Awal Masuknya Islam ke Jawa dan Rebutan Pengaruh Antar Madzab
Abad.id - Berdasarkan laporan Ma Huan dan Fei Xien yang mengikuti perjalanan Panglima Cheng Ho di Nusantara pada 1405 – 1406, agama Islam sebagai ajaran komunitas Islam belum tampak dipeluk oleh penduduk asli di P. Jawa, dan yang mereka laporkan adalah agama dan adat istiadat Jawa (Muslim Tionghoa, Chengho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara oleh Kong Yuanzi, 2000, Pustaka Obor).
Perjalanan Cheng Ho di Nusantara pada 1406 itu ketika di Majapahit terjadi Perang Paregreg, yaitu perang saudara dalam memperebutkan tahta keraton Majapahit.
Tuban dan Surabaya sebagai kota pelabuhan strategis, pada abad XV menjadi kota dagang yang telah banyak dihuni oleh keturunan Tionghoa. Agar hubungan dagang antara Tiongkok daratan dengan Jawa lancar, maka diangkatlah kapten Cina Gan Eng Chu di Tuban pada tahun 1423 dan di Surabaya pada 1447. Kurang lebih 1.000 keluarga keturunan Cina tinggal di Tuban, dan mereka juga banyak yang tinggal di Surabaya. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat setempat dan berinteraksi dengan adat-istiadat setempat. Dan, menurut Ma Huan, kebanyakan penduduk Cina yang tinggal di kota-kota ini memeluk dan menaati aturan agama Islam. (Denys Lombard, 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jakarta: Gramedia).
Rumah-rumah di peisisr pantura bergaya Tionghoa
Orang Tionghoa di Pesisir Beragama Islam
Di awal abad XV masyarakat asli masih memeluk dan mempraktikkan adat-istiadat Jawa, namun pada pertengahan abad telah terjadi pergeseran pemelukan agama pada masyarakat yang tinggal di pesisir-pesisir utara Jawa. Di kota-kota pelabuhan terjadi hubungan dagang yang intensif antara pedagang Cina dan Jawa. Selain itu, pada pertengahan abad XV Pemerintah Tiongkok memihak pada Pemerintah Kerajaan Majapahit meskipun keadaan di Majapahit mulai goyah karena perebutan kekuasaan dari dalam. Juga dapat disimpulkan bahwa keturunan Cina pendatang telah memeluk agama Islam terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh masyarakat setempat. Rumah kuno di pesisir utara bergaya rumah Cina.
Aliansi masyarakat Jawa Islam dan Cina Islam yang tinggal di pesisir Jawa inilah yang kelak mendorong lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang raja pertamanya adalah Raden Patah. Raden Patah berhasil mendirikan Kerajaan Demak berkat dukungan adipati-adipati yang ada di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kemudian hari disebut sebagai para wali, yang sering disalahpahami sebagai ulama penyebar agama Islam. Padahal, yang menyebarkan agama Islam adalah para pedagang, sedangkan yang disebut “Wali Sanga” itu bukanlah pedagang, meski ketika mudanya di antara para wali, seperti Sunan Giri, ada yang berdagang. Para anggota Wali Sanga adalah adipati yang bergelar “sunan” dan memiliki daerah kekuasaannya sendirisendiri. Sumber (G. Moedjanto, 2002. Suksesi dalam Sejarah Jawa, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma) dan buku Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh Achmad Chodjim.
Sebagai penguasa-penguasa kadipaten, mereka menerapkan prinsip agama ageming aji. Sehingga setiap warga di kadipaten itu diseru, diajak, untuk memeluk atau menjalankan dharma ajaran Islam.
Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa aliran Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat adalah aliran Syi’ah. Dan, tampaknya aliran ini cukup lama bertahan di Nusantara, di Jawa khususnya, sehingga peninggalan aliran ini masih dilestarikan hingga sekarang di berbagai daerah di Jawa maupun di luar Jawa. Salah satu contohnya adalah pembuatan bubur Suro pada tanggal 10 Suro (Muharram) di berbagai daerah merupakan wujud nyata warisan aliran Syi’ah. Juga berbagai upacara adat dan tradisional untuk memperingati Imam Husain di bebagai daerah di Jawa juga peninggalan Syi’ah.
Aliran Syi’ah juga terdiri dari banyak subsekte atau mazhab-mazhab, dari yang sangat berorientasi pada syariat hingga yang lebih menekankan pada ajaran kebatinan. Kelihatannya golongan Syi’ah yang dapat dengan mudah bertemu dengan pandangan dan dharma yang dijalankan oleh orang Jawa adalah Syi’ah yang berpaham Wujudiyyah atau Manunggaling Kawula dengan Gusti. Ajaran inti dari Wujudiyyah ialah segala sesuatu yang maujud ini merupakan emanasi atau percikan sinar Ilahi. Ajaran inilah yang “klop” dengan darma yang dilakukan oleh orang Jawa yang memandang manusia sebagai “titah” (sabda) Sang Hyang Taya atau Tuhan yang tidak dapat digambarkan seperti apa pun seperti yang dinyatakan dalam Qur’an surat 41:11. Pemahaman Tuhan itu tak dapat digambarkan atau diserupakan dengan sesuatu adalah dasar keyakinan.
Raden Patah bukan dari aliran Syi’ah, melainkan berasal dari Aliran Sunni bermazhab Hanafi –lantaran warga keturunan Cina di Jawa bermazhab Hanafi– namun sebagian besar masyarakat Jawa waktu itu menjalankan ajaran Islam Syiah. Oleh karena Syekh Siti Jenar sebagai guru agama yang termasyhur saat itu diduga oleh penguasa Demak sebagai pengikut Aliran Syi’ah, maka Syekh dijerat pasal hukuman tentang penyebaran ajaran sesat dan dia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Demak. Dengan cara demikian lumpuhlah para pelaku dharma Syi’ah Jawa (dharma Islam ala Jawa), sehingga dukungan terhadap Raden Patah semakin menguat.
Berdasarkan kajian lainnya, hukuman mati itu bukan hukuman bunuh, tetapi mengurung Syekh hingga wafatnya. Alasan lain untuk mengeliminasi Syekh Siti Jenar adalah karena dia menjadi guru agama bagi empat puluh adipati, termasuk gurunya Raden Kebo Kenongo alias Ki Pengging (penguasa daerah Pengging) yang menjadi pesaing Raden Patah dalam suksesi tahta Majapahit dan sekaligus ahli waris sahnya. Ajaran Syekh Siti Jenar ini mempunyai pengaruh besar di masyarakat Islam di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Hal inilah yang justru mengkhawatirkan Raden Patah terhadap kerajaannya yang masih muda umurnya itu. Sebenarnya, bukan ajaran Syekh Siti Jenar yang ditakuti oleh Raden Patah, dan bukan pula kesesatan ajarannya, sebab ajaran yang dipegang oleh para wali itupun ajaran MKG (Manunggaling Kawula-Gusti). Contohnya, sampai hari ini makrifat MKG yang berasal dari Sunan Kudus tetap berkembang di Indonesia.
Di era pasca kemerdekaan ajaran MKG dari Sunan Kudus ini disebarluaskan oleh Ki Ageng Nitiprana (wafat 23 Desember 1991). Dewasa ini ajaran MKG dari Sunan Kudus tersebut disebarkan dalam tiga sistem, yaitu sistem MKG yang dibungkus syariat, sistem MKG yang menekankan ajaran hakikat, dan sistem MKG yang diajarkan melalui lintas agama. Ketiganya berkembang di Jakarta dan dari ibu kota NKRI ini menyebar ke seantero Nusantara. Berbeda dengan MKG yang berasal dari Sunan Kudus, ajaran MKG dari Syekh Siti Jenar diajarkan melalui kelompok-kelompok kecil yang sifatnya tertutup atau agak tertutup. Bahkan kelompok-kelompok itu tidak menggunakan wadah yang secara terbuka dilabeli ajaran MKG Syekh Siti Jenar. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka menghindari sensitivitas masyarakat sekitarnya.
Kesultanan Demak mengikatkan diri dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki untuk menghadapi perlawanan para pengikut Syekh Siti Jenar, dan secara perlahan-lahan mazhab Hanafi digeser dan digantikan oleh aliran Islam mazhab Syafii yang memang sudah berkembang kuat di Semenanjung Malaka. Mazhab Syafii pun lebih fleksibel dalam menghadapi tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat Jawa. Ajaran Islam mazhab Syafii juga lebih dekat dengan praktik-praktik keagamaan aliran Syi’ah.
Mazhab Syafii –khususnya di Nusantara– lebih dekat pada praktik keagamaan aliran Syi’ah dan dan berbagai macam praktik tasawuf di Jawa. Oleh karena itu, para santri bisa toleran dengan ajaran Syekh Siti Jenar dan sejenisnya.(mda)