Sengketa Nine Dash Line di Natuna
Abad.id - KONON, sisa-sisa kekuatan Dinasti Ming di Indonesia membangun kekuatan di wilayah Selatan, termasuk Natuna. Tapi kekuatan mereka akhirnya benar-benar lenyap setelah dihancurkan Kaisar Kangxi tahun 1683. Lantas bagaimana dengan Majapahit (1293-1500)? Naiknya Gajah Mada sebagai mahapatih terjadi di masa kekuasaan Ratu Tribhuwanatunggadewi dan berlanjut hingga Prabu Hayam Wuruk.
Sumpah Palapa Gajah Mada kemudian mengantarkan Majapahit sebagai kerajaan ekspansionis yang banyak menaklukan kerajaan-kerajaan, bukan hanya di wilayah yang kini disebut Tanah Air Indonesia, namun juga hingga ke luar Nusantara.
Fakta sejarah menyebutkan, dimasa kejayaannya, Majapahit menguasai minimal memiliki pengaruh kuat atas wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia dan Brunei), Tumasik (Singapura), serta sebagian Thailand plus Filipina.
Jika mengacu pada data historis ini, maka bukan hanya perairan Natuna, bahkan kepulauan Spratly adalah juga wilayah Indonesia. Hanya saja klaim historis, apalagi relevant waters (perairan terkait) tak dikenal dalam hukum internasional. Dunia hanya mengakui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 sebagai pijakan dalam menentukan batas wilayah laut, termasuk zona ekonomi ekslusif (ZEE) suatu negara.
Jika terjadi sengketa atau tumpang-tindih klaim kepemilikian seperti di kepulauan Spratly, maka penyelesaiannya dilakukan oleh pengadilan arbitrase.
Tapi dalam kasus Spratly, RRC tidak mau mengakui putusan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda yang memenangkan Filipina dalam sengketa kepemilikan gugusan karang di Laut China Selatan tersebut. Dengan menguasai Spratly, China kemudian menerapkan peta nine dash line (sembilan garis putus) sebagai bagian wilayahnya. Nine-Dash Line adalah sembilan garis terputus - putus yang dibuat China di Laut China Selatan, dimana area perairan dan daratan yang ter-cover (liputi) didalamnya diklaim sebagai perairan dan daratan milik China. Banyak permasalahan yang timbul akibat klaim tersebut dan terjadi konflik dengan berbagai negara yang merasa dirugikan, seperti Filipina, Vietnam, Brunei, Malaysia, dan Indonesia. Nine-Dash Line dianggap bertentangan dengan hukum laut internasional, dalam hal ini United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang sudah disepakati dunia, karena dasar dari pembuatan Nine-Dash Line adalah hanya karena faktor sejarah masa lalu.
Nah Indonesia yang tidak ikut terlibat dalam sengketa Spratly, ikut terkena getahnya karena 'nine dash line' menjorok hingga Natuna Utara yang disebutnya sebagai perairan terkait dan dulunya merupakan bagian dari zona yang dikuasai Dinasti Ming. Karena secara geografis, Laut China Selatan meng-cover wilayah laut seluas 3,5 juta kilometer persegi, melalui Brunei, China, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayahnya diliputi oleh hamparan pulau - pulau, daerah dangkal, pulau karang, dan bebatuan yang kemudian dikelompokan kedalam empat grup pulau, yaitu Kepulauan Paracel, Kepulauan Pratas, Kepulauan Zhongsha, dan Kepulauan Spartly. Ke-empat kepulauan tersebut berada dalam koordinat 3° 57' ke 21° Utara and 109° 30' ke 117° 50' Timur.
Nine-dash-line-alasan-China-mengklaim-Natuna
Jika wilayahnya diukur dari utara ke selatan maka panjangnya kira kira 1.800 km, dan jika ukur dari timur ke barat maka panjangnya kira - kira 900 km. Berdasarkan posisi geografisnya, Laut Cina Selatan merupakan bagian dari rute vital perdagangan dan transportasi laut untuk negara - negara Asia Timur dan Asia Tenggara dan mitra dagang Negara Negara tersebut di Asia, Afrika, dan lain - lain. Total trade flows di Laut China Selatan berdasar data dari CSIS (Washington, D.C.) bisa mencapai $2303.01 (billions of dollars).
Karena China enggan mengakui putusan pengadilan arbitrase, meski mengaku tunduk pada UNCLOS 1982, maka Indonesia tidak bisa membawa kasus ini hanya berdasar hal itu. Tapi tidak ada salahnya juga dicoba menggunakan klaim historis Majapahit JIKA Tiongkok tetap mendasarkan pada wilayah Dinasti Ming.
UNCLOS atau Konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa tentang Hukum Laut, atau juga disebut Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa - Bangsa tentang Hukum Laut yang berlangsung dari 1973 sampai 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut.
UNCLOS inilah yang menjadi dasar kesepakan bersama pengaturan wilayah laut di seluruh dunia. Akhir-akhir ini polemik terus muncul seiring ngototnya China bahwa Nine-Dash Line yang mereka buat di Laut China Selatan sesuai dengan sejarah masa lalu, adat penemuan, dan pekerjaan dimana banyak nelayan China yang dari dahulu sudah menangkap ikan di Laut China Selatan. Tetapi beberapa negara meyakini bahwa ngototnya China atas wilayah di Laut China Selatan adalah karena signifikansi strategis dan ekonomi Laut Cina Selatan, seperti yang sudah ditulis sebelumnya bahwa Laut China Selatan kaya akan ikan laut, minyak dan gas bumi, serta jalur perdagangan yang strategis.
Jika China tetp mengklaim wilayah territorial matiminya berdasakan wilayah Dinasti Ming, harusnya Indonesia juga melakukan hal sama, mendasarkan klaim wilayah Majapahit. Tentu klaim Indonesia berdasar wilayah Majapahit akan ditentang banyak negara, terutama negara-negara ASEAN karena memang selama ini tidak dikenal dalam hukum internasional. Tetapi sebagai sebuah "alat gertak", karena tidak ada salahnya juga untuk dicoba, minimal disuarakan, janganlah asal mangap aja bab politik dan agama. Itu jika para elit kekuasaan masih punya otak plus niat menjaga kedaulatan NKRI.
Indonesia juga mempunyai sejarah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang memiliki kekuasaan sangat luas. UNCLOS adalah dasar hukum laut yang tetap dan mempunyai kekuatan hukum yang sangat besar, dan itu adalah kesepakatan bersama oleh banyak negara di dunia di bawah PBB.
Sikap Indonesia tentunya harus mempertahankan kedaulatan yang sudah kita miliki, harus bersikap tegas menyatakan diri bahwa Perairan Utara Natuna adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Cara cara damai tentu tetap diupayakan untuk menghadapi sengketa terkait wilayah atau perbatasan dengan negara lain dan mengupayakan terus menjaga persahabatan dengan China. Tugas Indonesia selanjutnya adalah meningkatkan pengawasan di perairan tersebut dan mendorong pemanfaatan potensi yang dimilikinya.
Ketimbang kudu perang puputan (perang fisik sampai titik darah penghabisan), sudah duwit gak punya, kekuatan personel militer cuman 30% nya dari militer China, apalagi soal alutsista….menyedihkan! Kendati demikian, harus tetap optimis jika semisal jalan terakhirnya adalah harus perang mati-matian, Indonesia kemungkinan besar bisa unggul, tengaranya: karena Indonesia menganut sistem 'perang semesta' dimana rakyatpun dilibatkan untuk membela keutuhan Tanah Air Indonesia.(mda)