images/images-1683418360.jpeg
Indonesiana

Sejarah Kretek Dari Tingwe Kembai ke Tingwe

Pulung Ciptoaji

May 07, 2023

2017 views

24 Comments

Save

Sejarah rokok kretek di Indonesia memiliki proses yang panjang. Kretek warisan asli budaya Indonesia dan berbeda dari rokok-rokok yang di jual umumnya. Kretek pertama kali di kembangkan di Kudus pada tahun 1921 melalui perusahaan rokok lokal yang dikelola warga Tionghua.

 

 

abad.id- Kebiasaan merokok dibawa bangsa portugis yang datang ke nusantara puluhan abad yang lalu. Bangsa Portugis membawa rokok dengan bahan sebuah daun lebar yang disebut tebakau. Daun ini hanya tumbuh di Amerika bagian Selatan yang harganya sangat mahal. Bangsa Portugis mengolah tembakau dalam bentuk rokok cerutu.

 

Saat itu tembakau memang sangat laris di Eropa. Harganya mahal dan diyakini banyak manfaat untuk penghangat tubuh ketika musim dingin. Namun tembakau ini harus didatangkan dari sebuah benua yang baru ditemukan Colombus, dan dicoba ditanam di eropa. Bangsa Portugis menjadi agent yang pertama kali memperkenalkan tembakau, tetapi mereka bukan sebagai agen pembudidaya tembakau. Justru pada masa kolonial Hindia Belanda lah tembakau pertama kali di budidayakan, mulai di kawasan Besuki, Madura, Rembang dan di Deli  Sumatera Utara. Kemudian tembakau mulai di perhitungkan sebagai komiditi yang bisa diperdagangkan pada tahun 1870, setelah mulai mundul perkebunan dan gudang tembakau di banyak tempat.

 

 

Menurut berbagai sumber, kretek pertama kali di cetuskan oleh Haji Jamhari yang berasal dari Kudus. Ketika itu Haji Jamhari menderita sakit dada, ingin sakitnya sembuh ia pun mencoba mengoleskan minyak cengkeh. Ternyata sakitnya bisa berkurang dan ia mencoba mengunyah cengkeh itu. Sakit di dadanya pun semakin menghilang. Kemudian Haji Jamhari berinisiatif untuk mencampur rajangan cengkeh dengan tembakau yang di bungkus daun jagung memakai tali benang.

 

"Pada tahun 1880, Haji Djamari ini sedang sakit sesak dada, karena zaman dulu belum tahu sakitnya apa. Nah kemudian Haji Djamari ini memoleskan minyak cengkih ke dadanya. Cengkih itu dibuat seperti balsem, kayak minyak kayu putih, nah itu dioleskan ke dada. Ternyata sesak dadanya kok hilang dan sembuh,"

 

Iklan rokok jaman Hindia Belanda

 

Ternyata cara seperti ini efektif untuk menyembuhkan sakit dada yang dirasanya. Mulut ke mulut akhirnya rokok buatan Haji Jamhari pun terkenal. Mereka awalnya menyebut rokok klobot, namun lama kelamaan karena rokok kelebot ketika di bakar, timbul suara “kretek kretek” dari si cengkeh, sehingga sampai sekarang rokok tradisional itu disebut sebagai Kretek.

 

Peluang bisnis tersebut lalu ditangkap oleh Nitisemito. Nitisemito pada awal tahun 1906 kemudian membuat industri sekala rumahan rokok kretek. Awalnya dia hanya membuat 10 hingga 20 batang, namun lambat laun perusahaan itu semakin besar. Pada tahun 1913, Nitisemito mulai memproduksi rokok kretek secara massal dengan menggunakan alat mesin. Hal ini memungkinkan produksi rokok kretek menjadi lebih efisien dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Selain itu, ia juga menciptakan merek kretek yang pertama, yaitu Bal Tiga.

 

Semenjak itu industri rokok mulai menjamur di Kudus, lalu berkembang diproduksi di pabrik luar Kudus seperti Tulungagung, Blitar, dan Malang. Industri kretek berkembang di Jawa Timur karena banyak muncul wilayah pembudidayaan tembakau. Sejak tahun 1930-an, perusahaan kretek besar seperti Djarum, Gudang Garam, dan Sampoerna mulai melakukan ekspor. Mereka mengembangkan merek-merek kretek yang populer dan menjadi pemain utama di pasar rokok kretek di Indonesia.

  

Rokok kretek yang dibuat dari campuran tembakau dan cengkeh, juga memberikan rasa dan aroma khas yang berbeda dari rokok konvensional menggunakan filter. Meskipun popularitas rokok kretek terus meningkat di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara, saat ini penggunaannya semakin dikontroversial karena risiko kesehatan yang terkait dengan merokok.

 

“Sejak tahun 2018, pemerintah Indonesia telah melarang penjualan rokok kretek ke anak-anak dan remaja, serta mewajibkan peringatan kesehatan yang lebih besar pada kemasan rokok kretek,”

 

Menurut data dari Kementerian Keuangan Indonesia, pada tahun 2019, penjualan rokok kretek masih menyumbang sekitar 90 persen dari total penjualan rokok di Indonesia. Perusahaan-perusahaan rokok kretek besar seperti Djarum, Gudang Garam, dan Sampoerna masih menjadi pemain utama di pasar rokok kretek. Mereka terus mengembangkan merek-merek kretek yang populer dan melakukan inovasi pada produk-produk mereka untuk tetap bersaing di pasar yang semakin ketat.

 

Usaha rokok kretek masih menghasilkan keuntungan yang signifikan. Meskipun demikian, bisnis rokok di Indonesia mengalami beberapa perubahan dan tantangan. Misalnya kebijakan Pemerintah menurunkan konsumsi rokok, seperti menaikkan pajak rokok dan memberlakukan batasan iklan rokok. Tujuannya jumlah konsumen rokok menurut, karena rokok menjadi mahal.

 

Namun perusahaan-perusahaan rokok tetap berusaha untuk mempertahankan pangsa pasarnya dengan berbagai strategi, seperti memperkenalkan produk-produk baru dengan harga yang terjangkau, melakukan inovasi pada produk-produk yang sudah ada, dan meningkatkan efisiensi produksi untuk menekan biaya.

 

Namun strategi perusahaan rokok ini belum bisa mengubah perubahan perilaku konsumen saat harga rokok makin mahal. Konsumen cerdas melakukan inovasi dengan melakukan kegiatan tingwe (linting dewe). Budaya tingwe yang semula dihancurkan dengan pola industri rokok yang praktis, ternyata mampu membentuk komunitas ekonomi baru. Beberapa petani tembakau menyisihkan sebagian hasil produksi untuk dijual konsumsi tingwe. Serta banyak muncul kreator pengolah tembakau yang berhasil meracik rasa yang mirip dengan rokok mahal. Nah, tidak ada rotan akar pun jadi, tidak ada rokok pabrik, merokok tingwe tidak ada yang salah.  (pul)

 

 

 

 

 

 

 

                                            

Artikel lainnya

Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari Gedong Nasional Indonesia (GNI)

Author Abad

Oct 29, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

Surabaya Dalam Jejak Kubilai Khan, Cheng Ho dan Marga Han

Malika D. Ana

Jan 14, 2023

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Kapan Indonesia Siap Berdemokrasi?

Author Abad

Nov 01, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023