images/images-1685521891.jpg
Sejarah

Cerita Nurcolis Masjid Saat Detik-Detik Terakhir Suharto Lengser

Pulung Ciptoaji

May 31, 2023

558 views

24 Comments

Save

 

 

Presiden Soeharto memberikan keterangan pers seusai pertemuan dengan para ulama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan ABRI di Istana Merdeka, 19 Mei 1998, dua hari sebelum mengundurkan diri menjadi presiden. Disaksikan Mensesneg Saadillah Mursyid (paling kanan) dan para tokoh, antara lain Yusril Ihza Mahendra, Amidhan, Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Malik Fadjar, Sutrisno Muchdam, Ali Yafie, Ma'ruf Amin, Abdurrahman Wahid, Cholil Baidowi, Adlani, Abdurrahman Nawi, dan Ahmad Bagdja. Foto JB Suratno

 

 

Pagi itu 19 Mei 1998, Soeharto bertemu dengan sembilan tokoh Muslim dari berbagai organisasi dan profesi. Presiden cukup peduli tentang pandangan mereka sehingga ingin mendengar apa yang hendak mereka katakan. Karena menginginkan adanya situasi damai, para tokoh islam ini sudi menerima undangan untuk bertemu.

 

Hadir dalam pertemuan itu Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.

 

Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Mendengar usulan tokoh Muslim tentang agenda reformasi sangat penting, tanpa menumbangkan jabatan presiden.

 

Kehadian tokoh-tokoh Islam pagi itu sudah cukup untuk mewakili aspek sosial. Bahwa Soeharto hendak membangun kesan kelompok Islam mendukung rencananya untuk terus bertahan secara politis dengan kebijakan reformasi terbatas.  

 

Namun ternyata tamu tidak memakan umpannya. Setelah pertemuan itu, Nurcholish menjelaskan bahwa ide Soeharto mengenai reformasi, termasuk perombakan kabinet, hanyalah gagasannya sendiri. Kesediaan bertemu presiden justru karena Suharto sedang dimaki-maki di jalanan dan kampus di seluruh negeri. Delegasi Islam ingin menciptakan kesan bahwa lebih menyukai perubahan dari dalam Orde baru, daripada pemusnahan rezim secara kekerasan.

 

Koran Republika berhasil mewawancarai Nurcolis Masjid dan diterbitkan pada 29 Desember 1998. Berita ini menjadi catatan penting untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di pikiran dan tindakan Suharto yang mulai kehilangan legitimasinya.

 

Menurut Nurcolis Masjid, sudah menawarkan reformasi yang cukup prinsipil, tapi tidak radikal. Kronologisnya tanggal 12 Mei, Nurcolis Masjid berbicara dengan Kassospol ABRI (Susilo Bambang Yudoyono--Red) sambil makan malam. Dalam pertemuan itu Nurcolis Masjid mempersoalkan legitimasi Pak Harto. Di antaranya soal pengulangan pemilu dianggap tidak sah. “Pak Harto itu jangan dijatuhkan secara tidak terhormat. Kita sebagai bangsa tidak mau mengulang lagi kesalahan masa lalu, seperti Bung Karno yang dijatuhkan secara tidak terhormat,” kata Nurcolis Masjid

 

Menurut Nurcolis Masjid, Pak Harto harus mundur secara konstitusional. Pemilu diulang tahun 2000 dan Pak Harto dengan tegas mengatakan tidak mau dipilih lagi. Pak Harto harus berpidato di depan rakyat dan meminta maaf.

 

Pada tanggal 14 Mei, Nurcolis Masjid diundang ke Mabes ABRI. Pertemuan yang dihadiri beberapa jenderal itu membahas soal Komite Reformasi. Hadir dari sipil diwakili bidang ekonomi, politik, budaya, dan lainnya. Mereka Nurcolis Masjid, Salim Said, Indria Samego, Eep Saefullah Fatah, dan Yudi Krisnandi, sedangkan Ryaas Rasyid saat itu berhalangan hadir.

 

Sebelum pertemuan Nurcolis Masjid telah menyiapkan konsep yang isinya antara lain pidato umum permintaan maaf Pak Harto, mengakui banyak kebijakannya yang salah, dan membatalkan semua kebijakan yang salah itu. Misalnya, soal kasus Timtim, Aceh, dan lainnya. Kemudian menyerahkan semua kekayaan pada negara. “Inilah yang kita inginkan, reformasi damai, dan Pak Harto sendiri yang akan memimpin reformasi itu,” kata Nurcolis Masjid.

 

Tapi poin ini masih terlalu lemah. Lalu, mengulangi pemilu secepat-cepatnya. “Waktu itu saya kasih tempo 10 Januari 2000. Kemudian SU MPR dua bulan setelah pemilu, yaitu Maret. Jadi, 11 Maret 2000 sudah ada presiden baru. Terakhir, mengubah UU politik yang tidak benar,” cerita Cak Nur.

 

Setelah Nurcolis Masjid membacakan hasil konsep Nurcolis Masjid, mereka kaget semua. Ada yang teriak, "Oh my God, siapa yang menyampaikan ini kepada Pak Harto?" Ya Nurcolis Masjid bilang, "Andalah yang tentara."

 

Pada malam harinya, Nurcolis Masjid ditelepon Pak Malik Fajar. Ia bilang bagaimana kalau besok pagi kita bertemu Menteri Agama, Quraish Shihab. Quraish tentunya bisa menyampaikan kepada Pak Harto saat Jumatan di Cendana. Tapi, ternyata Quraish belum bisa menyampaikan karena ada acara lain.

 

Pada Sabtu, 16 Mei, Nurcolis Masjid berkumpul lagi di rumah Malik Fajar. Di sana ada Fahmi Idris, Utomo. Pertemuan kemudian dilanjutkan di Hotel Regent. Kemudian ada ide membuat konferensi pers pada malam harinya di Hotel Wisata.

 

Setelah dimuat di media, Mensesneg Sa'adilah Mursyid tertarik ingin menyampaikan langsung kepada Pak Harto. Hari Senin, 18 Mei, Nurcolis Masjid dipanggil ke rumah Sa'adilah. "Nurcolis Masjid bertekad untuk menyampaikan ini kepada Pak Harto," kata mensesneg saat itu.

 

“Kita memang sempat menanyakan siapa yang akan menyampaikan ke Pak Harto. Sampai-sampai Emha Ainun Nadjib ingat pelajaran saat di pesantren antara tikus dan kucing. Kita kan cuma tikus-tikus, yang kalau mendekati kucing diterkam. Ternyata Sa'adilah ini tikus yang berani,” kesan Cak Nur.

 

Nurcolis Masjid kemudian melakukan pertemuan dengan teman-teman di Kuningan bersama Amien Rais untuk menyerukan agar masyarakat tidak melakukan aksi demo besar-besaran. Dalam pertemuan juga melakukan diskusi tentang pemilu tahun 2000 yang dianggap terlalu lama. Untuk itu, disepakati pemilu harus dilakukan dalam jangka enam bulan.

 

Begitu Nurcolis Masjid pulang ke rumah, Nurcolis Masjid kembali ditelepon Sa'adilah. Ia mengatakan bahwa Pak Harto ingin bertemu dengan Nurcolis Masjid. Tepatnya tanggal 18 Mei malam. Nurcolis Masjid dijemput oleh mobil protokol kepresidenan. Sopirnya namanya Pak Joko, seorang perwira menengah.

 

Ternyata di Cendana sudah ada Probosutejo yang ikut nimbrung dalam pertemuan. Nurcolis Masjid bilang pada Pak Harto, perubahan itu cepat sekali, kalau kemarin-kemarin itu masih dalam hitungan harian, tapi saat ini sudah dihitung detik per detik. Dalam kondisi seperti ini masyarakat hanya tahu Pak Harto harus lengser.

 

Reaksi Soeharto saat itu, "Saya sudah kapok menjadi presiden." Lalu Nurcolis Masjid bilang, "Kapok 32 tahun Pak, itu namanya tuwuk." Mendengar itu Pak Harto tertawa saja.

 

Pada prinsipnya, Pak Harto setuju apa yang Nurcolis Masjid sampaikan itu, kecuali lengser saat itu juga. Sehingga perlu dicari jalan yang konstitusional.

 

Untuk itu, Pak Harto ingin bertemu langsung dengan para tokoh masyarakat. Beberapa yang Pak Harto sebut sendiri seperti Hasan Basri, Gus Dur, Anwar Haryono, ketiganya saat itu sedang sakit. Tapi Gus Dur memang dipaksakan untuk hadir saat itu. Lalu Nurcolis Masjid tanyakan ke Pak Harto, bagaimana dengan teman sekolah Nurcolis Masjid, Amien Rais. Pak Harto hanya bilang, "Nanti dulu, deh." Kemudian Emha Ainun juga ikut.

 

Malam itu yang terpikir Sa'adilah orang-orang Islam. Sebab dia kan ulama. Jadi, yang ada dalam mindset-nya ya orang Islam. Kemudian Anwar Haryono diganti Cholil Baidlowi dan lainnya. Muhammadiyah hanya Malik Fajar dan Sutrisno Muchdam, lainnya NU. Termasuk Yusril yang sengaja Nurcolis Masjid bawa, sebab ia paling tahu hukum tata negara.

 

“Dalam pertemuan di Istana Merdeka itu memang menegaskan bahwa kami hadir karena dipanggil. Sebab bagi ulama datang ke pejabat itu hukumnya haram. Tapi, kalau dipanggil wajib datang. Karena kalau dipanggil itu artinya pejabat membutuhkan nasihat dan ulama wajib memberikannya. Saat itu saya menyatakan Pak Harto harus lengser dengan istilah tanazzul,” kata Nurcolis Masjid.

 

Nurcolis Masjid duduk di sebelah Pak Harto. Yusril tidak kebagian tempat, sehingga ia duduk di dekat Nurcolis Masjid dan Pak Harto. Dalam pertemuan itu Pak Harto terlihat cerah dan mengawali pembicaraan dengan kata-kata yang enak. Setelah itu ia membacakan teks yang telah disiapkan, yakni pembentukan Dewan Reformasi. Perkataan dewan ini lantas dipersoalkan, seperti dewan revolusi, dewan jenderal, dan sebagainya. Lalu minta diganti. Semuanya usul nama-nama lalu ketemunya komite.

 

Saat itu Yusril mengkritik betul naskah yang dibacakan Pak Harto itu. Yusril mengatakan, itu sama sekali tidak konstitusional. “Yang juga bukan berasal dari kami adalah keinginan Pak Harto untuk melakukan pergantian kabinet,” tambah Cak Nur.

 

“Dalam kesempatan itu kami tidak ingin ditempatkan di kabinet yang diubah itu. Kami dalam posisi dicurigai sehingga tidak mau kena getahnya,” kenang Nurcolis Masjid.

 

Besok harinya yaitu tanggal 20 Mei kegiatan lebih banyak untuk membentuk komite. Pagi-pagi Sa'adilah sudah telepon. Pertama-tama yang dibayangkan Nurcolis Masjid menjadi ketua komite tersebut. Ini suatu kejanggalan. “Sesuai dengan janji yang saya katakan kepada Pak Harto, saya tidak mau jadi ketua komite,” kata Nurcolis Masjid.

 

Lalu Quraish ikut telepon meyakinkan. Dia bilang, "Ini kalau sampeyan nggak mau ikut, Pak Harto bisa-bisa mundur".

 

Nurcolis Masjid tetap nggak mau. Dan kalau disuruh memilih, Nurcolis Masjid pilih Pak Harto mundur ketimbang harus jadi anggota komite. Malam itu juga, Nurcolis Masjid menerima telepon dari Quraish bahwa Pak Harto akan mundur, sekitar pukul 22.00.

 

“Setelah Pak Harto mendengar kabar itu, kami cepat-cepat melakukan konferensi pers untuk mencegat siapa pun yang menggantikan Pak Harto. Kita tahu Habibie, tapi ada kemungkinan yang lain yang harus menerima kedudukan sebagai presiden sementara (transisi) dan berkewajiban melaksanakan pemilu dalam masa enam bulan,” tambah Cak Nur.

 

Paginya ternyata betul Presiden Suharto menyerahkan kepada Habibie. Karena persoalan legitimasi, Habibie harus menjadi presiden transisi. Pemilu enam bulan itu sangat ilmiah. Setelah pelantikan, Habibie minta dibuatkan pidato yang akan dibacakan malamnya. “Saya buatkan dengan tergesa-gesa. Tapi, saat pidato dibacakan ternyata tidak ada konsep dari saya. Isinya masalah transisi dan pemilu dalam waktu enam bulan,” kenang Cak Nur.

 

Kemudian Nurcolis Masjid surati Habibie. Tanggal 25 Nurcolis Masjid diundang Habibie, bersama Amien Rais, Adnan Buyung Nasution, Syafi'i Ma'arif, dan lainnya. Habibie sangat egaliter. Presiden ini seperti orang biasa. “Kita baru pertama punya presiden orang biasa. Tidak pakai angkuh-angkuhan. Bang Buyung saja memanggil Habibie cukup dengan Rud. Mereka memang kawan lama,” kata Nurcolis Masjid.  (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022