images/images-1681317635.jpg
Sejarah

Daendels Membangun Jalan Penuh Darah

Pulung Ciptoaji

Apr 12, 2023

498 views

24 Comments

Save

Ilustrasi Herman Willem Daendels sedang melakukan peninjauan proyek pembangunan jalan raya pos antara Anyer hingga Panarukan. Gambar dibuat tahun 1910 yang menceritakan peristiwa 100 tahun sebelumnya. Foto Fb   

 

 

abad.id- Kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Hindia-Belanda pada 5 Januari 1808 ke tanah Jawa cukup menggemparkan. Kedatanganya menimbulkan suasana terkejut bagi orang lama yang bekerja sejak jaman VOC. Sebab begitu tiba di Nusantara, Daendels langsung memerlihatkan kemampuan managemen membangun sebuah peradapan koloni moderen. Daendels memutuskan pindah rumah ke Butenzorg (Bogor), sekalipun sedang musim hujan. Daendels beralasan lingkungan Batavia sudah tidak sehat.

 

Keputusannya membuat orang-orang di Dewan Hindia Belanda kerepotan. Menurut mereka, untuk pindah butuh bantuan 30 tim. Tapi Daendels dengan kemauan yang keras mengungkap, “saya akan pakai 31 tim”.

 

Perintah Daendels langsung ditaati. Kuasa Daendels begitu kuat di tanah Hindia. Raja Belanda Louis Bonaparte sendiri yang memberikan kuasa penuh kepada Daendels. Kedatangannya sangat diharapkan dan langsung melakukan reorganisasi Dewan Hindia dan memberinya hak penasihat demi menegakkan kekuasaan.

 

Lalu Daendels mulai bekerja membangun managemen pemerintahan yang efektif. Mulai memangkas korupsi, menghancurkan dan membangun adminisrasi, membangun jalan, dan benteng. Kerja keras dalam waktu singkat membutuhkan tenaga besar dengan penuh tekanan. Maka seseorang menganggapnya sebagai diktator.

 

Daendels sendiri yang menggagas perlunya jalan yang menyambung seluruh pulau Jawa. Awal pembangunan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg untuk persiapan pertahanan di pantai utara Pulau Jawa pada tahun 1809. Namun dampak pembangunannya ternyata jauh melampaui ekspektasi Daendels.

 

Jalan itu memang tak memungkinkan untuk menahan pendaratan serdadu Inggris. Akan tetapi, kehadirannya mampu mengubah perubahan ekonomi dan kehidupan Pulau Jawa secara besar-besaran pada periode sesudahnya.

 

Misalnya perjalanan dari Batavia menuju Surabaya berhasil ditempuh dalam waktu lima hari. Padahal sebelumnya untuk mengangkut hasil bumi dari pusat pertanian menuju kota besar bisa menempuh waktu 2 minggu. Jika sudah sampai lokasi, hasil bumi tersebut sudaah berkurang kwalitasnya karena membusuk. Proyek besar karya Daendels itu, oleh sejarawan Prancis, Denys Lombard disebut berhasil mempersatukan tanah Pasundan dan tanah Jawa.

 

Penyatuan itu kemudian menciptakan sebuah kawasan ekonomi tunggal. Jalan raya itu memungkinkan pengembangan di berbagai sektor lain, mulai dari perkebunan serta komersialisasi produk-produk kolonial lain.

 

Dalam buku Nusa Jawa: SIlang Budaya Jilid 1 tulisan Denys Lombard menyebutkan, jalan tersebut telah menciptakan sebuah kelompok sosial yang teramat penting, yaitu kaum pedagang. Jalan tersebut memungkinkan terjadinya gerakan penduduk, menimbulkan mobilitas pada mem uka akses komunitas-komunitas petani. Melalui jaringan jalan-jalan sekunder yang tersambung ke arteri, di berbagai daerah yang padat penduduk mulai berpindah ke kawasan yang masih terbuka. Migrasi penduduk ini memunculkan pemerataan pembangunan di Pulau Jawa.

 

hjalan Cadas Pangeran tahun 1910

Salah satu ruas Jalan Raya Pos Cadas Pangeran  tahun 1910. ( Sumber: Museum Volkenkude/Geheugevnnedeland)

 

Sejak Jawa telah terhubung,  banyak pula muncul pasar dan toko di sepanjang Jalan Raya Pos tersebut. Jika sebelumnya orang-orang sangat tergantung dengan transportasi sungai, maka berkat Jalan Raya Pos, kesibukan tersebut telah bergeser ke transportasi darat.

 

Senapas dengan itu, penduduk bumiputra pun turut mencicipi keuntungan dari sektor perdagangan dan industri. Lebih lagi, jalan itu tak cuma bermanfaat mengangkut makanan, tetapi bermanfaat juga untuk peningkatan kesehatan. Dalam narasi besarnya, Jalan Raya Pos bahkan diyakini telah menggusur mentalitas feodal ke modern.

 

Namun sastrawan Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels mengutuk jatuhnya korban jiwa dalam pembuatan Jalan Raya Pos. Kendati demikian, Pram mengakui bahwa Jalan Raya Pos sejak dipergunakan pada 1809 telah menjelma menjadi infrastruktur penting dalam peradaban manusia. Pendapat Pramudya berdasarkan pembangunan mahakarya Jalan Raya Pos telah meninggalkan darah dan air mata akibat genosida dan kerja paksa. Sebab saat membangun jalan tersebut, pemerintah Kolonial sedang tidak punya uang.

 

Daendels memanfaatkan orang-orang Jawa sebagai buruh tanpa bayaran. Daendels memerintahkan para bupati di sepanjang wilayah yang dilewati untuk mengerahkan warganya. Mereka yang datang secara sukarela telah menjadi tanggungjawab bupati selama masa kontrak kerja paksa. Maka banyak warga yang tewas kelaparan karena beban kerja yang berlebihan. Bahkan lawan politik Daendels sampai menuliskan, bahwa 12 ribu pekerja tewas termasuk 500 orang di Megamendung.

 

Namun perkara isu kerja paksa tak seluruhnya benar. Dalam salinan dokumen milik J.A. van der Chijs berjudul Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 jilid ke-14 (1895), dijabarkan secara panjang lebar terkait kesepuluh pasal instruksi Daendels dalam pembangunan Jalan Raya Pos.

 

Pada pasal 3, misalnya, disebutkan jalan ini harus dibuat selebar 2 roed rijn atau sekitar 7,5 meter. Pada setiap jarak sekitar 150 meter harus didirikan tonggak atau paal sebagai penanda jarak serta penanda distrik, dan penduduk untuk memelihara jalanan.

 

Seperti yang disebutkan J.A. van der Chijs dikutip Majalah Tempo dalam laporan Sepuluh Instruksi Mas Galak (2015), khusus pembangunan dari Cisarua ke Cianjur membutuhkan 1.100 kuli yang didatangkan dari Jawa. Disebutkan secara rinci jumlah kuli beserta upahnya. Dari Cisarua ke Cianjur 400 orang, dari Cianjur ke Rajamandala 150 orang, dari Rajamandala ke Bandung 200 orang, dari Bandung ke Parakanmuncang 50 orang, dan dari Parakanmuncang ke Sumedang 150 orang.

 

Adapun upahnya per kuli dari Cisarua ke Cianjur 10 ringgit. Dari Cianjur ke Rajamandala 4 ringgit. Dari Rajamandala ke Bandung 6 ringgit. Dari Bandung ke Parakanmuncang 1 ringgit. Dari Parakanmuncang ke Sumedang 5 ringgit. Dan dari Sumedang ke Karangsambung 4 ringgit. Sederet rincian itu membuktikan bahwa Daendels tak sepenuhnya menerapkan kerja paksa. Apapun resiko proyek megaraksasa itu, pembangunan Jalan Raya Pos sampai hari ini masih dirasakan manfaatnya. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Seru, 400 Orang Jawa Sedunia Bakal Kumpul di Surabaya

Author Abad

Oct 04, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Politik Hukum, Tumbal dan Sumber Kegaduhan

Malika D. Ana

Jan 07, 2023

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023