images/images-1677560323.png
Budaya

Tirto dan Legenda Pergundikan Nusantara

Pulung Ciptoaji

Feb 28, 2023

537 views

24 Comments

Save

Pergundikan digambarkan dalam film Bumi Manusia yang diangkat dari novel Pramudya Ananta Toer. Foto ilustrasi film

 

abad.id- Jurnalis sekaligus nasionalis modern pertama Tirto Adhi Suryo pernah menggambarkan situasi sosial dan gaya hidup masyarakat semasa Kolonial Belanda. Saat itu budaya post moderen mulai tumbuh di sebuah tanah jajahan dampak dari awal politik etis. Tirto yang pergi meninggalkan kota kecil Blora menuju kota besar Batavia untuk melanjutkan pendidikan sebagai dokter di perguruan tinggi baru untuk pribumi Stovia. Tirto mencatat selama tinggal di Batavia di dekade pertama abad kedua puluh, penduduknya hanya sekitar 139.000, masih belum menjadi kota besar kalah jumlah dibandingkan Surabaya 150.000. baru pada tahun 1930 an, penduduk Batavia baru tumbuh pesat menjadi 533.000 jiwa, dan pusat pemerintahan dan politik pindah ke Batavia.

 

Tirto punya kenangan berhasil lulus tes untuk menjadi mahasiswa kedokteran. Selama pendidikan ini, ia memungkinkan akan menggunakan bahasa Belanda setiap harinya. Namun bakat menulis lebih dominan selama studi kedokteran, dibuktikan beberapa artikel diterbitkan di beberapa surat kabar di Batavia. Kelebihan Tirto karena bisa berinteraksi dengan bebas dalam bahasa Belanda dengan siapapun komunitas dan pergaulan elit yang dekat dengan Belanda.

 

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern tulisan Ardian Vickers digambarkan, pada awal abad ke 20, pejabat Belanda telah membuat bahasa mereka menjadi eksklusif. Artinya Bahasa Belanda tidak boleh digunakan untuk komunikasi antar orang-orang Jawa, meskipun banyak kaum pribui bisa berbahasa Belanda secara fasih. Orang-orang Jawa harus menggunakan bahasa krama kepada Belanda, dan harus menunjukkan semua tata krama kepatuhan feodal. Seperti menyembah seperti orang yang sedang berdoa dan berjongkok sebagaimana mereka menghadapi para priyayi.  

 

Meskipun telah ada usaha untuk mereformasi sikap ini oleh Gubernur Jenderal van Heutsz, namun aturan masih tertanam hingga memasuki abad menuju modern. Bagi bangsawan muda seperti Tirto, terhadap fenomena kepatuhan dan feodal ini tidak mengabil sikap atau mematuhi. Serta menolak sama sekali hubungan antara Belanda dengan aristokrasi pribumi.

 

Meninggalkan bangku kulian sebagai calon dokter, awalnya Tirto magang di salah satu koran berbahasa Belanda. Di tempat itu ia dengan cepat naik ke tingkat editor, dan menjadi terkenal di seluruh koloni. Kemudian Tirto menjadi pemilik surat kabar Indonesia pertama di Jawa. Turut serta dalam perusahaan surat kabar ini  para editor dan penulis dari Minahasa (Sulawesi Utara), Sumatra dan Jawa Tengah, dan menciptakan kesadaran baru mengenai masalah-masalah kehidupan sehari-hari rakyat kolonial Hindia Belanda.

 

Melalui surat kabarnya, Tirto berkampanye melawan korupsi yang dilakukan orang-orang Belanda, para bupati dan aparat priyayi. Serta berusaha menciptakan kesadaran para priyayi muda dan para pedagang dari kota mengenai kewajiban mereka untuk membantu orang miskin.

 

Untuk mencapai tujuan ini, Tirto mengembangkan bahasa orang kota yaitu bahasa Melayu. Karena sebelumnya orang Indo dan etnis Cina telah memproduksi surat kabar dalam bahasa Melayu. Alasan pengunaan bahasa Melayu, banyak warga kota sudah paham, dan  hanya sebagian kecil dari penduduk perkotaan bisa membaca teks dalam tulisan Latin. Atas keterbatasan ini, Tirto membuat surat kabar berbahasa Melayu yang mudah dipahami saat dibaca lantang secara berkelompok.

 

Tirto juga menulis novel dalam gaya 'roman picisan'. Pada zaman itu sudah ada novel pop yang ditulis para peranakan Cina. Di kota-kota seperti Palembang dan Batavia terdapat perpustakan-perpustakan yang meminjamkan buku, dan koleksinya novel terjemahan detektif seperti Nick Carter dan Sherlock Holmes.

 

Rupanya Belanda mulai mendukung penggunaan Bahasa Melayu, karena lebih mudah bagi pribumi untuk belajar bahasa mereka sendiri. Walaupun ada 200-an bahasa besar lainnya di Nusantara, hanya sedikit yang diaggap cocok. Sehingga pada era awal tahun 1900 ini,  Belanda mulai melakukan standarisasi bahasa melayu. Belanda memilih bahasa Melayu istana dari kepulauan Riau sebagai standar, serta menolak bahasa Melayu pasaran yang digunakan oleh orang-orang kota seperti Tirto.

 

Novel populer Tirto yang menggambarkan kondisi sosial masa awal abad 20 ini berjudul “Nyai Ratna” (1909). Isinya bagaimana seorang selir setia berbuat salah. Menurut sebuah sumber, novel ini kisah nyata dari Jawa Barat, menyampaikan kompleksitas masyarakat Batavia.  Dalam cerita, tokoh utama seorang gundik bernama Ratna. Wanita yang menjadi gundik orang Eropa dan Cina. Dia tidak menikah dengan laki-laki Eropa, tetapi mendapatkan nafkah sampai si lekaki mati, meninggalkan Indonesia, atau memilih wanita lain.

 

Cerita tentang pribumi yang menjual istrinya kepada lintah darat Belanda untuk membayar utang, soal kepriyayian pada masa itu dan sosok pembaca kartu, peramal nasib yang kerap muncul. Orang-orang Belanda ternyata ikut percaya juga kepada mereka, yang bekerja kadang bukan dengan keahlian membaca kartu melainkan keahlian mengatur siasat. Ceritanya memang hanya berputar pada nyai-nyai yang dipelihara Belanda, lalu nyai-nyai yang memelihara laki-laki pribumi.

 

Dunia pergundikan memang dianggap sebagai hal biasa. Perempuan-perempuan yang menjadi nyai itu tidak hanya berasal dari golongan rendah tetapi juga golongan menengah. Justru, perempuan yang menjadi nyai akan terangkat derajatnya. Para Raja dan Bangsawan mungkin memiliki kebiasaan sama soal memelihara perempuan. Bedanya para tuan Belanda menempatkan nyainya dalam strata yang sedikit berbeda.

 

Nyai-nyai ini mendapat gaji, rumah, sawah, bahkan uang pensiun serta hak untuk menuntut lepas dari tuannya. Ruang lingkup gerak dan pergaulan mereka lebih luas daripada perempuan bangsawan Hindia. Sedikit menyakitkan bagi yang membaca cerita Nyai Ratna, sebab dipaksa dituntun untuk membayangkan konteks sosial pada masa itu. Bagaimana relasi sosial, politik dan ekonomi yang terjadi antara nyai-nyai dengan tuannya, maupun kondisi Hindia secara lebih luas.

 

Mereka bahkan akan mengusahakan pendidikan bagi anak dari seorang nyai sampai ke Eropa. Anak-anak para gundik, Eurasia-yang lebih dikenal sebagai “orang Indo” tinggal di permukiman penduduk pribumi. Di sana mereka sering dianggap sebagai penyusup, sehingga di kota-kota seperti Surabaya, pemuda Indo dan pribumi membentuk geng-geng yang berperang satu sama lain. Sebagai orang yang berada di antara Belanda dan pribumi, orang Indo juga bisa masuk menjadi pegawai negeri sipil. Peran mereka di layanan sipil pribumi ikut mengubah birokrasi. Sebab mereka merebut akses eksklusif kaum bangsawan pribumi untuk masuk di jalur birokrasi. Pada awal abad modern ini, pertumbuhan pegawai negeri non-bangsawan di kota-kota menciptakan sebuah kelas menengah baru yang unik.

 

Dalam cerita Tirto, Ratna bertemu dengan seorang pemuda bangsawan, tetapi tidak dalam keadaan biasa. Mereka bertemu di jantung Batavia di sebuah acara pesta penobatan Ratu. Ketika itu kota Batavia sedang dihiasi dengan lengkungan air mancur dan sejumlah lampu listrik, dengan lampu berbagai warna. Ada merah, biru, yang hijau. Kehadiran listrik salah satu hal moderm,  bagi Tirto digambarkan sumber keajaiban. Tirto juga menggambarkan bangunan utama, Sekretariat Jenderal (pusat pemerintahan), serta Harmonie Club, Club Concordia milik militer, dan toko-toko seperti Eigen Hulp, Versteg, Houpt, Van Arken, yang bersama-sama dengan bangunan lain di samping kanal Noordwijk. Semuanya dihias dengan lampu warna-warni.

 

Namun, penduduk kota lainnya juga merayakan di Pasar Baru dengan budaya China yang kental. Lengkungan-lengkungan rumah walikota Cina dihiasi bendera sejak seminggu sebelum acara. Perayaan berlangsung selama satu minggu secara meriah. Di tengah-tengah pemandangan yang gemerlap batavia itu, sebagai seorang gadis bernama Ratna muncul. Dia digambarkan bertabur cahaya  dari daerah terpencil, berdiri di lengkungan kedua Pasar Baru. Ratnam mengenakan lengan panjang dengan renda putih di atasnya, bawahan batik putih dari Banyumas, mengenakan sandal hitam Pantoffel, dengan stoking sutra bercorak bunga-bunga merah gelap, jubah beludru, dan rambut disanggul ala perempuan Belanda". Mode seperti inil sangat populer tahun 1909 saat era Post Modern.

 

Ratna tengah mengamati seorang pemuda yang rapi, tampan, dan tengah naik sado. Laki-laki itu mengenakan sarung batik bercorak parang rusak, sepatu hitam dengan kaus kaki hitam, jaket putih linen, kemeja yang baru saja dibeli dari toko, kerah tegak dengan sedikit dasi hitam, tutup kepala dihiasi kain batik, peci hitam. Pada bagian tutup kepala ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang mahasiswa kedokteran. Dia juga membawa kacamata, dan punya kumis, semua hal yang membuatnya berbeda sebagai manusia modern.

 

Ratna begitu terkesan dan segera menyewa taksi untuk mengejar pemuda itu. Selain orang Eropa hanya segelintir orang pribumi yang memakai sepatu di tahun-tahun awal abad kedua puluh. Namun penguasa Belanda melarang pribumi jika terlalu keEropaan dalam pakaian. Waktu itu ada aturan berbusana pemerintah, yaitu hanya pegawai negeri berpangkat tinggi atau anggota kelompok etnis pribumi yang berstatus khusus yaitu dianggap pro-Belanda, khususnya Ambon dan Menado, yang diizinkan untuk boleh berpakaian mirip orang Eropa. Jika ada yang ganjil dalam berpakaian, orang-orang Belanda akan mengolok-olok dan menyindur.

 

Penggambaran Tirto atas kondisi pada zaman  dengan bahasa Melayu pasar benar-benar memukau pembaca. Dalam novel itu orang-orang bicara dengan campuran antara bahasa Sunda, Jawa, Belanda. Pembaca bisa merasakan ikut hanyut ketika Nyai Ratna sedang birahi dengan seorang mahasiswa kedokteran bernama Sambodo itu.

Ratna semakin terpikat pada pemuda yang tidak saja cakap itu juga pandai bicara dan pintar membawa pembicaraan yang menyenangkan hatinya.

“Tuan suka gula biet?”

“Dengan segala senang hati, jiwa.”

“Berapa? Satu? Dua?”

“Kalau tidak disendok, kalau dijumput dengan jari yang elok itu, satu saja cukup.”

“Enakan dijumput dengan jari saja. Kobokan tak ada, hendak ambil malas. Bujang udah pada capek.”

“Biar saya seka dengan lidah saya.”

“Coy ... mana mungkin. Lah, lelaki jaman sekarang. Pandai ambil hati perempuan. Mentang-mentang lidah tidak bertulang.”

“Coba kemarikan kalau tidak percaya.”

Ratna lalu menghampiri tempat duduk pemuda itu, mengulurkan jarinya yang habis mengambil gula. Oleh pemuda itu jari Ratna digigit sampai menjerit, menariknya dan mencubit pada tamunya, seraya mengomel,

“Benci gua. Coba sampai luka begini.”

“Ya Robbi, ya Rasul, kasihan, ampun, ampun, kasihan betul. Sakit? Tanya pemuda itu sambil memeluk Ratna dan menciumnya gemas.” (Halaman, 382)

 

Penggunaan bahasa melayu sangat lugas justru mampu menampilkan imaginasi yang sangat jelas. Di sebuah ruang tamu rumah loji dengan perabot mewah, Nyai Ratna yang ditinggal suaminya sebagai Kapten Kapal, bertemu dan berasyik masyuk dengan Sambodo. Perselingkuhan menjadi semacam sifat alami dalam percintaan yang seringkali masih dijumpai sampai sekarang.

 

Ketika meyakinkan perempuan untuk meninggalkan tuannya dan mengajak kaabur, mereka melakukannya dengan bahasa Melayu yang lugas.

"Dua sejoli itu berangkat ke Sukabumi dengan kereta api fajar, mereka ditemani oleh seorang pelayan dan pembantu rumah tangga. Di sana mereka menyewa sebuah rumah penuh perabotan."

“Bahwa semua pahlawan mulia ditemani para abdi sudah hal biasa dalam sastra dan teater tradisional, tetapi gagasan tentang sewa rumah selama seminggu, dengan perabotan lengkap, sungguh sangat mengejutkan. Perjalanan mereka selanjutnya tetap membawa cita rasa..”

"Seminggu kemudian mereka pergi ke Jawa Tengah. Di Maos, mereka singgah di sebuah restoran Cina.

"Kemudian mereka melanjutkan ke sesuatu tempat yang orang Eropa saja baru mulai melakukannya ke Yogyakarta untuk berwisata di kebun binatang, kraton, ke Magelang melihat candi Borobudur dan Mendut, ke Solo membeli batik, kemudian ke Surabaya, Tosari,  Semarang, Cirebon dan kemudian Bandung, sebelum kembali ke Sukabumi.

 

Tidak lupa Tirto menenalkan profesi-profesi baru yang dapat diakses oleh orang pribumi meskipun sangat jarang ditemui. Mereka seperti dokter dan insinyur, yang berkembang menjadi sebuah kelas baru. Orang baru dari kota juga belajar kegiatan baru, seperti berurusan dengan uang kertas, bekerja di kantor, terlibat dalam kasus hukum, membaca koran, bergaya di depan kamera foto, mengenakan parfum Eau de Chinin dan minyak rambut, membeli saham, dan menikmati rokok El Chombata.

 

Kisah Ratna berakhir tragis. Ratna urung kawin dengan Sambodo. Suami Ratna bangkrut, bahkan berusaha mencuri harta miliknya. Ratna yang di awal cerita digambarkan begitu cantik, menjadi rebutan bangsawan dan tuan-tuan Belanda menjadi lontang-lantung nasibnya. Ratna tidak hanya menjadi korban pasif kolonialisme. Dia aktif membuat pilihan, mencari jaminan ekonomi, walaupun ujung-ujungnya berakhir mengenaskan. Ratna kembali menjadi nyai seorang Belanda dan dikabarkan tega meracun suaminya sendiri hingga mati. Aksi ending dalam Novel sangat tragis dalam relasi gender, apalagi berdasarkan moralitas konservatif pada masa itu. (pul)

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

Menyoal Aplikasi Android Untuk Penerima Subsidi

Author Abad

Nov 02, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023