images/images-1677480437.png
Sejarah

Riwayat Transmigrasi Pemerataan Pembangunan atau Kemiskinan

Pulung Ciptoaji

Feb 27, 2023

407 views

24 Comments

Save

Presiden Suharto sedang mensuport calon transmigran yang akan berangkat ke Kalimantan. Foto dok femina  

 

abad.id- Pemerintah Hindia Belanda sudah merancang program perpindahan penduduk dari kawasan padat pulau Jawa ke kawasan pertumbuhan baru sejak tahun 1905. Pada saat itu pemerintah Belanda menyebutnya kolonisasi.  Program kolonisatie pada tahun 1905 diberangkatkan 155 keluarga dari Bagelan, Karesidenan Kedu. Mereka dikirim ke Gedongtataan, Lampung. Selanjutnya, pada tahun 1912, sebuah permukiman kembali dibuka di dekat Kota Agung. Para transmigran ini bekerja di sektor perkebunan. Sampai dengan 1940-an telah dipindahkan kira-kira 200.000 penduduk dengan sponsor Pemerintah Belanda sebagai salah satu kebijakan kolonisasi. Program tersebut sempat dihentikan ketika Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942. Namun setelah merdeka, pemerintah melanjutkan kembali program tersebut.

 

Penyelenggaraan transmigrasi pertama kali dilaksanakan pasca Indonesia merdeka, pada hari ini 12 Desember 1950. Oleh karena itu setiap tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Bhakti Transmigrasi (HBT). Transmigrasi pertama memberangkatkan 25 Kepala Keluarga (KK) dengan total 98 orang. Lokasi awalnya saat itu di Lampung sebanyak 23 KK dan ke Lubuk Linggau 2 KK.

 

Program transmigrasi yang digelar pada tahun 1950 itu sebenarnya melanjutkan program yang sudah dirintis pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Pada saat itu pemerintah Belanda menyebutnya kolonisasi.

 

Sukarno pada tahun 1927 di Harian Soeloeh Indonesia pernah menyebut istilah transmigrasi. Kemudian dalam Konferensi Ekonomi di Kaliurang, Yogyakarta, 3 Februari 1946, Wakil Presiden Hatta menyebut pentingnya transmigrasi untuk mendukung pembangunan industrialisasi di luar Jawa.

 

Presiden Sukarno punya ambisi besar dalam program ini. Sukarno punya target untuk memindahkan 31 juta orang dalam jangka waktu 35 tahun.  Pada tahun 1951 target itu ditambahkan jadi 49 juta orang. Namun karena politik dan ekonomi saat itu tengah gonjang-ganjing, maka program transmigrasi tidak memungkinkan.

.

Kegagalan program transmigrasi pada tahun 1950-an ini akhirnya menyadarkan pemerintah untuk membuat target yang lebih realistis. Pada tahun 1961-1969, pemerintah hanya menetapkan target 1,56 juta orang. Pada kenyataannya, target itupun tidak terpenuhi karena total jumlah transmigran pada kurun waktu itu hanya 174.000 orang.

 

Ambisi pemerataan penduduk melalui program transmigrasi dialnjutkan Orde Baru, melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun yang Pertama (Repelita I). Di masa Orde Baru, program transmigrasi lebih menitikberatkan pada pembangunan wilayah di luar Jawa, daripada semangat mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa.

 

Warga yang mengikuti program transmigrasi akan diberikan fasilitas berupa rumah hunian, tanah dua hektare, dan sarana pasca panen. Kendati program transmigrasi di awal sempat banyak menemui kegagalan, dan banyaknya rintangan dalam menjalankannya, program yang telah dilaksanakan sejak 1950-an ini telah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi luar Jawa.

 

Bahkan dalam buku Sejarah Indonesia Modern tulisan Adrian Vickers menyebutkan, transmigrasi salah satu proyek kesayangan Soeharto. Rencana awal pemerintah memindahkan 200.000 orang per tahun. Namun ini sama sekali tidak realistis, dan target secara teratur dipangkas separuh agar para pejabat bisa melaporkan sedikit kesuksesan. Skema ini didanai oleh Bank Dunia, sebab dianggap sebagai bagian dari bantuan pembangunan.

 

Keluarga-keluarga mau pindah diangkut kapal ke lokasi-lokasi terpencil. Tujuannya pulau Sumatera    ( khususnya Lampung dan Jambi ), Kalimantan dan Sulawesi. Rombongan transmigrasi tinggal di hutan atau di padang rumput dengan hanya berbekal kebutuhan pokok. Para transmigran Jawa Bali berjuang untuk membangun sistem pertanian sawah teras. Dalam kasus kelompok, banyak diantara mereka menderita tiga musim gagal panen dan banjir besar. Bahkan wabah penyakit ganas juga ancaman kematian sejumlah besar orang. Mereka yang bertahan akhirnya mendapat hadiah kemakmuran. Mereka bisa membeli kuda dan sapi, radio, sepeda dan gerobak, dan membangun tempat ibadah sebagai hasil dari pembangunan.

 

Pada masa pasca integrasi Timor-Timur, Pemerintah memberikan tekanan khusus kepada para transmigran untuk pindah. Tugasnya mengIndonesiakan wilayah itu. Khususnya  untuk meningkatkan populasi muslim di wilayah yang sebagaian besar penduduknya beragama animisme dan Kristen. Sensor berita tidak memungkinkan para transmigran untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang keadaan di Timor Timur. Sehingga banyak dari mereka yang terkejut ketika tiba di loasi tujuan. Mereka dianggap sebagai pion di tengah dalam konflik di  bawah ancaman serangan oleh pejuang Timor Timur. Serta sangat dibenci oleh penduduk setempat yang sering dianggap menjajah.

 

Dari keseluruhan program transmigran ini, banyak juga yang menyerah memilih kembali ke daerah asal pulau Jawa atau pindah profesi lain di tempat tujuan. Mereka menjadi pekerja migran yang umumnya berasal dari Jawa dan Madura. Masuknya pekerja migran terjadi pada saat perluasan industri kehutanan dan pertamabangan. Perusahaan penebangan kayu dari negara lain seperti Malaysia diberi konsesi besar untuk mengubah hutan-hujan raksasa menjadi bubur untuk pabrik kertas. Sementara perhatian dunia masih terfokus ke daerah hutan Brazil, padahal hutan Indonesia sudah mulai hilang.

 

Situasi yang sebenarnya baru terungkap saat kebakaran hutan mulai melanda selama musim kering di daerah-daerah yang telah digunduli. Karena kebanyakan wilayah hutan Kalimantan ada di tanah gambut, maka begitu terjadi kebakaran butuh waku berbulan-bulan untuk memadamkannya. Dampak kebakaran hutan terjadi kepulan asap hingga singgah ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

 

Namun banyak juga yang berhasil setelah bertahan dan sabar beberapa tahun. Apa yang telah mereka capai telah dinikmati pada generasi berikutnya. Mereka telah menghuni tempat tinggal rumah baru yang lebih sangat layak, serta sebagai warga negara yang cukup secara ekonomi. Anak-anak mereka bersekolah di pulau Jawa dan mampu menjadi tokoh-tokoh mapan di daerah tujuan. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Seru, 400 Orang Jawa Sedunia Bakal Kumpul di Surabaya

Author Abad

Oct 04, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Politik Hukum, Tumbal dan Sumber Kegaduhan

Malika D. Ana

Jan 07, 2023

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023