Sebanyak 55 Tentara PETA Blitar diadukan ke Mahkamah Militer di Jakarta. Terdiri dari 2 Chudancho, 8 Shodancho, 33 Bundancho, 12 Giyuhei. Foto dok net
abad.id- Rencana penberantakan Tentara PETA dimatangkan oleh kondisi perut rakyat yang lapar. Kondisi rakyat yang menderita tidak dapat dibujuk dengan janji politik tanpa kepastian waktunya. Di tengah ketidak berdayaan rakyat yang tertindas, dan semakin kejamnya penindasan Jepang, muncullah Soeprijadi dari Blitar melakukan pemberontakan.
Sosok Shodanco Soeprijadi dianggap tokoh penggerak Tentara PETA yang melakukan perlawanan kepada Jepang pada 14 Februari 1945. Soeprijadi anak Bupati Blitar Darmadi, Lahir 13 April 1923. Ia menempuh pendidikannya di Europeesche Lagere School (sekolah dasar). Setelah tamat SD, ia melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah pertama), lalu memasuki Sekolah Pamong Praja di Magelang.
Setelah bergabung dengan PETA dengan pangkat shodancho atau komandan pleton, ia kemudian ditugaskan di Blitar. Di sana ia diberi tanggung jawab untuk mengawasi para pekerja romusha, yaitu orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa.
Sang inisiator Shodancho atau pemimpin pleton Soeprijadi sangat kecewa melihat kondisi ketidak adilan kalangan PETA yang berasal dari pribumi. Serta perlakuan yang tidak setara antara perwira Jepang dan Indonesia, semakin membuat Soeprijadi merasa perlu bergerak cepat.
Banyak pihak yakin Soeprijadi dihilangkan secara paksa. Foto dok net
Dia mengumpulkan dukungan dari beberapa batalion atau daidan. Rapat juga pernah diadakan pada November 1944 dengan melibatkan beberapa beberapa daidan PETA se Jawa Timur. Ada daidan Tulungagung, Kediri, Malang, Lumajang, Madiun, juga Surabaya.
Pendapat Nugroho Notosusanto dalam buku Api Sejarah 2 tulisan Ahmad Mansur Suryanegara mengatakan, sasaran pemberontakan PETA Blitar tidak melawan Daidancho yang terdiri dari para Ulama. Melainkan rumah Shidokan, Kempetei, dan Hotel Sakura tempat tinggal pimpinan Jepang. Serangan Soepriyadi dan Moeradi mendapat dukungan Kiai Ngabdoellah Siradi dan Kiai Hadji Mohammad Cholil.
Rencana ini sepertinya sudah diketahui Jepang. Pemberontakan dilaksanakan dengan mengumpulkan pasukan pukul 03.00 pada 14 Februari 1945. Sebuah Mortir ditembakkan ke tempat tinggal para pembesar Jepang di Hotel Sakura. Tidak lama kemudian bendera merah putih berkibar selama dua jam, sebelum diturunkan kembali oleh tentara Jepang di lapangan depan markas PETA Blitar.
Balatentata Jepang segera melakukan langkah dengan sistem persenjataan teknik sistek dipimpin Kolonel Katagari. Dengan bantuan pasukan lapis baja dan serangan udara, serta menggunakan tenaga PETA yang tidak tetlibat dalam pemberontakan, dari Batalyon Tulungagung di bawah Danyon Soediro.
Hasilnya pemberotakan yang sangat prematur itu berhasil ditumpas. Sebanyak 55 Tentara PETA Blitar diadukan ke Mahkamah Militer di Jakarta. Terdiri dari 2 Chudancho, 8 Shodancho, 33 Bundancho, 12 Giyuhei. Adapun bentuk hukuman, 6 orang pidana mati, 3 orang pidana seumur hidup, 6 orang pidana 15 tahun, 6 orang pidana 10 tahun, 17 orang pidana 7 tahun, 7 orang pidana 4 tahun, 3 orang pidana 3 tahun, dan 7 orang pidana 2 tahun.
Mereka yang dijatuhi hukuman mati Dr Ismangil, Chudancho Moeradi, Shodancho Soeparjono dan Soedarmono, Budancho Mangkoewidjaja, Bundancho Soedarmo. Terkait nasib Kiai Ngabdoellah Sirodj dan Kiai Hadji Mohammad Holil yang ikut mendukung aksi tidak ditemukan kembali keterangannya. Diperkirakan keduanya senasib dengan Soeprijadi dihilangkan secara paksa.
Di tengah pengadilan Mahkamah Militer ikut dihadirkan Mr. Kasman Singodimedjo Daidancho dari Jakarta, Soediro Daidancho Tulungagung sebagai saksi. Dari tokoh masyarakat ikut hadir Boeng Karno, Otto Iskandardinata, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soepomo, dan Kahar Moezakkir. Dengan cara menghadirkan para politisi dan Daidancho, Balatentara Jepang ingin memperlihatkan nasib akhir jika terjadi pemberontakan. Tujuannya menumbuhkan rasa takut dan jera.
Padahal cara seperti itu tidak sepenuhnya berhasil membuat rasa takut semua pihak. Tentara PETA yang sudah terdidik militer ini punya tanggung jawab besar terhadap nasib rakyatnya. Aksi pemberontakan PETA juga dilakukan Koesaeri di Cilacap pada 21 April 1945, dan Amar Soetisna di Pangalengan Bandung Selatan pada 4 Mei 1945. Aksi memimpin pemberontakan terhadap Jepang itu, menuntut pelaksanaan janji kemerdekaan yang disampaikan Perdana Menteri Koiso pada 7 September 1944.
Aksi pemberontakan PETA di Cilacap merupakan respon atas peristiwa di Blitar. Kabar simpang siur tentang tidak semua pemberontak tertangkap, serta nasib kawan-kawannya yang dijatuhi hukuman mati, membangkitkan rasa solidaritas kawan seperjuangannya. Di tengah derita rakyat yang terbuka datang berita pemberontakan, menjadikan Shodando Koesaeri bersama kawan-kawannya Soewab, Wasiroen, Hadi,Mardijno, Sarjono, Wirjosoeharto, Taswan Djoemiran, dan Soehoed, bangkit melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Balatentara Djepang.
Seperti halnya di Blitar, Shodancho Koesaeri terlebih dahulu mengadakan kerja sama dengan Ulama dan Santri. Pilihannya kepada Kiai Boegel dari Desa Lebeng, Kasugihan, Cilacap. Shodancho Koesaeri juga berusaha mendapatkan dukungan dari Kiai Djoehdi dari Rawolo Purworejo, dan Kiai Mohammad Sidik dari Banjarnegara.
Segera Shodancho Koesaeri mengerahkan 215 Tentara PETA untuk menjadikan Gunung Sandil Cilacap sebagai basis pertahanan. Pada 21 April 1945, mereka melancarkan perlawanan terhadap Jepang. Tuntutan utamanya adalah menagih Janji Kemerdekaan.
Balatentara Jepang melancarkan sitem persenjataan teknik sistek, seperti yang dilakukan terhadap pemberontakan di Blitar, dan menggunakan bantuan Batalyon III Kroya yang dipimpin oleh Daidancho Soedirman. Beda dengan penyerangan terhadap pemberontak Blitar, Daidancho Soedirman bersedia membantu dengan syarat, segenap tentara PETA, para Kiai dan Santri yang menyerah tidak akan disiksa. Kemudian rakyat pendukung pemberontak tidak dibantai.
Dengan adanya persyaratan ini, akhirnya Shodancho Koesaeri bersama pasukannya menyerah bersama Kiai Boegel. Mereka tidak mengalami penyiksaan seperti para pemberontak Blitar. Hanya harus merasakan hawa pengab penjara di Jakarta.
Pemberontakan Tentara PETA di Cilacap ditangani dengan serius karena wilayah ini merupakan pelabuhan yang mengarah ke Laut Selatan atau Australia. Juga terdapat minyak yang sangat diperlukan untuk menjalankan mesin perang.
Serangan pemberontakan PETA juga terjadi 4 Mei 1945 di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan, dipimpin Bundancho Amar Soetisna. Pemberontakan ini dilancarkan pula oleh Batalyon IV Cimahi di bawah Daidancho K.R.Aroedji Kartawinata. Tentu, pemberontakan ini segera mendapat tanggapan dari para politisi, karena dianggap bisa menyulitkan Jepang.
Jenderal Terauchi di Dalat Saigon dan Jenderal Itagaki Seishiro di Singapura harus turun tangan menghadapi tuntutan PETA ini. Setelah diadakan konsolidasi Saiko Shikikan, akhirnya Letnan Jenderal Kumashiki Harada terpaksa digantikan Letnan Jenderal Yasiuchi Nagano untuk mencegah aksi pemberontakan PETA tidak meluas. (pul)