images/images-1685899894.jpg
Sejarah
Budaya
Indonesiana

Praktek Korupsi di Era Kolonial

Malika D. Ana

Jun 05, 2023

409 views

24 Comments

Save

Praktek Korupsi di Era Kolonial

 

 

Abad.id – Praktik pungli dimasa kerajaan-kerajaan Nusantara rupanya berlangsung hingga masa kolonial. Praktik pungli itu terus semakin langgeng di era kongsi dagang VOC (Verenigde Oost indische Compagnie), bahkan tidak kalah hebat dari masa-masa sebelumnya. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang merupakan serikat dagang yang dibentuk oleh Belanda untuk memonopoli perdagangan di Asia, dipelesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie yang berarti hancur karena korupsi.



VOC dikenal bangkrut akibat ulah para pejabatnya yang melakukan korupsi. Selain itu dimasa itu korupsi juga dilakukan oleh para pejabat pemerintahan Hindia-Belanda, dalam proses pengadaan kebutuhan sosial, politik, maupun militer dan penarikan pajak kepada pribumi.

 

Saat itu, VOC hanya menggaji para kepala daerah setempat sekadar sebagai uang pengikat saja. Misalnya, Gubernur Pantai Utara Jawa hanya digaji sebesar 80 gulden per bulan.

 

Gaji yang tidak cukup itu mendorong para kepala daerah tersebut melakukan praktik curang masing-masing pejabat berdagang untuk keuntungan sendiri bukan demi rakyatnya.

 

Seorang komisioner VOC, Dirk van Hogendorp, menyebutkan kebanyakan pungli yang dilakukan para pejabat VOC dilakukan dengan memberi denda kepada barang-barang milik orang-orang Cina dan Jawa dengan melampai batas.

 

Tindakan curang para pejabat VOC tidak berhenti disitu. Mereka juga memanipulasi harga dengan melakukan jual-beli jabatan, juga hak monopoli terhadap barang-barang seperti candu, garam, dan hasil alam lainnya. Mereka juga memperoleh keuntungan dari penjualan opium, hadiah-hadiah, dan lainnya.

 

Laporan arsip di masa kolonial mengenai korupsi di dalam perusahaan milik negara dalam sektor perkebunan di Jawa dan Kalimantan. Pencurian kekayaan perusahan milik pemerintah kolonial itu dilakukan oleh pegawai di semua level.

 

Laporan arsip pemerintah kolonial menyebutkan kuli pribumi sering membongkar tanah di lahan milik perusahaan yang baru dipupuk. Mereka mengeruk tanah itu dan membawanya pulang untuk penyubur lahan kebun atau sawah milik pribadi. Adapun kuli panen meletakkan hasil panenan di bawah guyuran hujan agar memperberat timbangan sehingga upah atas pekerjaannya bertambah.

 

Pegawai level mandor kerap mempekerjakan kuli hantu. Mereka memasukkan banyak nama kuli ke dalam laporan pengeluaran gaji meskipun faktanya tidak ada. Sedang pengawas mandor terbiasa menggelembungkan nilai belanja perusahaan.

 

Di level manajer, nilai pencurian kekayaan perusahaan lebih besar. Manajer memperbesar dana belanja yang sudah digelembungkan  pengawas. Pemasukannya juga bertambah dari suap yang dikutip dari banyak rekanan perusahaan. Kabeh nyolong(semua mencuri)….kondisi yang mirip dengan situasi jaman sekarang. Betapa praktif korupsi sangat massive dan terstruktur di segala lini, dari atas hingga bawah.

 

Pada tahun 1884 perusahaan itu membeli 1000 meter kubik kotoran kerbau untuk bahan pupuk dengan harga 30 sen per meter kubik. Tapi, proyek ini dihentikan karena harga pupuk kemahalan dan berkualitas buruk. Disebut buruk sebab, mandor berkongsi dengan peternak mecampurkan rumput dan sampah dedaunan di kotoran kerbau.

 

Korupsi menjamur di segala lini karena perlawanan pegawai rendahan terhadap anarki kekuasaan oleh pimpinan perusahaan. Ketika semua orang korupsi, indikasinya pimpinan melonggarkan sistem dan bawahan mendiamkan korupsi atasan.

 

Pada tahun 1800-an itu, gaji manajer perusahaan yang merupakan warga Belanda, mencapai 400 gulden per-bulan. Untuk tunjangan pindahan rumah bagi seorang manajer 1000 gulden. Padahal, harga satu ekor kerbau saat itu ialah 10 gulden.

 

Gaji mandor, yang umumnya warga pribumi, hanya 20 gulden per bulan. Upah kuli lebih rendah lagi, yakni 1 gulden 4 sen setiap bulan, atau setara harga empat meter kubik kotoran kerbau. Banyak mandor punya rumah mewah meski bergaji rendah, tapi semua orang mendiamkan.

 

Bisa disimpulkan bahwa lembaga produksi kemakmuran milik publik mudah menjadi sarang korupsi ketika ada sistem hak istimewa yang menciptakan jurang perbedaan antara lapisan atas dan bawah. Jawaban untuk masalah korupsi ialah, jangan pelihara sistem pemberian hak-hak istimewa.

 

Praktik korupsi itulah yang pada akhirnya menghancurkan organisasi dagang paling disegani pada masanya tersebut. Sebab, yang kaya adalah para pejabatnya, sedangkan organisasi dagang itu tidak memiliki apa-apa.

Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, Miftakhuddin dalam bukunya, “Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni” mengungkapkan saat organisasi VOC diserahkan kepada Kerajaan Belanda 1 Januari 1800, mewarisi utang 134,7 juta gulden.


Para pejabat VOC yang melakukan korupsi saat itu tidak bisa tenang-tenang saja sebab banyak yang langsung diasingkan bahkan ada yang dihukum mati dengan cara digantung di lapangan agar bisa ditonton masyarakat luas sehingga memberi efek jera.
Saat ini, meski ada klausul hukuman mati di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun belum ada satu pun pelaku tindak pidana korupsi yang mengalami dihukum mati, kebanyakan justru diberikan remisi dan dibebaskan tanpa harus mengganti rugi negara sejumlah yang dikorupsi.***

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022