abad.id - Misteri kematian Ditje masih dianggap menarik dibicarakan bagi mereka yang lahir di tahun 1970an. Sebab pada tahun 1986 semua media massa memberitakan peristiwa kematian Ditje Buadiarsih. Bahkan media massa lebih jeli melaporkan investigasi tentang Ditje Buadiarsih dari banyak sisi. Pentingnya kasus ini perlu diberitakan, sebab profesi Ditje Buadiarsih sebagai seorang peragawati terkenal yang tewas ditangan orang kuat.
Sejak malam 8 September 1986 itu, kasus yang menewaskan peragawati kondang asal Bandung bernama Ditje Buadiarsih membuat polisi di Jakarta tidak bisa tidur nyenyak. Jenasah Ditje ditemukan di Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta Selatan pukul 22.00 Wib. Tubuhnya terbujur kaku di dalam mobil Honda Accord bernomor B 1911 ZW yang mesinnya masih hidup. Terdapat lima luka tembakan senjata api, yakni di bagian bawah telinga kanan, bahu, leher, ketiak kanan, dan punggung kanan. Namun, di dalam mobilnya tidak ditemukan bekas tembakan. Hal inilah yang kemudian menyulitkan petugas penyidik.
Hasil penyidikan polisi Markas Besar Kepolisian memerintahkan Laboratorium Kriminal Polri untuk meneliti barang bukti yang ditemukan di lokasi kejadian. Yakni berupa anak peluru, rambut, dan sidik jari yang diduga milik pelaku. Ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dr Abdul Mun’im Idries, menemukan lima peluru yang bersarang di tubuh Ditje. Tiga dari lima peluru itu masih utuh. Tiga peluru itu berasal dari pistol jenis Smith Wesson Master Piece (SNW) berkaliber 22 mm Long Rifle. Pelor-pelor itu meninggalkan luka sedalam 6 milimeter. Sedangkan dua proyektil lainnya hancur.
Kapolri Letjen Pol Drs Moch Sanoesi yang menjabat saat itu, mengatakan siapapun yang terlibat akan dihadapkan pada meja hijau. Sedangkan Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Pol Drs Poedy Sjamsoedin mengatakan, bahwa pihaknya memberi kepercayaan penuh pada Polres Jakarta Selatan untuk menangani kasus pembunuhan Ditje.
Berita sudah muncul ke permukaan, dan petunjuk sudah sangat gamblang dari banyak sisi. Namun dua bulan setelah Ditje pertama kali ditemukan tewas, penyidikan polisi belum membuat kemajuan. Bahkan ada pendapat yang mengatakan tim tersebut gagal. Serangan balik terjadi kepada media, diimbau untuk tidak memberitakan kasus ini secara berlebih.
Reserse Jakarta Selatan banyak mengandalkan keterangan saksi kawan korban, yang berasal dari kalangan peragawati, pedagang, dan keluarga. Namun, hasilnya tetap minim. Polisi juga melakukan pemeriksaan ulang di tempat kejadian sebanyak beberapa kali.
Rasa penasaran dan perasaan ikut bersimpati warga Jakarta muncul, sebab Ditje Budiarsih atau Dietje Budimulyono seorang peragawati yang cukup terkenal pada masa itu. Ditje Budiarsih digambarkan sebagai simbol kecantikan, kenikmatan, dan kekuasaan. Meski sang suami, Budi Mulyono, mengalami kelumpuhan, kehidupan materi Ditje masih sangat baik. Bahkan Ditje Budiarsih masih memiliki dua mobil dan rumah mewah.
Kelumpuhan sang suami membuat Ditje kerap menjalin hubungan dengan beberapa pria untuk memenuhi kehidupan materi dan seksualnya. Pria yang memiliki hubungan dengan Ditje juga bukan sembarangan, mereka orang-orang berduit. Bahkan dilaporkan mereka yang pernah dekat dengan Ditje seorang Kepala Staf TNI.
Namun tiba-tiba, publik Jakarta dihebohkan dengan keterangan polisi bahwa pembantu letnan satu di Kesatuan TNI, Muhammad Siradjudin alias Pak De, ditetapkan sebagai tersangka utama. Pak De ditetapkan sebagai tersangka utama setelah petugas Reserse Polda Metro Jaya dari kesimpulan bahwa Ditje dibunuh oleh kawan dekatnya.
Kapolda Metro Jaya menegaskan, pria berusia 59 tahun tersebut juga berprofesi sebagai sebagai dukun. Pak De menghabisi Ditje karena perihal uang. Konon, Pak De berjanji akan melipatgandakan uang sebesar Rp 10 juta milik Ditje. Namun, karena tidak dapat memenuhi janjinya, Pak De memilih menghabisi nyawa Ditje.
Pak De divonis penjara seumur hidup Dalam persidangan hingga divonis penjara seumur hidup. Selama dalam sidang maupun dalam menyusun BAP, Pak De selalu membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Ditje. Ketika pembunuhan terjadi, ia sedang berada di Jalan Haji Husen, Susukan, Pasar Rebo, yang jauh dari lokasi kejadian. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga dihadirkan di pengadilan. Namun saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim.
Ketidaksesuaian bukti dan rekonstruksi juga semakin mendukung dugaan bahwa penetapan Pak De sebagai pelaku sangat dipaksakan. Pak De mengaku terpaksa mau menerima cerita yang dikarang polisi agar tidak disiksa. Akhirnya majelis hakim yang diketuai Reni Retnowati menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Pak De karena dianggap bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana. Karena merasa tak bersalah, Pak De mengajukan banding sambil tetap menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.
Mohammad Siradjudin alias Pak De alias Romo di sidang kasus pembunuhan Ditje di PN Jakarta Selatan pada 1987. Foto: Perpustakaan Nasional
Vonis seumur hidup yang diterima Pak De karena membunuh Ditje akhirnya berbuah pembebasan di masa pemerintahan BJ Habibie.
Usai pembebasan, rupanya Pak De yang merasa menjadi kambing hitam memiliki sakit hati. Pak De bernyanyi saat diwawancarai Koran Tempo, 27/2/02, siapa saja pengusaha yang pernah dekat dengan Ditje. Mereka masih kerabat Cendana mulai mantu dan sepupu Suharto. Desas-desus menyebut bahwa Ditje menjadi korban amukan istri dari salah satu kekasih, yang menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisinya. Meski begitu, Pak De tidak pernah menyebut siapa perempuan yang menyuruh membunuh Ditje tersebut.
Sebenatnya upaya hukum juga pernah dilakukan Pak De selama dalam tahanan Orde Baru. namun semuanya sia-sia. Mulai mengajukan banding terhadap kasusnya. Konon pengungkapan kasus Ditje memang sengaja dipermainkan karena terkait dengan keterlibatan mantan petinggi militer dan keluarga elite penguasa. Upaya banding juga kandas setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menguatkan putusan sebelumnya.
Tak menyerah, Pak De kemudian mengajukan kasasi agar putusan dua pengadilan sebelumnya dibatalkan. Namun lagi-lagi nasib baik belum berpihak. Majelis hakim kasasi dengan ketua Adi Andojo Sutjipto pada 23 Maret 1998 menolak permohonan itu. Vonis seumur hidup yang diterima Pak De akhirnya berbuah pembebasan di masa pemerintahan BJ Habibie. (pul)