images/images-1684065597.jpg
Sejarah

Kediri dan Pindahnya Pusat Kekuasaan ke Mojokerto

Malika D. Ana

May 14, 2023

341 views

24 Comments

Save

Kediri dan Pindahnya Pusat Kekuasaan ke Mojokerto



Abad.id - Kerajaan Kediri, biasa juga ditulis Kadiri memiliki nama lain, yakni Panjalu, dan biasa pula ditulis Pangjalu. Kerajaan dengan ibukota Dahanapura yang sering disingkat Daha ini berdiri pada tahun 1042, dan runtuh di tahun 1222. Raja pertamanya adalah Sri Samarawijaya, sementara raja terakhirnya adalah Kertajaya yang berkuasa dari 1194 sampai 1222.

 

Kata Dahanapura yang berarti Kota Api terdapat dalam prasasti Pamwatan yang ditulis di era Airlangga di tahun 1042. Di tahun itu Airlangga membelah dua kerajaannya. Pangjalu diberikan kepada putranya yang bernama Sri Samarawijaya. Satu bagian lagi diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Bagian yang ini dikenal sebagai Jenggala dengan ibukotanya di Kahuripan.

 

Dalam kitab Decawarnana yang ditulis Mpu Prapanca di tahun 1365 dan lebih dikenal sebagai kitab Nagarakretagama disebutkan bahwa sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga itu sudah bernama Panjalu dengan Daha sebagai ibukotanya. Dari sudut pandang ini, Jenggala adalah pecahan dari Panjalu, Pangjalu, atau Kadiri.

 

Dalam catatan-catatan lain disebutkan pula bahwa nama Kediri atau Kadiri berasal dari kata khadri dalam bahasa Sansekerta yang berarti pohon pace atau pohon mengkudu yang dalam ilmu botani modern mendapatkan nama Latin, Morinda citrifolia.

 

Sepeninggal Raja Airlangga, hubungan dua kerajaan yang semestinya bersaudara tadi, Panjalu (Kadiri) dan Janggala, kerap diwarnai konflik dan saling serang dalam waktu yang cukup lama, tak banyak yang terdengar dari Kadiri, hingga Jayabaya berkuasa dan tersebar kisah penakhlukan atas Sriwijaya, Jayabaya dianggap membawa Kadiri ke era keemasan.

 

Kronik Tiongkok berjudul Ling Wai Tai Ta karya Chou Kufei yang ditulis tahun 1178 mengatakan, di masa Jayabaya itu Panjalu atau Kadiri adalah negara yang paling makmur di Pulau Jawa. Sedemikian makmurnya, sehingga Kadiri disebutkan bersaing dengan Sriwijaya di Sumatera, Arab, dan Tiongkok.

 

Jayabaya digambarkan sebagai raja yang bijaksana. Ia terbuka pada ilmu dan pengetahuan. Ia terbuka pada segala pemikiran. Ia haus akan kemajuan. Berbagai keberhasilan era Jayabaya dapat dibaca antara lain dalam Prasasti Hantang yang ditulis tahun 1135, Prasasti Talan (1136), juga Prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha yang ditulis 1157. Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa disebutkan juga menceritakan kisah Jayabaya.

 

Jayabaya juga berhasil menundukkan Jenggala dan menyatukan kembali Kediri yang dibangun leluhurnya.  Demikian hebatnya dia. Raja dengan kemampuan yang paripurna. Maka tak aneh, bila raja yang hebat ini mempersilakan ulama Islam seperti Mbah Wasil menetap dan mengajarkan ajaran itu kepada rakyat Kediri.

 

Kehancuran Kediri di Era Raja Kertajaya


Tidak seperti Jayabaya yang mahsyur sebagai raja diraja bijaksana dan bersahabat dengan kaum ulama, Kertajaya justru bersikap bermusuhan dengan kaum ulama, atau brahmana, pada masa itu, di tahun 1222.
Sedemikian berat beban kaum brahmana dalam menghadapi Kertajaya. Mereka disingkirkan dan dipersekusi. Diujung putus asa, kaum brahmana meminta bantuan penguasa baru di Tumapel, Ken Arok, yang terkenal sebagai politisi ambisius.

 

Ken Arok tidak puas hanya merebut Tumapel dan Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung. Ia punya mimpi yang jauh lebih besar. Yakni menaklukkan Kediri dan mendirikan kerajaan sendiri. Maka permintaan bantuan dari kaum brahmana yang dipersekusi itu bagaikan restu bagi Ken Arok untuk memperluas kekuasaan.

Singkat cerita, penguasa Tumapel ini berhasil menggulingkan Kertajaya dan menaklukkan Kediri. Ken Arok dan Tumapel berkuasa atas Kediri. Lalu dimulailah era Singosari.

Ken Arok tidak menghabisi semua keturunan Kertajaya. Ia memberi kesempatan kepada yang  menurutnya tidak berbahaya. Salah seorang anak Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai pemimpin di Kediri.

Di tahun 1258 Jayasabha digantikan oleh anaknya, Sastrajaya, dan selanjutnya di tahun 1271 giliran Sastrajaya digantikan oleh anaknya Jayakatwang yang menjadi bupati di Gelanggelang.

Jayakatwang tumbuh dalam dendam kesumat. Di tahun 1292, ketika merasa saatnya tiba, ia melakukan pemberontakan. Membalaskan dendam leluhurnya. Ia kemudian membunuh Raja Kertanegara yang adalah keturunan Ken Dedes dari perkawinan dengan Tunggul Ametung penguasa Tumapel yang dikalahkan Ken Arok di masa lalu. Selanjutnya, Jayakatwang memindahkan pusat kerajaan dari Malang ke Kediri.

Ternyata menghabisi Kertanegara nyatanya tidak membuat Jayakatwang hidup tenang dan rasa aman. Masih ada api dalam sekam.

Tersebutlah, menantu Kertanegara, namanya Raden Wijaya. Saat itu masih muda. Seperti Kertanegara, Raden Wijaya juga keturunan Ken Dedes. Bedanya, ia adalah keturunan Ken Dedes dari perkawinan dengan Ken Arok. Raden Wijaya inilah yang setahun setelah kehancuran Singosari membalaskan dendam Kertanegara.

Ia memanfaatkan kehadiran pasukan Tiongkok yang dikirim Kublai Khan untuk tujuan menghukum “Raja Jawa” yang beberapa tahun sebelumnya melakukan penghinaan teramat sangat pada Tiongkok. Kublai Khan adalah cucu dari raja diraja Mongol, Jenghis Khan. Sebagai pangeran Mongol, ekspansionisme sudah menjadi salah satu sifat dasarnya.

Di tahun 1289 Kublai Khan mengirimkan utusan ke Singosari. Melalui Meng Qi sang utusan, Kublai Khan meminta Kertanegara membayar upeti tanda takluk pada Tiongkok. Tentu Kertanegara menolak permintaan itu. Ia memotong telinga Meng Qi dan menyuruhnya kembali ke Tiongkok. Tindakan yang sungguh berani.

Marah atas penolakan itu, di tahun 1293 Kublai Khan mengirimkan bala tentara dalam jumlah yang sedemikia besar. Disebutkan antara 20 ribu hingga 30 ribu tentara. Mereka hanya tahu satu hal: menghukum Raja Jawa. Mereka tak punya informasi bahwa yang disebut dengan Raja Jawa itu adalah orang yang lain lagi yakni Jayakatwang yang berkuasa di Kediri.

Raden Wijaya menyambut kehadiran sebagian dari pasukan Dinasti Yuan itu di tempat persembunyiannya, sebuah wilayah kecil yang bernama Majapahit. Ia dan sahabatnya, Arya Wiraraja dari Sumenep, membantu tentara Tiongkok menyusun rencana menangkap Jayakatwang.

Operasi penggulingan Jayakatwang berhasil. Ia konon ditawan lantas dibunuh di atas kapal Tiongkok. Tak diketahui pasti apa yang kemudian terjadi dengan jasadnya. Tak pernah ada catatan mengenai dimana kuburannya.

Bala tentara Tiongkok bergembira. Raja Jawa yang menghina tahta Negeri Tengah telah dihabisi. Penguasa baru di Jawa telah memperlihatkan tanda-tanda kesetiaan pada Kublai Khan. Dalam riwayat yang populer disebutkan, bala tentara Tiongkok ini merayakan kemenangan dengan pesta pora yang sedemikian rupa sehingga membuat mereka tidak menyadari rencana lain yang dimiliki Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Konon disebutkan, dalam sekali gebrak, pasukan koalisi Raden Wijaya dan Arya Wiraraja mampu membantai pasukan Dinasti Yuan yang sedang mabuk arak. Mereka yang selamat lari tunggang langgang, naik ke kapal-kapal mereka yang parkir di daerah Tuban dan kembali ke Tiongkok.

Sampai di Beijing mereka menemukan kenyataan baru: Kublai Khan wafat di bulan Februari 1293. Akibatnya, untuk sementara mimpi menaklukkan Pulau Jawa pun dihentikan.

Sementara itu, setelah berhasil mengusir pasukan Tiongkok, Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit di bulan November 1293. Pusat kekuasaannya di sekitar Mojokerto kini. Adapun Arya Wiraraja mendapatkan wilayah Madura dan hidup berdampingan dalam damai dengan Majapahit untuk waktu yang cukup lama.

Berbagai catatan menggambarkan Majapahit berkembang sebagai sebuah negeri yang gemilang. Berkuasa hingga ke negeri Campa dan negeri-negeri lain di sekitarnya. Di era Jayanagara yang berkuasa dari tahun 1309 sampai 1328, pusat Kerajaan Majapahit dipindahkan ke Trowulan. Lalu di era Brawijaya III, di paruh kedua abad ke-15 pusat Kerajaan Majapahit dipindahkan ke Kediri.

Tetapi memasuki abad ke-16 pengaruh Majapahit semakin berkurang. Raden Patah yang merupakan anak dari raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, dengan putri Campa, Siu Ban Ci, telah muncul sebagai penguasa Jawa yang baru. Ia memimpin negeri di pesisir utara Laut Jawa, Demak.

Sejarawan Slamet Muljana dalam salah satu karyanya, menggambarkan episode ini sebagai peralihan dari akhir era kerajaan Hindu Jawa dan awal era kerajaan Islam Nusantara.


Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022