abad.id-Mistikus Islam termasyhur, Jalaluddin Rumi, yang terkenal dengan syair-syair cintanya, menyebut Tuhan adalah Sumber dan Cinta itu sendiri. Ia menyebutnya "Ishq". Cinta dilukiskan sebagai samudra tiada tepi. "Laut ke-Tiadaan". Semuanya melebur menjadi satu berselimutkan tabir rahasia berlapis-lapis. Satu tabir kita singkap, muncul tabir baru, tak pernah habis.
Ya, memang cinta itu tidak dapat dirumuskan, hanya dapat dirasakan. Karena menyangkut perasaan, cinta bersifat personal, individual, masing-masing punya rumusannya sendiri. Bagi orang yang jatuh cinta, apalagi sedang menuju ke mahligai pernikahan, cinta menghadirkan perasaan bahagia, berbunga-bunga, aman dan nyaman jika sedang asyik berdua secara fisik maupun sedang berkomunikasi.
Lapar dan haus hilang saat itu, yang hadir hanya perasaan senang. Itu kalau sedang akur, tapi kalau sedang terjadi salah paham, dampaknya: gelisah, serba salah, uring-uringan tak karuan juntrungannya, rindu-dendam tak terperikan. Cinta bisa mengubah segalanya.
Ketertarikan hingga jatuh cinta sampai ke pernikahan adalah masalah hati, di luar nalar. Modal utamanya adalah hati (yang saling cocok). Seperti dilukiskan dengan tembang Jawa, "Gegaraning wong akrami" (Pegangan orang menikah): "Dudu bandha, dudu rupa, nanging ati pawitane. Yen gampang luwih gampang, yen angel kepati, tan bisa tinumbas arta".
Terakit Jodoh kadang datang tak disangka. Boleh jadi, saling kenal sudah lama, tapi cinta datangnya kemudian hari. Ini terjadi pula pada pasangan Presiden ke 3 Prof. DR. Ing. B.J.Habibie dengan dr. Hasri Ainun Besari.
Keduanya sudah saling kenal sejak kecil. Habibie teman main kelereng kakak Hasri Ainun Besari. Rumah mereka juga berdekatan ketika di Bandung. Di SMP letak sekolah bersebelahan. Di SMA malah satu sekolah, hanya saja Rudi (nama pang-gilan Habibie) satu kelas lebih tinggi. Dia selalu jadi siswa paling kecil dan paling muda di kelas. Begitu pula dengan Hasri Ainun Besari, selalu paling kecil dan paling muda diantara teman kelompoknya. Karena dianggap mirip, guru dan teman-teman sering berkelakar menjodoh-jodohkan mereka berdua.
Banyak persamaan antara Ainun dan Rudi. Lahir sebagai anak keempat dari delapan bersaudara keluarga almarhum H.Mohammad Besari, Hasri Ainun kelahiran Semarang 11 Agustus 1937. Sementara Baharuddin Jusuf Habibie juga anak keempat dari delapan bersaudara keluarga almarhum Aluwi Abdul Jalil Habibie. Keduanya sama dibesarkan dalam keluarga yang mengutamakan pendidikan. Sama-sama mengagumi ibu yang sangat banyak mendorong dalam menuntut ilmu. Dibesarkan di Bandung dan bersekolah di tempat yang sama. Keduanya juga sama menonjol dalam prestasi belajar.
Karena sangat dekat sejak kecil, Ainun mengaku tak pernah punya perhatian khusus pada Rudi. Ketika Ainun berusia 16 tahun, sudah menjadi perhatian pada laki-laki pada masa itu. atau anak se usia itu lebih melirik mahasiswa yang lebih dewasa. Hinga suatu saat, Ainun yang punya hobi berenang mmebuat kulitnya menghitam. Pada jam istirahat, Rudi dan teman-temannya lewat di depan Ainun, "Eh,kamu sekarang kok hitam dan gemuk?" tegur Rudi sambil menyenggol lengan Ainun.
Ada getar nada tak biasa terdengar dari ucapan itu. Gadis Ainun jadi bertanya-tanya dalam hati, 'Rupanya dia ada perhatian kepada saya. Tapi benarkah?" Hanya sampai di situ. Malah selepas SMA mereka berpisah. Rudi lebih dulu melanjutkan ke ITB, sedangkan Ainun merantau ke Jakarta.
Setahun di ITB, pemuda Rudi melanjutkan studi ke Jerman Barat. Pada tahun yang sama Ainun masuk Fakultas Kedokteran UI. Hampir 7 tahun keduanya tak saling jumpa. Pada tahun 1961 Ainun berhasil mendapat gelar dokter. Pada tahun yang sama Rudi kembali ke tanah air setelah meraih gelar insinyur mesin dan konstruksi pesawat terbang. Keduanya tanpa sngaja bertemu lagi di Bandung di suatu pesta keluarga. "Rudi melamar saya jadi istri-nya," kenang Ainun.
Lalu apa yang paling menarik pada diri Rudi?, ''Wah kalau saya katakan, nanti dia hanya menonjolkan hal yang menarik saja. Bukankah sebagai suami istri lebih baik jika dua orang saling mengerti dan kenal pribadi masing-masing secara utuh?"
B.J. Habibie dan Ainun saat antri masuk Jepang. Foto dok femina
Setelah menikah tahun 1962, B.J. Habibie harus segera kembali ke Jerman untuk meneruskan studi. Ainun mendampinginya. Pekerjaan sebagai asisten di bagian kesehatan anak FKUI yang telah dijalani hampir 2 tahun Ainun ditinggalkan.
Hidup di perantauan berbekal dua kopor pakaian, keduanya berangkat ke Jerman Barat. Tiba di Aachen pasangan mua ini menyewa pavilyun kecil. Meskipun kecil, uang sewanya sangat mahal. Separuh gaji Rudi, hanya cukup untuk sewa rumah. Rudi bekerja di perusahaan konstruksi mesin bergaji 600 DM sebulan. Mengatur uang belanja merupakan masalah terdepan yang harus dihadapi Ainun. Dia harus pandai-pandai mencari celah penghematan. "Saya menjahit sendiri baju kantor dan baju sehari-hari," katanya.
Ainun sempat bekerja di sebuah rumah sakit anak-anak di Hamburg. Berangkat pukul 06.30 pagi dan pulang pukul 6 petang. Begitu tiba, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sudah menanti. Mengurus rumah, menyiapkan makanan, menjahit dan lain-lain.
Rudi pernah patah semangat ketika tesis tentang konstruksi kapal selam yang sudah dibuatnya separuh jalan, tiba-tiba tak dapat dilanjutkan. Konsep tesis itu diambil alih oleh profesor pembimbingnya. Ainun sebagai istri harus memberi semangat baru. Hingga suatu saat Rudi mendapat ide baru untuk tesisnya atas petunjuk profesor pembimbing, yakni membuat konstruksi mesin pesawat terbang yang dapat terbang tujuh kali kecepatan suara.
Lagi-lagi Rudi kesulitan dan nyaris tidak dilanjutkan. Katanya perhitungannya meleset. Lalu apa yang diperbuat Ainun? Dia mencoba memberi ilham kepada suaminya. "Coba deh, teliti lagi. Barangkali masukan datanya yang keliru," ujarnya. Rudi tersentak. "lya, ya. Barangkali masukan datanya...." gumamnya.
Kebahagiaan keluarga kecil itu semakin lengkap saat putra pertama lahir. Mereka memberi nama Akbar, artinya ilham besar. Maksudnya untuk mengingat saat bersejarah sewaktu Rudi memperoleh tema tesisnya.
Saat Ilham kecil, Ainun masih bekerja di rumah sakit. Bayi llham sering ditinggal seharian. Beruntung setelah pindah ke rumah yang lebih besar, Ainun dibantu seorang keponakan yang datang dari Indonesia.
Rudi Habibie berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1964. Tahun itu pula mereka dianugerahi putra kedua, Thareq Kemal. Nama itu juga punya makna, artinya pionir sempurna. Keluarga kecil dan merantau di negeri jauh tentu gambaran kebahagiaan tidaklah sempurna. Suatu ketika, Thareq sakit keras dan perlu perawatan. Meski Ainun seorang dokter, justru tidak tega melihat anak sendiri menderita sakit. Maka perawatan Thareg diserahkan ke sesama dokter di rumah sakit. “ Saya ini dokter, kok merawat dan menyembuhkan anak orang lain. Anak sendiri sakit tidak bisa merawat sepenuhnya,” pikir Ainun.
Waktu memang terbatas. Sehari penuh dihabiskan di rumah sakit. Pengalaman itu membuat Ainun menjadi shock, la merasa bersalah dan rugi mengorbankan waktu keluarga. "Mungkin juga karena dalam diri saya tak ada bakat jadi wanita karir. Menghadapi problem begitu saya tak mampu mengatasi," katanya.
Keduanya berunding, yang berpenghasilan lebih besar harus jadi penopang keluarga. Mereka sepakat salah satu harus mengalah. “Saya lebih dibutuhkan di belakang layar," kata Ainun.
Sejak itu dokter Ainun melepas pekerjaan untuk mencurahkan perhatian pada keluarga. Mendampingi suami dan anak-anak. "Kesibukan jadi ibu rumah tangga membuat saya tak berpikir lagi jadi dokter."
Karir suami yang makin maju membuat Ainun tak harus mengurus rumah tangga melulu. la tak sempat lagi menjahit karena harus sering mendampingi Rudi di kegiatan kunjungan. Selama 12 tahun, pasangan Rudi dan Ainun menjalani hidup berkeluarga di seputar Eropa. Mendidik anak disiplin dan mandiri. Mengajak anak ber-main sambil belajar. "Kami puas karena apa yang kami pilihkan untuk anak-anak ternyata sesuai buat mereka." Si sulung mahir main piano. Prestasi belajar pun tak mengecewakan baik llham maupun Thareq.
Ada kesan lain pada diri Ainun selama di Eropa. Konsep wanita karir tak cocok di negara Barat. Kalaupun seorang istri bekerja, paling-paling sebagian besar gaji harus dipakai menggaji pengasuh anak. la menganggap di Indonesia lebih cocok untuk wanita berkarir. Ada pembantu atau keluarga yang bisa dititipi anak.
Baharuddin Habibie kembali ke Indonesia tahun 1974. Tugasnya mengharuskan ia pulang pergi Indonesia-Jerman. Sebab Ainun beserta llham dan Thareq sementara masih menetap di Jerman. Baru pada tahun 1978, Ainun dan Thareq menyusul ke Jakarta. Sementara llham masih melanjutkan sekolah di Jerman. Ainun mengaku harus menyesuaikan diri lagi dengan kehidupan di tanah air setelah 16 tahun tinggal di negeri orang. Senyum merupakan bentuk kebahagiaan bagi Ainun. la tak merasa rugi mengorbankan gelar dokter demi karir suami. Hingga mengantarkan BJ Habibie menjadi orang nomor 1 di Indonesia, adalah prestasi paripurna sebagai istri. (pul)