Gunung Tambora menyumbang penyebab kekalahan Napoleon. Foto dok net
abad.id-Perang di Waterloo merupakan akhir dari sebuah kisah tragis panglima perang legendaris Napoleon Bonaparte. Namun sebelum di Waterloo, pada Juni 1812, Napoleon memimpin pasukannya menuju Rusia untuk menaklukkan kawasan itu. Menghadapi serangan itu, tentara Rusia memilih menghindari kontak langsung dengan pasukan Prancis. Sehingga Napoleon dan bala tentaranya bisa maju dengan amat cepat. Pada September 1812, hanya berselang tiga bulan setelah perang mulai, la berhasil menduduki Moskow. Tapi pendudukan itu justru menjadi awal petakan kehancuran.
Kondisi politik di Nusantara juga berubah akibat perang di Waterloo. Inggris yang sebelumnya menguasai Nusantara akhirnya menyerahkan wilayah itu kepada Belanda yang menjadi sekutunya. Foto dok net
Orang-orang Rusia memilih membumi hanguskan Moskow sampai sebagian besar kota itu rata dengan tanah. Pasukan Napoleon terjebak di dalam kota. Selama lima minggu, mereka bertahan di Moskow sembari berharap Rusia akan menawarkan perdamaian. Tapi harapan tinggal harapan. Rusia tak pernah mengajak Prancis untuk berdamai sehingga pasukan Napoleon terpaksa mundur.
Namun keputusan itu terlambat. Pasukan Rusia tetap memerangi mengejar Napoleon. Ditambah musim dingin yang kejam dan stok bahan makanan Prancis yang terbatas, gerakan mundur Napoleon menjadi kacau balau. Kekacauan itu membuat hanya kurang dari sepersepuluh pasukan Prancis yang bisa keluar dari Rusia hidup-hidup.
Hari itu 18 Juni 1815. Mungkin menjadi saat yang paling disesali Napoleon Bonaparte sepanjang hidupnya. Menjelang matahari tenggelam, Napoleon dan bala tentaranya terjepit antara pasukan Inggris dan Prussia di Waterloo, sebuah dataran rendah di kawasan Belgia. Sebelumnya Napoleon sudah memilih mundur dari serangan yang telah la persiapkan, karena cuaca yang memburuk. Kala itu, ia berharap cuaca buruk akan lewat dan pertempuran bisa dimulai. Namun, perhitungan penguasa Prancis itu salah.
Negara Eropa lain sedang menyimak pertempuran itu. Austria dan Prusia siap menghancurkan Prancis saat tengah melemah. Lalu, pertempuran pun dikobarkan. Semua kekuatan turut digabungkan.
Dalam buku Misteri-Misteri Terbesar Indonesia tulisan Haris Firdaus diungkapkan, letusan Gunung Tambora ternyata memiliki relasi atas kekalahan Napoleon di Waterloo. Cuaca tetap buruk dan Napoleon gagal menghimpun pasukannya tepat waktu. Konsolidasi pasukan musuh lebih cepat. Roda kereta penghela meriam milik Napoleon terjebak lumpur, karena tanah masih diliputi salju. Pasukan kavaleri berjalan terseok-seok. Secara ironis,"Perang 100 Hari" yang telah disiapkan membawa kegagalan akibat suatu yang tak pernah diduganya, yaitu cuaca buruk. “Sejak awal Juni 1815 di Eropa memang terjadi "hujan salah musim". Selama beberapa minggu, kota-kota di Eropa dirundung hujan amat deras. Jalan-jalan kota di Eropa bahkan terendam lumpur. Jadilah pergerakan transportasi menjadi lambat,” tulis Haris Firdaus.
Selain dukungan cuaca buruk yang menyebabkan bahan makanan berkurang, saat itu sudah muncul teknologi persenjataan terbaru di pihak sekutu yang merupakan hasil temuan Jenderal Shrapnel dari Inggris. Tepat seratus hari setelah la berkuasa kembali, Napoleon takluk di Waterloo. Kekuasaannya selesai. Ia dibuang ke Pulau Saint sebuah tempat di selatan Samudera Atlantik. Di pulau ini ia meninggal dunia pada 1821 akibat serangan kanker.
Kalah Akibat Letusan Tambora
Gunung Tambora merupakan salah satu puncak tertinggi di Indonesia, sekitar 4.300 meter. Setelah meletus, ketinggian gunung itu turun drastis, menjadi hanya sekitar 2.851 meter. Sisa letusan Tambora hingga kini berwujud sebuah kaldera yang sangat besar dan merupakan yang terbesar di Indonesia. Kaldera itu memiliki diameter mencapal 7 kilometer serta panjang 16 kilometer, dengan kedalaman sekira 1.500 meter.
Kekalahan Napoleon di Waterloo membuat peta politik dunia berubah. Prancis yang sebelumnya menjadi salah satu negara dengan kekuasaan yang luas, berubah menjadi negara dengan wilayah yang jauh lebih sempit. Wilayah Prancis setelah kekalahan Napoleon pada 1815 bahkan lebih kecil jika dibandingkan daerah milik Prancis tatkala Revolusi Prancis meletus pada 1789.
Sementara itu kondisi politik di Nusantara juga berubah akibat perang di Waterloo. Inggris yang sebelumnya menguasai Nusantara akhirnya menyerahkan wilayah itu kepada Belanda yang menjadi sekutunya.
Lalu apa kaitan antara cuaca buruk di Waterloo dengan sebuah fenomena alam yang terjadi di wilayah yang amat jauh dari Eropa. Kenneth Spink, seorang pakar geologi, dalam sebuah pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris, pada 1996, mengatakan letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia pada Juni 1815. Cuaca buruk inilah yang menjadi salah satu pemicu kekalahan Napoleon di Waterloo.
Letusan Gunung Tambora amat dahsyat terjadi pada hari-hari di bulan April 1815 dengan skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index. Puncak letusan terjadi mulai tanggal 10-15 April. Mulai pukul 19.00 tanggal 10 April 1815, letusan Gunung Tambora semakin menguat. Saat itu, tiga lajur api terpancar dan bergabung sehingga seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api. Batuan apung dengan diameter 20 sentimeter mulai menghujani tanah pada pukul 20.00, diikuti dengan abu pada pukul 21.00-22.00. Aliran piroklastik mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan Desa Tambora. Ledakan besar terus terdengar sampai sore tanggal 11 April 1815. Abu kemudian menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau nitrat tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh.
“Letusan itu merupakan yang terbesar sepanjang 10.000 tahun. Selain itu, diperkirakan empat kali lipat lebih dahsyat dari letusan Gunung Krakatau dan enam juta kali letusan bom atom di Hiroshima pada 1945. Letusan gunung ini terdengar sejauh 2.600 kilometer, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 kilometer. Kegelapan terlihat sejauh 600 kilometer dari puncak gunung selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 kilometer dari puncak. Dengan kekuatan sebesar itu, tentu wajar jika dua bulan setelahnya cuaca buruk,” ungkap Kenneth Spink dalam argumennya,
Jumlah korban yang meninggal dunia akibat letusan, secara langsung karena letusan terdapat beberapa versi. Ada yang menyebut jumlah kematian di Sumbawa 48.000 dan di Lombok mencapai 44.000. Seorang ahli Botani Swis Heinrich Zollinger menyebut, bahwa 10.000 orang meninggal karena kelaparan. Di Sumbawa korban meninggal dunia mencapai 38.000 dan di Lombok 10.000.
Udara beku membuat tanaman-tanaman pangan di Eropa dan Kanada gagal panen sehingga membuat penduduk kekurangan bahan makanan. Kerusuhan karena rebutan jatah makanan diantara penduduk meledak di Prancis dan Swiss. Di Irlandia, curah hujan dingin terjadi hampir sepanjang musim panas, dan di sana ada 65.000 manusia mati kelaparan dan tipus. Wabah kolera dan tipus kemudian menyebar ke Eropa sehingga menyebabkan 200.000 orang meninggal dunia.
Versi lain mengatakan korban juga terdapat di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. mencapai 10.000 dan 49.000 orang. Disamping beberapa versi itu, ada peneliti yang menyebut jumlah korban meninggal sekitar 71.000 jiwa. Ada pula yang menyebut bahwa letusan Tambora telah menyebabkan 36.275 orang terpaksa mengungsi. Letusan itu juga disebut-sebut telah menyusutkan populasi penduduk Sumbawa menjadi hanya 85.000 jiwa.
Letusan Tambora Dalam Catatan Sir Thomas Stamford Raffies
Dari Yogyakarta, letusan Tambora mengagetkan Sir Thomas Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa yang memerintah antara tahun 1811-1816 itu bahkan sempat mengira ledakan yang ia dengar adalah suara meriam dari musuh. Laporan CE Wurtzburg dalam buku Raffies of The Eastern Isles terbitan Oxford University Press (1984) menyebutkan, ledakan Tambora terdengar sampai ke Yogyakarta pada 5 April 1815 dan semula disangka sebagai meriam
Sebuah catatan yang ditinggalkan Sir Thomas Stamford Raffies Gubernur Jenderal asal Inggris lain berbunyi: “Batavia, Ternate, dan bahkan Sumatra yang jaraknya letusan Tambora yang terdengar sampai ke Makasar. Banyak kerajaan kecil itu luluh lantak didera lahar dan material letusan. Yakni kerajaan pekat, Sanggar dan Tambora,”
“Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April. Mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam, sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat."
Esok hari setelah letusan pertama terdengar, matahari tiba-tiba menjadi agak gelap, seolah-olah ada kabut yang menyelimutinya. Kondisi ini berlangsung sampai berhari-hari. "Letusan meriam" terus terdengar dan diiringi abu vulkanis yang mulai turun. Pada malam tanggal 10 April 1815, rangkaian bunyi letusan kian kerap terdengar dan makin dahsyat. Bunyi-bunyi itu bahkan terdengar hingga ke Cirebon. Puncak dari semua ledakan itu terjadi pada 11 April 1815. Kala itu, siang yang biasanya terang benderang berubah menjadi gulita yang pekat. Berbarengan dengan gelap yang datang, bumi bergetar seperti hendak oleng, angin bertiup kencang-kencang, dan debu memenuhi angkasa.
Atas kejadian itu, Raffles memutuskan mengirim pasukan untuk pergi ke Sumbawa guna melihat kondisi akibat letusanTambora. Dalam catatannya, Letnan Philips bawahan Raffles yang berkunjung ke Sumbawa menulis: “Bekas Kerajaan Pekat terletak 30 kilometer dari sebelah barat Gunung Api Tambora, Posisi kerajaan ini dari Gunung Tambora sebenarnya terlindung bukit-bukit tua namun letusan Tambora nampaknya telah menggulung kerajaan itu. Dalam letusan itu, hanya ada dua jiwa dari Kerajaan Pekat dan satu jiwa dari Kerajaan Tambora yang selamat. Bekas Kerajaan Sanggar terletak agak jauh lebih dari 35 kilometer di sebelah timur tenggara Gunung Api Tambora dan letaknya tersembunyi di balik Gunung Labumbu. Meski begitu, akibat letusan Gunung Tambora, kerajaan ini juga mengalami kehancuran dan bahkan hampir musnah sama sekali,”.
"Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompu dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur. Di bdsa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan....Sejak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang'ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air dari sisa orang meninggal. Dalam jumlah yang besar terkontaminasi abu, dan banyak kuda juga mengalami masalah yang sama."
Berbekal laporan Letnan Philips dan sejumlah observasi yang dilakukannya, Raffles kemudian mencatatkan dengan cukup detail kondisi Nusantara kala Gunung Tambora meletus. Suasana saat letusan maupun efek kerusakan yang timbul akibat erupsi masih terdokumentasikan dengan baik dalam buku Raffles yang terkenal itu, The History of Java, salah satu data penting tentang bagamana gunung raksasa menimbulkan bencana yang amat dahsyat. (pul)