Tersanjung dalam Tunjung (Legenda Bunga Tunjung Biru)
Abad.id - Tumbuh di lumpur dengan batang dan daun terendam air, tumbuhan ini memekarkan bunganya di udara. Itulah teratai atau tunjung yang dianggap mewakili gambaran entitas yang bersemi di bhur loka (alam bawah), tumbuh di bwah loka (alam tengah) dan menghasilkan bungan nan indah di swah loka (alam atas). Bagi beberapa kalangan, tumbuhan ini dipandang mengoneksikan tri loka sebagai satu kesatuan tempat hidup yang memberikan pesan, bahwasanya kemuliaan dalam bentuk bunga mekar melar nan cantik yang mencuat ke udara hanyalah bentuk ejawantah sebuah pertumbuhan yang berproses di lumpur yang kotor dan batangnya yang dari waktu ke waktu selalu terendam dalam dinginnya air. Apa yang dipertontonkan sebagai keindahan dalam bentuk bunga yang dapat dikagumi, dipuja-puji dan dinikmati banyak makhluk, hanyalah sari-sari lumpur kotor yang berproses bersama air dan sinar matahari selama bermasa-masa.
Tumbuhan unik ini juga memberi manusia sebuah pelajaran, bahwa secara umum orang-orang biasa meletakkan perhatiannya pada hasil akhir. Orang-orang bisa dengan mudah dan cepat mengagumi keindahan bunga tunjung yang demikian indahnya menyembul diari perairan. Dengan pesona warna-warni ia segera menyihir hati manusia dari jaman ke jaman. Banyak orang mengagumi bunga out, tetapi hanya sedikit yang mau mengerti, bahwa untuk menghasilkan bunga secantik itu dibutuhkan proses panjang dan terutama ia yang cantik itu (bunga tunjung) tidaklah diturunkan dari sorga, melainkan kecantikan itu asal mulanya dari lumpuran becek, jauh dari dasar air telaga.
Lantas bunga tunjung banyak dijadikan sebagai persembahan kepada dewa-dewa, ia digunakan sebagai sarana di dalam upacara pemurnian diri. Barangkali upacara bicara tentang symbol yang sarat makna, tetapi lebih sederhana dari itu kita bisa membaca sebuah upacara persembahan sebagai bentuk teater tentang dunia pengharapan. Melalui persembahan bunga tunjung, para penyembah meletakkan harapannya untuk mampu memiliki kemahiran mengelolah diri dalam hidup ini sehingga kelak dapat berbuah atau berbunga seperti tunjung itu. Boleh saja kehidupan ini susah dan “becek? terkesan kotor menjijikkan, namun semua itu bukanlah manusia, sebab manusia hanyalah sebiji “benih? yang bersemi di lumpur kehidupan yang nampak keras, jorok, kotor dan dingin. karena itu, bagi manusia bijak ia tidak mengidentikkan diri dengan kekacauan hidup itu sendiri, tetapi ia memandang kekacauan, dingin dan kotor itu sebagai media yang mengolah dirinya untuk tumbuh menjadi pribadi mulia.
Para pemuja kesempurnaan, para pengabdi pendamba kemuliaan memotivasi dirinya untuk mampu memiliki kapasitas seperti bungan tumbuhan teratai, bahwa proses kehidupan akan mendewasakan dan mematangkan dirinya, hingga kelak berhasil mewujudkan dirinya sebagai pribadi mulia, insan yang memiliki kekaryaan yang dibutuhkan dunia, bahkan keharuman kemulyaannya tersebar hingga memenuhi ruang sorgawi. Itulah bunga indah mewangi yang dihasilkan oleh pejuang-pejuang kehidupan yang dengan sadar dan penuh semangat mau berproses, karena mereka tahu, benih yang ada pada dirinya adalah benih unggul, benih itu berasal dari Tuhan itu sendiri.
Pemuliaan bunga tunjung, bukanlah semata-semata suatu semarak aktifitas mental yang diperuntukkan menjangkau alam esoteric yang gaib, karena sesungguhnya gaib itu adalah kenyataan itu sendiri dan kenyataan ini sebenarnya hanya suatu yang gaib (maya). Di atas semua itu, bunga tunjung berbicara tentang kasih itu sendiri, di mana usaha-usaha keras penuh penderitaan (dalam lumpur dan air) tidak perlu dipamer-pamerkan pada khalayak umum, pengalaman getir seperti itu tidaklah perlu dibagi bersama, tetapi manakala sesuatu kemuliaan, keharuman mulai bersemi dan terus berbiak mekar, itulah saatnya dibagikan kepada berbagai pihak. Berbagai keindahan, kebahagiaan dan pertunjukkan kemuliaan, adalah makanan mental yang vital. Demikianlah, tunjung menyembunyikan akarnya di dalam lumpur hitam, supaya orang tidak jijik dan sakit hati melihatnya, tetapi ia mempertontonkan bunga keindahannya, karena dengan itu orang-orang yang memandangnya merasa gembira dan semangat. Jadi, persembahkanlah bunga tunjung kepada kehidupan, persembahkan keindahan, keharuman dan kemuliaan kepada sesame makhluk dan dunia.
Mitologi Bunga Tunjung Biru
Sebenarnya teratai telah lama dianggap suci oleh banyak agama di dunia, seperti di India dan Mesir, dalam sebuah monumen di lembah Nil, juga pada gulungan papirus tunggal terdapat lukisan bunga lotus ini terdapat ditempat yang terhormat. Demikian pula ditemukan pada pilar bangunan ibukota Mesir, pada takhta dan bahkan pada hiasan kepala Raja, sehingga teratai muncul dimana-mana.
Tuhan dalam aspek Ibu ilahi sering digambarkan sebagai yang duduk atau berdiri diatas teratai besar, symbol kemurnian dan kebijaksanaan. Tanaman ini misterius dan sakral telah dimuliakan selama berabad-abad sebagai symbol alam semesta. Hiranya Garbha, “telur? (atau rahim) emas yang muncul sering disebut Lotus Surgawi. Dewa juga digambarkan mengapung tertidur di perairan primordial, membentang di bunga teratai yang mekar.
Arca Prajna Paramita
Kelopak bunga teratai menunjukkan perluasan jiwa. Sedangkan kemampuan tumbuhan ini tumbuh dari lumpur dan menghasilkan keindahan melambangkan tekad janji spiritual. dalam ikonografi Hindu, Dewa sering digambarkan dengan bunga lotus sebagai tenpat duduk mereka. Juga perlu dicatat, bahwa sebagian besar Budha, Cina, Hindu, Jepang dan dalam sistem religi Asia lainnya sering digambarkan sebagai duduk diatas bunga lotus. Menurut legenda, Budha Gautama lahir dengan kemampuan untuk berjalan dan di mana-mana ia melangkah, bunga teratai mekar.
Warna bunga tunjung atau teratai atau lotus atau ratna seringkali ditemukan dalam enam warna yang berbeda: putih, kuning, merah, biru, ungu, dan merah muda.
Tunjung Putih
Diartikan kemurnian pikiran dan ketenangan dari sifat manusia, serta kesempurnaan spiritual.
Tunjung Kuning
Di ibaratkan seperti Dewa Mahadewa, wataknya jujur, bersemangat, perasaannya tajam, bijaksana, taat, patuh, bening dan teliti. Konon tunjung kuning ini di anugerahkan kepada para pertapa serta sangat istimewah untuk tanda kebesaran kerajaan apabila ada penobatan raja, seperti penyerahan mahkota yang terbuat dari emas kepada para prabu. ia juga dipercaya sebagai bunga penjaga istana kahyangan.
Tunjung Merah
Melambangkan kasih tanpa pamrih, gairah, kasih sayang, dan kebaikan. Bunga lotus yang sepenuhnya mekar melambangkan kebesaran dan kemurahan hati. Hal ini juga terkait dengan Avalokitesvara, yang merupakan Bodhisattva dalam ajaran Buddha, sedangkan dalam ajaran Hindu kuno di India disebut dengan Avatara Kalki. Dalam cerita Sun Go Kong kita juga pernah mengenalnya, Dewi Kwan Im Po Sat.
Tunjung Merah Muda
Dipercaya sebagai tempat tertinggi dan suci, dan sangat dihormati. Ini juga merupakan alasan, bahwa semua dewa menurut kepercayaan Hindu dan juga Buddha sendiri duduk di atas lotus merah muda. Lotus merah muda melambangkan keadaan pikiran seseorang, yang merupakan tahap di mana ia telah pencerahan tertinggi.
Tunjung Biru
Diartikan pengetahuan. melambangkan kendali seseorang atas pikiran dan semangat dan melepaskan aspirasi materialistis dalam hidup serta mencapai kesempurnaan jiwa. Bunga lotus biru tidak sepenuhnya benar? benar terbuka. Keadaan ini diartikan bahwa seseorang tidak boleh berhenti untuk belajar dalam mencapai kebijaksanaan dalam hidup.
Tunjung Ungu
Menandakan mistis dan merupakan bagian esoterik ajaran Buddha terkait 8 jalan dalam Buddhis. Bunga lotus juga melahirkan simbolisme dalam berbagai budaya. Keindahan bunga lotus menginspirasi pada karya seni, puisi, arsitektur, dan desain. Lotus tumbuh keluar dari air berlumpur, tidak terpengaruh dan tak tersentuh oleh kotoran, sehingga dianggap yang tertinggi di antara semua bunga.
Wayang Tunjung Biru
Dalam cerita pewayangan, DEWI TUNJUNGBIRU adalah salah seorang dari tujuh Bidadari upacara Suralaya yang terdiri dari : Dewi Supraba, Dewi Lenglengdanu, Dewi Irimirin, Dewi Gagarmayang, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki dan Dewi Tunjungbiru sendiri.
Karena kecerdasannya dan sifatnya yang murah hati, setia dan penyabar, Dewi Tunjungbiru pernah diperintahkan oleh Sanghyang Manikmaya/Batara Guru untuk turun ke marcapada, menjelma/menitis sebagai putri Bathara Kandikota (turun ke-empat dari Sanghyang Darmajaka). Dalam penitisannya itu ia menikah dengan Prabu Arya/Aya, raja negara Duryapura. Dari perkawinan tersebut, Dewi Tunjungbiru mempunyai seorang putra yang diberi nama, Dasarata. Putranya ini kelak menikah dengan Dewi Kusalya, pewaris tahta negara Ayodya, dan menurunkan Ramawijaya Bersama keenam bidadari upacara Suralaya lainnya.
Bersama keenam bidadari upacara Suralaya lainnya, Dewi Tunjungbiru pernah ditugaskan Bathara Indra turun ke marapada, untuk membangunkan tapa Arjuna di Goa Mintaraga, di lereng Gunung Indrakila bergelar Bagawan Ciptaning. Namun tidak berhasil membangunkan kekhusukan tapa Begawan Ciptaning.
Putri Tunjung Biru
Di tanah air ada berbagai versi baik cerita, legenda dan sejarah yang mengisahkan putri tunjung biru, antara lain sosok yang dihubungkan dengan “Putri Blambangan yang hilang? dan “Nyi Roro Kidul?, termasuk juga sosok putri tunjung biru yang berikut ini :
Adalah kerajaan Wengker yang merupakan kerajaan tertua di Jawa Timur, Wengker berasal dari akronim ‘Wewengkon Angker? atau tempat yang angker? daerah cikal bakal para punggawa ‘Warok? yang sekarang lebih dikenal sebagai kota Ponorogo.
Konon Raja Wengker memiliki seorang putri, putri itu tidak hanya cantik namun juga memiliki ilmu dan spiritual yang tinggi, maka sang putripun disebut sebagai penjelmaan ‘Putri Tunjung Biru? dan ketika menikah bunga tunjung birulah yang digunakan sebagai ritual untuk meminangnya sebagai mas kawin.
Kerajaan Wengker yang semakin jaya/ lama umurnya juga bersahabat dengan kerajaan Majapahit yang masih muda/ baru, karena kedekatan kedua kerajaan yang seperti sahabat ini, Majapahitpun mewarisi budaya Wengker, dimana dalam prosesi pernikahan ala Jawa kuno yang sakral dan suci adalah dengan memakai bunga tunjung biru sebagai seremonial dalam pernikahan ala putra-putri kerajaan.
Ketika kerajaan Majapahit Hindu runtuh dan digantikan oleh kerajaan Mataram Islam, pun Mataram mewarisi budaya dan spiritual filosofi tunjung biru, para putra-putri keraton selalu menggunakan bunga tunjung biru sebagai bunga persembahan untuk meminang mempelai perempuan (?)