images/images-1677243871.png
Tokoh

Kisah Cinta Anak Presiden Terhalang Situasi Politik

Pulung Ciptoaji

Feb 25, 2023

1555 views

24 Comments

Save

Rachma mengenakan gaun kuning, duduk berdampingan dengan suaminya, Dicky Soeprapto (39 tahun). Mereka menikah tahun 1975. Foto dok femina

 

abad.id- Rachmawati putri dari Bung Karno dikatakan "anak bapak'. Sebab ketika berumur muda dan Guruh masih bayi 40 hari, ibunya fatmawati sudah meninggalkan Istana sebagai protes atas pernikahan Bung Karno dengan Hartini.  Selama tinggal di istana, Bung Karno tak membiarkan kamar Rachma yang luas, jadi tak hangat tanpa kehadiran seorang ibu. Setiap anak Bung Karno mempunyai ibu pengasuh yang tidur bersama di dalam kamar.

 

Khusus untuk Rachma, Bung Karno sampai mencari ibu pengasuh diluar kota Jakarta. Kebetulan, Basuki Abdullah pelukis Istana yang memang erat hubungannya dengan Bung Karno, menawarkan seorang ibu asal Solo. Padahal,waktu itu Rachma sudah diasuh suster. "Sejak itulah, Bu Hadi berperan sebagai ibu angkat saya,” tutur Rachma,

 

Sama dengan perawatan suster, sebab masa kecil Bung Karno juga diasuh oleh serang wanita desa, Sarinah. Ibu Hadi, juga mengantarkan Rachma sampai ke sekolah. ”Saya kira, semua itu atas perintah Bapak. Saya tidak mengerti, mengapa begitu, walaupun sedikit risi tapi tidak berani berbuat apa-apa,” ” tutur Rachma.

 

"Waktu saya masih di taman kanak-kanak, Bung Karno sering menengok lewat jendela kelas. Maklum, taman kanak-kanak itu berada di dalam kompleks istana, dengan 20 murid yang dipilih Bung Karno sendiri dari lingkungan anak-anak pegawai istana,” kata Rachma.

 

Mengenai kehidupan di istana, Rachma mengaku serba gemerlap dan berlimpah. Tapi Bung Karno tidak mendidik anak-anaknya hidup mewah. “Kalaupun saya pernah dibelikan mobil, atau apa-apa yang saya minta dikabulkannya, saya anggap itu cuma kompensasi dari rasa bersalahnya menyebabkan kami berpisah dengan Ibu,” kata Rachma.

 

Bung Karno juga tidak pernah membiasakan anak-anaknya memegang uang, karena segalanya telah ada dalam jumlah batas tertentu. Secara kebetulan kata Rachma juga tak menyadari pentingnya uang, karena tidak pernah membeli apa-apa sendirian. Biasanya, yang membelikan keperluan-keperluan kecil ditangani Bu Hadi.

 

Bung Karno tak pernah melupakan Rachma di tengah kesibukannya sebagai pemimpin negara. Foto dok net

 

Perhatian Bung Karno, bukan saja terbatas kepada keperluan sehari-hari. Pada hari khusus Bung Karno tak pernah melupakan Rachma di tengah kesibukannya sebagai pemimpin negara. Kalau Rachma berulang tahun atau kalau Bung Karno tugas ke luar kota maupun ke luar negeri, pasti ada sesuatu hadiah kecil untuknya. ”Kalau saya ulang tahun, Bapak sering tanya, saya mau apa. Kadang-kadang, tanpa setahu saya, di kamar sudah ada hadiah,” kata Rachma.

 

Hingga nostalgia masa kecil ini akhirnya ikut berubah seiring tumbuhnya 3 putri Bung Karno.  Tahun 1960an, putri-putri Bung Karno telah beranjak remaja. Kehadiran mereka mengundang pria-pria mendekat ke istana. Namun status sebagai anak presiden tentu membuat mereka tidak sebebas remaja pada umumnya.

 

Rachmawati Soekarno tidak bisa melupakan kisah cinta pertamanya. Pria itu adalah seorang Taruna Akademi Angkatan Laut. Anggota drum band Korps Taruna yang kala itu selalu membuat para gadis-gadis melirik.

 

Usia Rachmawati saat itu baru 15 tahun. Hubungan keduanya terus berlanjut melalui surat menyurat. Hati Rachmawati makin berbunga-bunga saat ibu dan ayahnya seolah memberi lampu hijau pada sang pemuda. Tak ada penolakan dari Bung Karno yang biasanya angker kalau menyangkut soal pria yang mendekati putri-putrinya.

 

Hari yang paling membahagiakan ketika ternyata seluruh perwira muda lulusan Akademi Angkatan Bersenjata dilantik oleh Presiden Sukarno di Istana. Salah satunya ada sosok perwira pujaannya itu.

 

"Suara cinta bergema-gema di sana. Hatiku benar-benar semarak. Saya berdandan. Berhias dan mengenakan baju kebaya, siap menunggu upacara selesai," kata Rachmawati, seperti dikutip dalam biografi Rachmawati Soekarno, Bapakku Ibukku yang diterbitkan Garuda Metropolitan Press tahun 1985.

 

Rachma ikut menyambut para taruna yang dilantik oleh Presiden. Upacara pelantikan diikuti ramah tamah di Istana Merdeka. Bahagianya gadis remaja bisa dekat dengan sang pujaan hati malam itu. “Menurut pandanganku, dia memang ganteng. Apalagi sosoknya berdarah campuran Indo Belanda," kenang Rachma.

 

Namun hubungan mereka tidak bertahan lama. Pecah tragedi 30 September 1965. Situasi politik berubah drastis. Rachma tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Presiden Sukarno harus kehilangan kekuasaannya. Dia bersama saudara-saudaranya dipaksa meninggalkan istana. Banyak mahasiswa berdemo menuntut Sukarno mundur.

 

Kondisi itu pula yang memutuskan hubungan antara Rachma dengan perwira muda itu. Kondisi tak memungkinkan mereka sering bertemu. Komunikasi pun terputus. "Saya tak sempat lagi memikirkan hal lain, yang kupikirkan adalah keselamatan Bapak dan keluarga. Soal diri saya sendiri? Saya tak peduli," kenangnya.

 

Setelah 20 tahun, Rachma masih mengingat sosok perwira itu. Walau dia mencintai pemuda itu, Rachma sadar dia bukanlah jodohnya. Kondisi yang memisahkan mereka. Impiannya menjadi istri seorang perwira TNI AL hilang bersamaan dengan peristiwa G30S. "Biarlah itu hanya dalam kenangan. Jika dia membaca tulisan ini, dia juga pasti akan mengenangnya sebagai sejarah hidup yang telah silam," kata Rachma yang tak pernah menyebut namanya.

 

Sementara itu hubungan batin yang erat antara Bung Karno dengan Rachmawati, tetap berlangsung sampai menjelang "jatuhnya" Bung Karno dari tampuk kepemimpinan. Setiap 3 atau 4 kali dalam seminggu, setiap pulang sekolah, Rachma selalu bergegas ke Istana Cipanas, Bogor, tempat Bung Karno di karantina. "Terus terang, pada saat itu, saya lebih banyak kesempatan untuk ngobrol, diskusi atau bercanda dan main kartu dengan Bapak."

 

"Hubungan yang erat ini, menyebabkan saya tidak percaya ketika Bapak wafat. Saya tidak mengerti, mengapa detik-detik terakhirnya, Bapak selalu bertanya 'jam berapa?' seolah-olah Bapak  diburu-buru waktu." Pada saat tarikan nafas yang terakhir, Rachma tetap di samping Bung Karno. “15 hari setelah ulang tahun Bung Karno tanggal 21 Juni 1970, Saya rasanya sudah tidak bisa menangis lagi. Saya sudah kehilangan tongkat, kehilangan orang tua, kehilangan masa depan, dan 'teman' yang paling erat dalam batin saya,” kisah Rachma sedih.

 

Beruntung di tahun 1969 sebelum Sukano Wafat, Rachma masih merasakan hangatnya kebahagiaan saat dinikahkan dengan seorang dokter bernama Martomo Prijatman. Namun pernikahan itu tidak bertahan lama. Setelah bercerai, Rachma kemudian menikah dengan Dicky Suprapto tahun 1975. (pul)

Artikel lainnya

Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari Gedong Nasional Indonesia (GNI)

Author Abad

Oct 29, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

Surabaya Dalam Jejak Kubilai Khan, Cheng Ho dan Marga Han

Malika D. Ana

Jan 14, 2023

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Kapan Indonesia Siap Berdemokrasi?

Author Abad

Nov 01, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023