarah
Tokoh

Kisah Cinta Alfiah Sudirman Sepanjang Hayat

Pulung Ciptoaji

May 20, 2023

917 views

24 Comments

Save

Para pemimpin TNI pada Juni 1947. Barisan depan dari kiri ke kanan Urip Sumoharjo,Sudirman, M Natsir,Djoko Sudjono. Barisan belakang dari kiri ke kanan Suryadarma, Sutomo (Bung Tomo) dan Sakirman. Foto IPPHOS

 

 

abad.id- Panglima Besar Jendral Sudirman wafat 29 Januari 1950, meninggalkan banyak kenangan bagi sang istri Alfiah dan 7 anaknya. Saat sang pahlawan meninggal dunia, anak-anak masih kecil. Paling besar masih kelas SD dan paling kecil berumur 9 bulan. “Bahkan, setiap saya kembali diingatkan tentang Mas Dirman, saya selalu merasa trenyuh," ujar Alfiah di sebuah wawancara Femina edisi tahun 1983

 

Kesan yang mendalam sosok Sudirman dirasakan hingga di usia senja. Matanya selalu membasah setiap kali mengingat suaminya.  "Pernah, barang-barang yang mengingatkan saya pada Mas Dirman saya coba singkirkan jauh-jauh. Baju-bajunya, foto-fotonya, surat-suratnya. Tetapi ternyata saya tak dapat melupakan Mas Dirman, semudah saya menyingkirkan benda-benda itu dari penglihatan saya. Mas Dirman adalah suami yang setia, jujur, penuh tanggung jawab dan pantas dicintai. Bagaimana mungkin saya bisa melupakannya." Kata Alfiah

 

Sudirman dan istri

Alfiah Sudirman. Foto dok Femina 1983

 

Alfiah selalu ingat bahwa tanggal 24 Januari adalah tanggal kelahiran Sudirman. "Kami tak biasa merayakan ulang tahun. Untuk Mas Dirman, saya biasa memperingati hari wetonannya saja, Senin Pon. Pada hari itu saya adakan selamatan kecil diantar keluarga saja untuk berkah keselamatan."

 

Alfiah tak pernah membayangkan Mas Dirman akan jadi tentara. Tahun 1936 ketika menikah, Sudirman berprofesi sebagai guru agama di HIS Perguruan Wiworo Tomo, Almamater mereka berdua. Dari perkenalan 2 tahun, Alfiah bisa menilai bahwa anak tunggal mandor tebu yang diangkat anak oleh pamannya seorang camat, memiliki sifat-sifat terpuji sebagai calon suami. Alfiah memang tidak salah pilih. "Mas Dirman mencintai anak-anak. la selalu menunggui kelahiran mereka. Mau momong atau menyuapi anak-anak."

 

Bukan itu saja. Sudirman pun selalu memilihkan corak baju-baju bahkan juga bedak istrinya. Dengan caranya sendiri ia memuji masakan-masakan istrinya. "la selalu tahu bagaimana memberikan kebahagiaan dan kegembiraan untuk saya dan anak-anak."

 

Satu hal lagi yang disimpan Alfiah sebagai kenangan manis, yaitu tak boleh memanggilnya Pak. “Kalau saya panggil pak, Mas Dirman selalu bilang 'Ah, aku kan bukan bapakmu," ujar Alfiah sambil tersenyum kecil mengenang.

 

Hampir tiap tahun anak-anak dari pasangan muda itu bertambah. Sudirman selalu menyambut gembira. Kendati telah terikat dalam perkawinan, Sudirman tak meninggalkan dunia organisasi yang dicintainya. la tetap aktif dalam pergerakan Pemuda Muhammadiyah. Sang istri yang sama-sama pencinta organisasi, pernah nekad menyusul ketika Sudirman mengikuti Kongres Il Pemuda Muhammadiyah di Magelang. “Padahal, waktu itu saya sedang hamil tua. Mungkin karena jiwa muda dan semangat menyala-nyala, saya nekad mendaki gunung Tidar menuju tempat kongres. Untung kandungan saya tak apa-apa."

Mengenang peristiwa itu mereka memberi nama putra pertama Ahmad Tidarwana.

 

Hari-hari tenang tenteram itu tak abadi. Sewaktu pendudukan Jepang sekolah tempat mengajar Sudirman ditutup. Hidup keseharian pasangan muda ini berubah. Para guru harus masuk LBD (Lucht Bescherming Dienst Dinas Perlindungan Bahaya Udara dan Sudirman terpilih sebagai Komandan Sektor. Itulah awal karier Sudirman dalam bidang kemiliteran.        

 

sudirman sakit

Tak pernah hirau meski TBC menggerogoti

 

Setelah tepilih sebagai Sangikai di Karesidenan Banyumas, Sudirman diangkat menjadi Daidancho di Kroya. Sejak itulah Mas Dirman menjadi jarang tinggal di rumah.

 

Pertemuan-pertemuan rahasia dengan anggota-anggota pergerakan republik sering diadakan. Malam-malam rumah mereka sering diketuk seseorang untuk mencari Sudirman untuk suatu rapat rahasia. la selalu berangkat. Padahal ia baru datang dari suatu tempat. “Mobil tak ada, jadi Mas Dirman terkadang berangkat pakai sepeda atau jalan kaki," tutur Alfiah Sudirman.

 

Alfiah cukup tahu posisi Sudirman yang berbahaya. Karena itu, Alfiah selalu sembahyang tahajjud untuk keselamatan semuanya.

 

Alfiah juga tidak berpangku tangan hanya melihat sepak terjang suaminya. Dengan caranya sendiri ia ikut berpartisipasi. Misalnya kalau dilihatnya suaminya termangu menghadapi sesuatu masalah pelik, dengan hati-hati ia akan menanyakan. Sudirman akan membentangkan masalahnya. Lalu Alfiah ikut menyampaikan pendapat. Biasanya. setelah berpikir, menimbang-nimbang sejenak, Sudirman akan punya keputusan dan bersemangat. “lyo ding, bener kowe, Jeng. Tak jarang, pendapat saya itulah yang dipakai Mas Dirman menyelesaikan persoalan."

 

Hal itu berlanjut terus, bahkan juga ketika Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia.

 

Ditinggal Bergerilya

Alfiah Sudirman tak melupakan hari bersejarah 19 Desember 1948 itu. Sudirman beberapa hari terakhir sakit-sakitan masih harus istirahat. Sudah 3 bulan lamanya Panglima Besar tak meninggalkan tempat tidurnya. Namun ketika didengarnya deru pesawat terbang di atas kota Yogya disusul bom berjatuhan, Sudirman langsung bangkit. "Pagi itu juga Mas Dirman nekad ke istana untuk menemui Bung Karno. Saya tak bisa menghalangi lagi."

 

Itu awal kepergian Sudirman bergerilya. Alfiah saat itu sedang mengandung putranya ke-7. Lalu segera mengumpulkan ke-6 anak-anaknya yang masih kecil-kecil saat bebeapa kali bom mengepung kota Yogjakarta. “Bom terus berjatuhan dan tentara Belanda memasuki Yogyakarta. Saya hanya mendengar pemimpin-peminpin ditangkap Belanda, tetapi saya tak tahu pasti bagaimana keadaan Mas Dirman. Saya cemas dan khawatir dengan kesehatannya."

 

Menuruti saran Sri Sultan, Alfiah Sudirman dan sekeluarga harus mengungsi ke dalam benteng kesultanan. Alfiah sempat bertemu sejenak dengan suaminya dan ia merasa terharu "Wis, Jeng, niat slamet bali slamet," begitu Sudirman berpamit pada Alfiah.

 

Seluruh perhiasannya diserahkan untuk suaminya melalui kurir untuk membiayai gerilya. Bahkan Alfiah masih menerima tanggung jawab menghidupi 30 anggota keluarga anak buah Sudirman yang bergerilya. "Tak ada penghasilan apa pun. Jadi saya setiap hari menukarkan kain batik dan baju-baju milik saya dengan singkong untuk makan kami, ”.

 

Hedup prihatin ini masih ada juga yang tega memanfaatkan situasi. Alfiah ingat, baju-baju itu dihargai serendah-rendahnya, sedang singkongnya dijual dengan harga tinggi. “Saya tak bisa apa-apa kecuali menyetujui, daripada anak-anak serta keluarga yang saya tanggung tak makan."

 

Masih juga Alfiah direpotkan dengan datangnya tentara-tentara Belanda yang mencoba menginterogasinya. Waktu itu Belanda sangat gencar menguber Panglima Besar Indonesia itu. Demi keselamatan keluarga, ia terpaksa berbohong, "Saya katakan bahwa kami ini keluarga kesultanan. Mereka percaya dan tak mengusik lagi.

 

"Foto-foto dan album keluarga terpaksa saya tanam supaya tidak kepergok Belanda. Cuma sayang ketika keadaan telah aman dan bungkusan itu saya gali lagi, ternyata semuanya telah rusak karena air."

 

Dalam situasi yang demikian gawat, Panglima Besar toh masih menyisakan perhatiannya untuk istrinya. "Ada kurir yang membawa surat Mas Dirman. Kecuali mengabarkan keselamatan juga berjanji, sebisa-bisa akan menunggui kelahiran anaknya yang ke-7 nanti,”.

 

Sudirman juga berpesan kalau nanti lahir laki-laki ia ingin memberi nama Mohammad Teguh Bambang Tjahyadi. Kalau perempuan, ia ingin menamakannya Teja ningsih.

 

Niat tersebut ternyata tak sampai. Alfiah melahirkan kali ini tanpa ditunggui sang suami. Padahal usia kandungannya lebih lama dari yang sewajarnya. Hampir sepuluh bulan. “Mas Dirman bilang mungkin bayi itu sengaja memberi kesempatan ayahnya memenuhi janjinya. Sayang, situasi tetap tak mengijinkan, " kata Alfiah tersenyum mengenang.

 

Seperti pesan suaminya, ia memberi nama bayi laki-lakinya Mohammad teguh Bambang Tjahyadi.

 

Delapan bulan lebih Nyonya Alfiah mengalami berbagai kegetiran yang dalam. Kesehatan Sudirman makin memburuk, tetapi Alfiah sangat gembira ketika mendengar kabar Beliau selamat.

 

Usai penyerahan kedaulatan tahun 1949 dan Panglima Besar Sudirman kembai ke Yogvakarta, langsung dirawat di RS Panti Rapih. Lalu Sudirman memilih istirahat di Magelang. Peristirahatan tentara Badakan di Megelang tersebut letaknya memang sangat indah dan sejuk. Tepat menghadap Gunung Sumbing dengan panorama yang cantik.

 

Alfiah memboyong ke-7 putra-putrinya ke Magelang agar bisa menunggui suaminya."Tak ada yang percaya Mas Dirman itu sakit parah kalau tidak melihat fisiknya. Bicaranya tetap menggelegar dari luar kamar,”.

 

Pada kesempatan inilah Panglima Besar mengisahkan pengalamannya selama bergeriya. Bagaimana pasukannya harus menerobos bukit dan pedesaan di medan yang sulit. Pertempuran-pertempuran yang terjadi dan perbekalan yang minim. Bahkan juga obat-obatnya yang rusak dan tak dapat digunakan karena tersiram air hujan.

 

Pernah juga Mas Dirman malah dianggap kyai di salah satu pedesaan karena dapat menolong beberapa kesulitan rakyat kecil. Misalnya merukunkan pasangan suami istri yang mau cerai. Menyembuhkan penyakit seorang penduduk. Padahal, ia hanya mengambil air putih segelas dan membaca Bismillah untuk kesembuhan orang tersebut.

 

Di tengah keasyikannya berbincang itu terluncur ucapan Panglima Besar Sudirman bahwa kalau saat ia dipanggil menghadap Allah, ia rela lahir batin. Sebab dirasanya tugasnya telah selesai. "Saya tegur Mas Dirman, jangan bicara yang tidak-tidak. Mas harus menikmati hasil perjuangannya dulu. Dan lagi anak-anak masih butuh bimbingan, jangan bicara soal mati

 

Dan seakan-akan menenangkan hati dulu. Mas Dirman hanya tersenyum, “Jeng saya hanya bercanda saja kok bilang,”.

 

Firasat Panglima Besar Sudirman terbukti menjadi kenyataan. Tanggai 29 Januari 1950 pagi, ia menghembuskan nafas terakhir.  "Saya tak mengira secepat itu Mas Dirman pergi” ucap Alfiah dengan tatapan sedih.

 

A Yani sudrman

Ahmad Yani dan Gatot Subroto saat menghadiri pemakaman Sudirman tahun 1950. Foto dok net

 

Padahal, masih ada kenginannya yang belum terlaksana. Kalau sembuh nanti Sudirman ingin mengajak keluarga melewati rute perjalanannya sewaktu bergerilya. “Kalau pensiun nanti ingin tinggal di pegunungan, dikelilingi anak-anak cucunya. Niat itu ternyata tak sampai,”.

 

Jutaan rakyat Indonesia turut berdoa bersama Alfiah yang waktu itu berusia 30 tahun. "Tidar masih kelas 5 sekolah rendah, dan adiknya nomor dua masih kelas 3. Ia hanya bisa memandangi di depan keranda ayahnya, belum mengerti apa arti kepergian sang panglima besar,”.

 

Anaknya yang paling kecil mesih berusia 9 bulan, membuat Alfiah sempat ragu untuk berjuang menempuh perjalanan hidup tanpa didampingi suaminya. Tetapi ia berhasil memegang rasa tabah, sebab pernah pengalaman hidup sendiri semasa ditinggal suaminya bergerilya. (pul)

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

Mengganggu Bini Orang Berujung Petaka

Author Abad

Oct 26, 2022

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022