Budaya Maritim versus Budaya Agraris
Abad.id - Terputusnya akar sejarah orang Jawa dari runutan sejarah migrasinya membuat orang Jawa sama sekali kehilangan kemampuan maritimnya, bahkan seperti trauma, takut, laut dianggap memiliki kekuatan magis yang tidak nyaman, Ratu Kidul, Nyi Blorong dan seterusnya yang menakutkan dan mengandung pantangan-pantangan.
Kuliner bahari orang Jawa pun menjadi sangat kontinental, tidak ada pangan ikan tenggiri, tongkol, tuna, tidak ada sumber bahari laut lepas, dan makanannya pun cenderung menjadi relative manis, jauh dari rasa rempah keras yang merupakan ciri komoditi maritim.
Begitu traumanya, entah bagaimana itu terjadi, pesisir menjadi semacam lembah atau mandala Nista, tempat orang-orang susah berkumpul, tempat kelas sosial rendah, dan benar-benar menyusun narasi asal-usul wangsa-wangsa Jawa turun sebagai dewa-dewi dari langit. Dugaan sementara penulis adalah bahwa disaat itu berkaitan dengan diberikannya sejumlah wilayah pesisir atau Sima kepada para saudagar asing yang datang dari berbagai bangsa. Mereka hanya boleh berdagang dan melakukan aktifitas perdagangan mereka di pesisir dan tidak diperkenankan melakukannya di dalam wilayah internal kerajaan di pedalaman. Kenapa mereka diberikan wilayah di pesisir? Karena mereka orang asing yang tidak termasuk dalam pengaturan kasta atau struktur sosial masyarakat saat itu.
Dari makanan, sumber-sumber pangan, sisa-sisa pewarisan keahlian, artefak, inskripsi, tidak adanya catatan peta laut, maka saya berkesimpulan bahwa serie kebudayaan Jawa adalah budaya agraris, tidak memiliki budaya maritim, dan belum ada bukti pelayaran lintas samudera yang merupakan keharusan untuk menyatakan telah adanya budaya maritim.
Negara maritim cenderung agresif, tapi Indonesia sudah terlalu lama terkondisikan sebagai negara agraris atau daratan yang sifatnya defensive. Jika kesadaran ini menjadi kesadaran bangsa, maka slogan Britain Rules The World harus ditinjau ulang. Pandangan maritim itu dagang, sedang pandangan agraris itu bertani, bercocok tanam dan memproduksi bahan pangan.
Candi Banyunibo
Negara kita adalah sebuah lanskap agraris, ini dibuktikan dengan fakta bahwa seluruh tinggalan candi-candi kita ada pada lanskap pertanian, dan kita tidak punya tradisi maritim, karena pelayaran kita baru sebatas lintas pulau (interseluler) dimana satu pulau dan pulau lain saling membentuk jejaring "livelyhood", keberlangsungan kehidupan.
Candi Plaosan di lanskap pertanian
Konteks maritim memaksa kita masuk dalam kerumitan "Chain Supply" dan lebih berfokus pada lokus perdagangan, sehingga melupakan ketahanan agraris kita. Infrastruktur dibangun untuk memperlancar arus perdagangan yang ujung-ujungnya hanya tiga D; duit, duit, dan duit. Pelipat gandaan uang dalam jumlah yang fantastik, rekayasa finansial dengan segala istilah canggihnya membius semua akal sehat kita. Sehingga negeri ini menjadi sama sekali melupakan jatidirinya sebagai petani dan lanskap agrarisnya, dari lanskap agraris lalu berubah hanya menjadi sekeping bangkai lanskap investasi.
Maka sebaiknya kembali dulu pada Lanskap Agraris, pada jatidiri bangsa sebagai petani dan negeri agraris sebelum secara sembrono masuk ke dalam dunia maritim. Siapkan dulu semua ketahanan enerji dan pangan, baru kemudian masuk kedalam semestanya dunia perdagangan lintas laut (maritim).
Kita terlambat selama 20 tahun terakhir, dan keterlambatan itu kita bayar amat sangat mahal hari ini, bukan lagi puluhan ribu tapi jutaan orang terancam kelaparan, karena tidak ada livelyhood dan sustainibility pada fondasi yang paling mendasar.
Nawa Cita dengan perspektif Maritim adalah sumber semua instabilitas sosial politik, ambisi tak terkendali, kepongahan dan ketidak hati-hatian, ketidak percayaan dan keraguan, serta pelemahan nyata pada usaha untuk memelihara dan melestarikan lanskap pertanian kita. Disitu awalnya dan akan berakhir disitu semua ceritanya, kita makan besi, gak usah makan nasi lagi.(mda)