images/images-1686912511.jpg
Sejarah
Indonesiana

Sejarah Pancasila dan RUU HIP

Malika D. Ana

Jun 16, 2023

456 views

24 Comments

Save

Sejarah Pancasila dan RUU HIP

 

 

Abad.id - Sejarah adalah jembatan masalalu untuk berpijak dan melangkah dimasa sekarang, dan masa depan. Sejarah tercipta untuk pemulihan, dan untuk menjadi hikmah kebijaksanaan. Dia berulang untuk memberikan pemahaman, manusia tidak diciptakan untuk merubah sejarah, tetapi hidup di dalamnya.

 

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Padahal konsep Pancasila yang dikemukakan Sukarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 bukanlah Pancasila yang kita kenal sekarang. Sukarno merinci Pancasila versinya ketika itu terdiri atas prinsip kebangsaan Indonesia; Internasionalisme Atau Peri-kemanusiaan; Mufakat Atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu Sukarno mempunyai tawaran lain, TRISILA yang terdiri atas Socio-nationalisme, Socio-demokratie, dan Ketuhanan. Terakhir, jika ingin satu prinsip/sila saja, Sukarno menawarkan 'Gotong Royong'. 

 

Setelah melalui rangkaian pembahasan para tokoh bangsa, pada tanggal 22 Juni 1945 keluarlah kesepakatan Pancasila seperti yang sekarang, kecuali sila pertama yang berbunyi : "Ketuhanan Dengan Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya." Dokumen itu terkenal dengan Piagam Jakarta. Pembahasan terus berlanjut, hingga akhirnya pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 muncullah Pancasila dengan teks yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945:

 

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,

3. Persatuan Indonesia, 

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Alternatif Trisila atau Ekasila yang ditawarkan Sukarno tidak dipakai. Tanggal inilah (18 Agustus 1945) hari lahir Pancasila secara historis, sesuai kesepakatan para tokoh bangsa. Maka penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila sesungguhnya merupakan penihilan peran para tokoh bangsa yang lainnya dengan menempatkan Sukarno sebagai tokoh sentral. Kenapa? Ya kita sangat paham, karena arah angin perpolitikan memang sedang bertiup mendukung partai keluarga Proklamator ini.

 

Kini dimunculkan lagi ide Sukarno tentang Trisila dan Ekasila yang sudah tidak terpakai dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Ekasila yang menempatkan Gotong-royong sebagai sesuatu yang paling utama, seakan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai instrumen pelengkap belaka. Penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pembukaan UUD'45 pada urutan pertama bukan tanpa makna, tentu saja (dimana kita tahu, Sukarno menempatkan sila Ketuhanan di bagian paling akhir dalam pidato 1 Juni 1945). Rumusan Tim Lima yang dipimpin oleh Mohammad Hatta - proklamator kedua - saat menyusun buku Uraian Pancasila menyatakan:

 

"Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita ke negaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi".

 

Di bidang hukum, setiap putusan pengadilan agar mempunyai kekuatan eksekutorial harus mencantumkan klausa "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Di sini kita dapat pahami bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan hal yang paling fundamental bagi negara kita. 

 

Bahkan penempatan klausa "Demi Allah...." digunakan pertama kali disetiap kali pejabat diambil sumpahnya. Artinya, para tokoh bangsa menginginkan kita selalu melibatkan Tuhan dalam hal apapun. Jadi secara historis, bangsa ini tidak punya mental sekuler sama sekali.

 

Adalah Sakirman, perwakilan dari PKI di Konstituante yang begitu ngotot dengan perumusan Eka Sila agar digunakan. - Gotong Royong - dengan mengabaikan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu rapat Konstituante mendapat penolakan dari Kelompok Fraksi Masyumi-NU dan lain-lain, kemudian berakhir dibubarkannya Konstituante. Bersama keluarnya pernyataan Dekrit Presiden yang salah satu pointnya "Kembali ke UUD 1945".

 

Sekarang anehnya, DPR yang membahas RUU itu sebelumnya sudah sukarela MEMBUBARKAN DIRI dengan Perppu Covid, ngotot dengan pembentukan RUU HIP yang salah satu kontennya mencantumkan Eka Sila, maka sebenarnya RUU HIP ini diajukan untuk kepentingan siapa? 

 

Memeras 5 Sila jadi Trisila hingga menjadi Ekasila adalah pergumulan ideologis pendiri bangsa yang sudah selesai wahai. Memeras Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni “Gotong Royong”, adalah nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila itu sendiri, dan secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945, serta menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian hal ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD Tahun 1945 sebagai Dasar Negara, sehingga bermakna pula sebagai pembubaran NKRI yang berdasarkan pada 5 Sila tersebut.

 

Juga tidak mencantumkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang membubarkan serta melarang PKI, komunisme, marxisme, leninisme sebagai konsiderans "Mengingat". Tap MPRS XXV diperkuat oleh TAP MPR No. 1 2003 yang menutup ruang hukum apapun untuk mencabut TAP MPRS XXV/MPRS/1966 adalah sebuah bentuk pengabaian terhadap fakta sejarah yang kelam yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia, sehingga sama artinya dengan persetujuan terhadap pengkhianatan bangsa.

 

Secara tata aturan hukum dan perundangan-undangan, RUU HIP ini jelas menyalahi peraturan pembentukan UU dimana mana secara hirarki, kedudukan UU HIP dalam perundangan seharusnya berada di bawah UUD 1945, namun karena substansi yang akan diatur adalah Pancasila yang diundangkan sebagai haluan ideologi, maka UU HIP dalam penerapannya diyakini akan bisa setara dengan UUD 1945. Sehingga, bisa dipastikan akan membuat kekacauan dalam sistem peraturan perundang-undangan. Blunder lagi...

 

Padahal jika mau memahami isi subtansi dan intepretasi Pancasila, maka bacalah UUD 1945. KITA TIDAK BUTUH UU HIP, tapi kita perlu mewujudkan nilai-nilai Pancasila yang ada dalam UUD 1945 sebelum amandemen.(MDA)

 

Kopi_kir sendirilah!

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022