images/images-1683779871.jpeg
Sejarah
Data

Mr. Assaat, Presiden Indonesia yang Tidak Pernah Tercatat

Pulung Ciptoaji

May 11, 2023

894 views

24 Comments

Save

abad,id- Mr. Assaat gelar Datuk Mudo, seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Mr. Assaat merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta.

 

Assaat seharusnya dimuliakan seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, namun ia tidak mau. Ketika Sukarno menjadi Presiden dan Hatta menjadi Perdana Menteri dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk setelah Pengembalian Kedaulatan 27 Desember 1949, terjadi kekosongan di kursi Kepresidenan Republik Indonesia (RI). Maka, Mr Assaat menjadi pejabat Presiden untuk sementara waktu.

 

Dipilihnya Mr. Assaat sebagai pejabat presiden bukan karena kebetulan. Sebelumnya ketika menjadi pimpinan sidang BP-KNIP di Malang, 1947, dirinya diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya (BP-KNIP) tahun 1948. Pada masa revolusi dua kali mengadakah hijrah karena situasi dianggap terlalu riskan, dan agar Revolusi Indonesia tetap berjalan.

 

BP KNIP berkedudukan awal di Jakarta, dengan menempati kantor di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian Jakarta) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) dibentuk tanggal 16 Oktober 1945 yang diketuai oleh Sutan Sjahrir dan penulis oleh Soepeno dan beranggotakan 28 orang. Pada tanggal 14 November 1945, Sutan Syahrir diangkat menjadi Perdana Menteri Indonesia, sehingga BP-KNIP diketuai oleh Soepeno dan penulis Abdul Halim.  Kemudian pada tanggal 28 Januari 1948, Soepeno diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda pada Kabinet Hatta I, sehingga ketua adalah Mr. Assaat Datuk Mudo, dan penulis tetap dr. Abdul Halim. Sehingga sejak tahun 1948-1949 (Desember) ia menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Ia terpilih menjadi Ketua KNIP terakhir hingga KNIP dibubarkan,

 

MR Assaat ikut merasakan perlakuan Agresi Militer II Belanda yang merendahkan martabat pemimpin nasional. Pada 22 Desember 1948, Assaat dijadikan tawanan pemerintah Belanda dengan dibawa keluar Ibukota bersama tokoh-tokoh lain seperti Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Gafar Pringgodigdo, dan Komodor Suryadi Suryadarma. Assaat bersama dengan Hatta, Gafar, dan Suryadarma diasingkan di Manumbng, Pulau Bangka.

 

Assaat memprediksi mereka semua akan dibawa ke Saparua, seperti yang sebelumnya dialami Sam Ratulangi. Rupanya, pesawat itu mendarat di lapangan terbang tertua di Indonesia, Cililitan. Rombongan singgah sebentar untuk buang air.

 

Sebelum terbang menuju Bangka, pesawat tiba di lapangan terbang Pangkal Pinang (kini Depati Amir). Hatta bersama Gafar, Assaat, dan Suryadarma dibawa ke Menumbing. Setelah Belanda ditekan dunia internasional, pada 1949 Republik Indonesia pun dipulihkan. Pemimpin-pemimpin republik, termasuk Assaat, dibebaskan.  

 

Setelah itu tanggal 27 Desember 1949 dia dilantik Soekarno menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia. Pelantikan di Istana Negara Yogjakarta, dan dihadiri para pejabat Republik Indonesia Serikat. Namun rupanya menjadi pejabat Presiden ini hanya bersifat sementara, sebab bagi MR Assaat hanya sebagai siasat untuk mendapat pengakuan kedaulatan dariBelanda.

 

Umur MR Assaat kala itu mendekati 46 tahun. Sebelum ibukota RI kembali lagi ke Jakarta, demi mengenang Yogyakarta sebagai kota perjuangan, Assaat memprakarsai pembangunan Masjid Syuhada. Selama menjadi Pejabat Presiden RI, Assaat masih sempat penandatangan statuta pendirian Universitas Gadjah Mada (UGM).

 

Mantan Presiden Pernah Ditahan Presiden 

 

Mr Assat lahir di Banuhampu, Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tanggal 18 September 1904, menjadi remaja sangat beruntung di zamannya. Gelar adatnya saja Datuk Mudo. Pengalaman pendidikan Mr Assaat pada usia muda penuh berliku. Pendidikan dasar dilalui di Perguruan Adabiah dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, Assaat keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS. Dari AMS, Assaat melanjutkan pendidikannya ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta.

 

Ketika menjadi mahasiswa RHS di Jakarta, Assaat sudah aktif berkecimpung dalam gerakan kebangsaan. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Karier politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia. Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda ia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda.

 

Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke kancah politik dengan bergabung dalam Partai Indonesia atau Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo, seperti Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dan beberapa tokoh lainnya. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walau sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir.

 

Tersinggung atas perlakuan para pengajarnya, Assaat memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Dia meneruskan di Universitas Leiden Belanda dan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau Sarjana Hukum.

 

Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1939 Assaat berpraktik sebagai advokat  dan bekerja di NV Centrale Hulp Spaar en Hypotheekbank Jakarta. Waktu zaman Jepang, dia menjadi pegawai di Somubu Indonesia Bunshitu. Mr Assaat pernah juga menjadi camat Gambir dan Wedana Mangga Besar kala zaman Jepang.

 

mr asaat presiden

Mr. Assaat, dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Sukarno pada 27 Desember 1949 di Yogjakarta. Foto 30 tahun Indonesia Merdeka

 

Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, Assaat diamanatkan menjadi Acting (Pelaksana Tugas) Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.[

 

Setelah pindah ke Jakarta, Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hingga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Setelah Kabinet Natsir bubar, ia kembali menjadi anggota Parlemen.

 

Pada tahun 1955 ia menjabat sebagai formatur Kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terjadi ketidak puasan daerah terhadap beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena secara formal, ditolak oleh Parlemen.

 

Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin, Assaat menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

Mr Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung, ia selalu diawasi oleh intel serta PKI. Dengan berpura-pura "akan berbelanja" ia bersama keluarganya melarikan diri dengan berturut-turut naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan menuju Stasiun Tanah Abang.

 

Mr Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatra. Keluara ini beberapa hari tinggal di Palembang. Ketika itu sudah terbentuk Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng. Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di Sumatra Utara, sementara Kolonel Ventje Sumual membangun Dewan Manguni (Burung hantu) di Sulawesi.

 

Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang dipengaruhi oleh PKI. Dewan ini membentuk pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatra Barat bergabung menjadi Ketua Majelis Presiden di PRRI. Kemudian ikut berkeliaran di hutan-hutan Sumatra, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.

 

Ketika berada di hutan-hutan Sumatra Barat dan Sumatra Utara, mantan pejabat Presiden mulai merasa sering terserang sakit. Assaat ditangkap, dalam keadaan fisik lemah pada 10 September 1961 di Padang Sidempuan. Assaat kemudian ditahan di Medan lalu Jalan Tembok Jakarta selama 4 tahun (1962-1966) tanpa status hukum. Mr Assaat baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.

 

Di tanggal 16 Juni 1976, Mr Assaat meninggal di rumahnya yang sederhana di Warung Jati, Jakarta Selatan pada usia 72 tahun. Mr Assaat gelar Datuk Mudo dihormati oleh negara dengan kebesaran militer. (pul)

 

 

 

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori #3

Author Abad

Mar 11, 2023

Begini Respon TACB Perihal Reklame di Lokasi Cagar Budaya

Author Abad

Feb 26, 2023

A.H. Thony: "Dulu jadi panutan pembongkaran, kini kok mau dipasangi reklame lagi. Mesakne Mas Wali"

Malika D. Ana

Feb 24, 2023