images/images-1684482186.jpg
Budaya
Tokoh

Ki Padmosusastro, Sastrawan Jawa Pencipta Tjerita Kantjil

Pulung Ciptoaji

May 19, 2023

887 views

24 Comments

Save

Ki Padmosusastro (kiri) dengan turunannya, semua anak laki-laki. Foto dibuat pada tahun 1921.

 

abad.id- Setiap tahun sebelum Lebaran, berkumpulah keluaga besar sang pemilik rumah di Jalan Ronggowarsito, Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Keluarga besar ini memang bukan sembarangan, total 500 orang berasal dari moyang yang sama, yaitu Ki Padmosusastro. Jika mereka ke Solo, tak lain karena mereka ingin nyekar, berziarah ke makam keluarga yang letaknya di kelurahan Penularan, Begalon, Solo.

 

Di jaman modern ini sukar sekali menemukan keluarga yang masih utuh secara turun temurun. Biasanya pada keturunan ketiga para cicit sudah tidak saling mengenal. Tapi keluarga Ki Padmosusastro memang beda. Berkat kerukunan dan keakraban di antara anggota keluarga, perkembangan keluarga bisa terkontrol dan guyup. Lihat saja, di akhir tahun 1981 tercatat keluarga besar Padmosusastro sudah memiliki 3 cucu, 47 cicit, 194 canggah, 102 wareng dan 11 udeg-udeg.

 

Keluarga besar ini sangat menarik perhatian karena ada beberapa anggota terkenal dan menjadi tokoh masyarakat. Sedangkan Ki Padmosusastro sendiri semasa hidupnya seorang pujangga Jawa yang salah satu karyanya sangat populer, yaitu Serat Kantjil. Buku ini diterbitkan oleh Balai Poestaka pada tahun 1909 dalam huruf dan bahasa Jawa. Pada 1921 terbit ter-jemahannya dalam huruf latin dan bahasa Indonesia yaitu Tieritera Kantjil yang Tjerdik.

 

padmosusatro

Kulit luar dan halaman pertama Tjeritera Kantjil yang Tjerdik yang merupakan terjemahan dari Serat Kantjil. Ngabehi Wirapustaka adalah nama anugerah Ki Padmosusastro ketika menjabat pimpinan Perpustakaan Keraton Solo.

 

Siapakah Ki Padmosusastro?. Lahir di Solo pada tahun 1840 dengan nama kecil Soewardi, Ki Padmo susastro tidak pernah bersekolah. Pada usia 6 tahun ia diajar membaca dan menulis huruf Jawa oleh ayahnya dan pada usia yang dini 9 tahun, Soewardi bekerja sebagai abdi dalem di Kraton Surakarta. Karena pekerjaannya ini, ia mendapat gelar Ngabehi Kartodirono. Selanjutnya ia belajar sendiri membaca dan menulis huruf latin dan bahasa Belanda.

 

Ketika Mantri Gedong naik pangkat menjadi Kiwo, ia berganti gelar Mas Gusbehi. Sepuluh tahun kemudian ia menjadi Jaksa Anom, yang berarti ia bergerak di bidang pengadilan. Tidak lama kemudian ia naik pangkat menjadi panewu jaksa dengan gelar Karti Pradoto.

 

Perhatian Soewardi kepada sastra Jawa sangat besar, sehingga pada usia 43 tahun ia meletakkan jabatannya dan memperdalam kesusastraan. la menamakan dirinya Ki Padmosusastro. Selain menghasilkan banyak karya tulis ia juga bekerja sebagai wartawan koran Djawi Kondo di Solo. Sebagai anak zaman, Ki Padmosusastro merupakan orang Jawa yang memanfaatkan teknologi cetak untuk menerbitkan koran, bekerjasama dengan Tan Koen Swie dari Kediri. Karya-karyanya yang lugas dapat dilihat di koran tersebut yang tersimpan di perpustakaan nasional.

 

Ki Padmosusastro semasa muda pernah memperdalam ilmu ke Leiden, Negeri Belanda dan bergaul dengan banyak tokoh nasional, seperti dokter Tjipto Mangunkusumo. la juga banyak menterjemahkan karya-karya pujangga besar, Ronggowarsito dari bentuk puisi menjadi bentuk prosa. Hal yang sama dilakukannya juga terhadap karya-karya Mangkunegoro IV.

 

Ki Padmosusastro berbeda dengan sastrawan dan wartawan Jawa pada zamannya. Ia tidak banyak melakukan kritik menggunakan simbol-simbol, dan kata-kata lugas dan langsung. Bahkan, karya Ki Padmosusastro berbeda dengan karya gurunya, RNg Ronggowarsito yang banyak menggunakan simbol-simbol.

 

 

Pada tahun 1900, Ki Padmosusastro kembali diminta bekerja di Kraton. la diserahi memimpin Radyopustoko, Perpustakaan Kraton, dan mendapat gelar Mas Ngabehi Wiropustoko. Pada waktu inilah ia menulis Serat Kantjil yang diilhami oleh cerita anak-anak Reintje de Vos dari Negeri Belanda yang menceritakan pengalaman seekor ruba yang cerdik.

 

Berdasarkan catatan sejarawan Heri Priyatmoko, Ki Padmosusastro termasuk sosok yang produktif menerbitkan karyanya. Diantaranya karya-karya besarnya yang telah diterbitkan adalah Serat Woordenlijst, Urapsari, Piwulang Nulis, Carakan Basa, Layang Carakan, Serat Pathibasa, Serat Campurbawur, Layang Bausastra, Layang Bauwarna, Rangsang Tuban, dan Serat Prabangkara.

 

Di bawah pimpinannya Radyopustoko berhasil menerbitkan surat kabar Sosrodoro dan Tiondrokonto. Pada saat yang sama ia juga menerbitkan surat kabarnya sendiri Worodarmo. Pada tahun 1920, Ki Padmosusastro dianugerahi gelar Projopustoko yang disandangnya sampai ia wafat pada tahun 1926.

 

Menurut Dra. Wahyati D. Pradipta, dosen mata kuliah Jawa Kuna di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, karya Ki Padmosusastro yang paling terkenal kan oleh Balai Poestaka pada tahun 1907. Buku tersebut pada tahun 1981 dialihaksarakan dalam bahasa Indonesia oleh Kamanaka.

 

Isi buku itu adalah siklus kehidupan orang Jawa dan upacaranya, mulai dari kehamilan mitoni, tujuh bulanan,  kelahiran, sunatan,  perkawinan dan sebagainya sampai dengan kematian. Upacara adat tersebut sampai sekarang masih dipakai.

 

Untuk jasa-jasanya di bidang sastra daerah, Ki Padmosusastro diberi penghargaan oleh Pemerintah pada tanggal 29 Oktober 1982 oleh Menteri P & K Daoed Joesoef diwakili oleh cucunya Padmosawego. Guna mengenang jejak sejarah dan perjuangannya, petilasan Sastrawan dan Wartawan Jawa Ki Padmosusastro dihidupkan menjadi Rumah Budaya pada 24 November 2019. (pul)

 

 

 

 

 

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

Menyoal Aplikasi Android Untuk Penerima Subsidi

Author Abad

Nov 02, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023