Film berjudul Arie Hanggara, yang diproduksi oleh PT Tobali Indah Film. Foto by youtube
abad.id- Kuburan batu hitam berukuran 2 x 1 meter berada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut Jakarta. Tepatnya di Blok AA II. Seperti tidak terurus, usang dimakan waktu. Tulisan di batu nisan dari marmer putih nyaris terhapus. Juga goresan ‘Maafkan Papa’ dan ‘Maafkan Mama’ yang berada di kanan dan kiri. Siapapun akan mengelus dada melihat kuburan itu. Arie Hangara dimakamkan tahun 1984 dengan sebuah upacara penguburan yang penuh tangis haru. Kisah perjalanan hidupnya yang sebentar, namun telah memberi pelajaran akan pentingnya kasih sayang keluarga.
Waktu itu Kamis (8/11/1984) subuh. Warga bernama Duren Tiga, Jakarta Selatan bernama Machtino Eddiwan datang membawa anaknya Arie Hanggara (7) dengan penuh luka ke UGD RSCM. Namun sebenarnya selama perjalanan menuju ke rumah sakit, Arie sudah tidak bernyawa. Kepada petugas medis, Machtino mengatakan putranya mengalami kecelakaan lalu lintas. Namun, setelah melihat luka memar yang ada pada tubuh Arie, pihak rumah sakit curiga bahwa Arie tewas bukan karena kecelakaan, melainkan akibat siksaan fisik.
Arie Hanggara lahir di Bogor, tanggal 21 Desember 1977 dan meninggal dunia 8 November 1984. Foto dok net
Pihak rumah sakit pun segera menghubungi kepolisian. Keesokan harinya, tanggal 9 November 1984, ketika hendak mengambil jenazah Arie di kamar mayat, Machtino ditangkap. Sewaktu diperiksa, Machtino baru mengakui bahwa Arie tewas karena penganiayaan yang telah ia lakukan selama berhari-hari. Setelah melewati otopsi kepolisian, Jenazah Arie segera dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
Seketika besok pagi 9 November 1984, berita kematian Arie Hanggara menghebohkan publik tanah air. Bahkan hingga satu bulan media massa membagi kisah kematian yang menyesakan dada itu. Sejak penangkapan pelaku, rekontruksi hingga sidang dan vonis, kisah Arie tewas setelah dipukuli ayah kandungnya karena dituduh mencuri uang di sekolah laris dilahap pembaca.
Arie Hanggara lahir di Bogor, pada tanggal 21 Desember 1977. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dengan istri pertamanya, Dahlia Nasution. Pernikahan keduanya kandas di tengah jalan. Keluarga itu kerab berpindah-pindah rumah karena Machtino tidak memiliki pekerjaan tetap. Dahlia memutuskan kembali ke rumah orang tuanya setelah bercerai dengan Machtino pada tahun 1982.
Setelah perceraian itu, Machtino menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Sinta yang masih teman dekat Dahlia. Sama seperti sebelumnya, hubungan Machtino dan Santi kerap bertengkar. Puncak kekesalan keduanya dilampiaskan ke Arie Hanggara. Penyiksaan berat mulai terjadi pada tanggal 14 Agustus 1984, di mana Machtino menemukan uang Rp 8.500 di dalam tas sekolah milik Arie. Padahal, Machtino merasa tidak pernah memberi Arie uang sebanyak itu. Saat itu, Arie memang mengaku mengambil uang itu dari dalam tas temannya.
Akan tetapi, seorang guru Arie mengatakan ternyata tidak ada yang merasa kehilangan uang. Mengetahui hal ini, Machtino tambah kalap dan memukul dan menghukum Arie. Kejadian kedua terjadi pada tanggal 3 November, di mana kembali ditemukan uang sejumlah Rp 8.000 di dalam tas Arie. Di kejadian kali ini Machtino dan Santi semakin naik pitam. Seketika itu juga Arie langsung dihajar menggunakan gagang sapu dari tangan Machtino sendiri.
Dalam persidangan itu disebutkan juga bahwa Santi dengan teganya membenturkan kepala Arie ke tembok. Pembaca koran yang mengikuti perkembangan kasus ini merasa semakin geram. Apalagi dalam BAP itu disebutkan, Arie masih dihukum dengan mengangkat kedua tangannya dalam kondisi terikat dan menghadap tembok. Tragisnya lagi, makan dan minum Arie juga dijatah.
Menurut catatan BAP, Arie pada waktu itu hanya diperbolehkan minum pukul 14.00 WIB dan hanya diberi makan pada pukul 20.00 WIB. Belum berhenti di situ, pada tanggal 5-7 November, Arie tidak diperbolehkan masuk sekolah. Bahkan, pada tanggal 7 November malam, Arie kembali mendapat siksaan yang tak kunjung usai. Sejak pukul 20.00, Arie disuruh berdiri menghadap tembok kamar mandi dan diperintahkan jongkok-berdiri secara bergantian. Jika tidak sanggup, Arie akan langsung dihajar.
Sampai ayahnya pergi tidur, Arie masih harus melakukan hukuman tersebut. Akan tetapi, nahasnya, sekitar tengah malam, sang ayah yang terbangun langsung murka begitu melihat Arie sudah duduk di kursi. Arie kemudian langsung dipukuli menggunakan gagang sapu secara bertubi-tubi. Arie Hanggara tewas Sekitar pukul 03.00 dini hari, Arie yang sudah tidak sanggup menahan sakit terjatuh dan pingsan. Melihat kondisi ini, Machtino Eddiwan panik dan membawa Arie Hanggara ke UGD RSCM. Namun sebenarnya selama perjalanan menuju ke rumah sakit itu, Arie sudah tidak bernyawa.
Seluruh media massa ikut mengukum Machtino Eddiwan dan Santi yang dianggap sadis dan sangat jahat. Majalah Tempo edisi laporan khusus bulan Desember tahun 1984 memuat judul panjang di halaman mukanya: “Arie namanya. Ia mati dihukum ayahnya. Mungkin anak kita tidak. Tapi benarkah kita tidak kejam?”
Machtino ayah kandung hanya dihukum 5 tahun Machtino ayah kandung, sedangkan Santi ibu tiri dihukum 3 tahun. Foto dok net
Pemerintah Orde Baru rupanya ikut gregetan kasus ini. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto bahkan sempat berniat membuatkan patung Arie sebagai peringatan agar kasus serupa tak terulang di masa mendatang. Besarnya kasus tentang Arie Hanggara sampai diangkat menjadi sebuah film berjudul Arie Hanggara, yang diproduksi oleh PT Tobali Indah Film satu tahun berikutnya. Seketika kisah tragis yang diperankan aktor Dedy Miswar itu berhasil membanjiri bioskop dengan air mata.
Ya, Machtino ayah kandung hanya dihukum 5 tahun Machtino ayah kandung, sedangkan Santi ibu tiri juga dinyatakan bersalah divonis hukuman selama tiga tahun penjara. Setelah bebas, penyesalan masih dibawa sesumur hidupnya. Keduanya membuat tulisan di kanan-kiri nisan Arie Hanggara, “Maafkan Papa” dan “Maafkan Mama.”
Anak Luka Parah Kecelakaan, Ibu Kandung Masih Dipersulit Bertemu
Ini bukan tentang Arie Hanggara. Ada banyak bocah di negeri ini yang menjadi korban kasus perceraian orang tua. Mulai kasus kekerasan terhadap anak, hingga pembiaran anak tumbuh berkembang sendiri tanpa pendampingan dan kasih sayang. Fakta ancaman terbesar tumbuh dan besar anak bukan dari penculikan atau kekerasan di luar rumah, namun justru dari orang terdekatnya.
Setelah bercerai dengan suaminya Roni, pada 22 September 2022 lalu, Kurnianti Herdiandari kesulitan bertemu dengan anak kandungnya Rafli Dhimaz Athayya (18) dan Najwa Shalma Alissa ( 16). Kurnianti Herdiandari mengaku kesulitan bertemu karena semua akses komunikasi diblokir oleh mantan suaminya. Bahkan saat anaknya Najwa Shalma Alissa mendapat musibah kecelakaan hingga teluka parah, sang ibu tidak mendapat informasi dari mantan suaminya. Kurnianti justru mendapat kabar dari guru sekolah.
Kurnianti Herdiandari membawa surat bukti larangan bertemu dengan anak kandungnya. Foto Pulung
“Saya melihat ada kelalaian mantan suami Roni yaitu membelikan motor PCX untuk anak saya yang masih dibawah umur hingga terjadi kecelakaan, padahal anak seusia itu pasti belum punya SIM. Kesalahan yang paling fatal, sebagai ibu kandung tidak bisa melihat kondisi anak saya karena dihalangi oleh mantan suami,” kata Kurnianti
Setelah kejadian kecelakaan itu, Kurnianti sudah berusaha bertemu dengan anaknya. Mulai menelpon dan mendatangi tempat anaknya sekolah. Namun berkali-kali gagal bertemu.
“Saya itu kalau mau bertemu dengan anak, harus berkirim surat dulu dan harus ada ijin mantan suami. Bahkan anak saya kecelakaan pun, saya baru mengetahui dari gurunya bahwa lukanya cukup parah di kaki dan kepala, ” tambahnya.
Karena kesulitan tersebut, dirinya mengajukan gugatan hak asuh terhadap kedua anaknya ke Pengadilan Agama, Surabaya. Melalui kuasa hukum German Panjaitan SH,MH, mengatakan sudah melakukan beberapa kali mediasi dan kini memasuki sidang terkait hak asuh anak ini. Menurut German, anak berusia di atas 12 tahun dapat memilih dan menentukan sikapnya sendiri. Namun bagi orang tua yang telah putus ikatan perkawinan, tidak boleh mempengaruhi atau menghalanginya pertemuan seorang ibu kandung dengan anaknya.
German juga menyebutkan, selain susah bertemu dan berkomunikasi dengan anaknya, kliennya juga mendapat fitnah yang berdampak negatif bagi perkembangan psikologi anak. Pihaknya sudah menyiapkan semua bukti bukti tersebut. (pul)