images/images-1678691374.png
Sejarah
Indonesiana

Geger Cilegon, Kanidin, Nyai Kamsidah, dan Jako Dikorbankan

Pulung Ciptoaji

Mar 13, 2023

689 views

24 Comments

Save

H  Wasid (tengah) pejuang yang dihukum gantung pemerintah Hindia Belanda. Foto dok net

 

 

abad.id- Sebenarnya gerakan buruh dan petani dengan tuntutan keadilan sudah bergema sejak jaman kolonial. Bahkan jaman pemerintah Hindia Belanda sudah ada gerakan buruh dan petani hingga memuncak dengan aksi pemogokan.

 

Dalam tulisannya, Perburuhan dari Masa ke Masa: Jaman Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru, Edi Cahyono,  pada masa abad ke-19 dianggap paling revolusioner dan penuh perubahan dalam sejarah kepulauan yang saat ini dikenal sebagai Indonesia. Di awal abad itu konsep negara kolonial Hindia Belanda  disiapkan oleh Herman Willem Daendels (1808-1811).

 

Herman Willem Daendels seorang pengagum revolusi Perancis mempertegas pengelolaan wilayah kolonial yang sebelumnya hanya merupakan mitra perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menjadi tanah jajahan secara ekonomi dan politik.

 

 

Di abad itu pula struktur masyarakat kapitalistik terbentuk. Lembaga keuangan Nederlansche Handels-Maaatschapij (NHM) dan Javasche Bank didirikan. Tampil pengusaha-pengusaha Eropa untuk industri-perkebunan. Untuk mengelola industri perkebunan, membutuhkan kaum bumiputera menjadi buruh.

 

 

Peristiwa yang melibatkan buruh dan petani dimulai pada Mei 1842, saat terjadi rotasi penanaman lahan tebu di kabupaten Batang Karesidenan Pekalongan di desa-desa Kaliepoetjang Koelon, Karanganjar dan Wates Ageng akan diadakan perluasan penanaman tebu. Residen meminta tanah-tanah baru yang berkondisi baik dipakai untuk menanam tebu dalam jangka dua tahun. Instruksi gubernemen ini disampaikan langsung oleh bupati Batang kepada para kepala desa. Pada 22 Oktober, kontrolir Batang melaporkan, sejumlah 46 desa yang penduduknya melakukan cultuurdienst tebu untuk masa tanam tahun yang lalu belum dilunasi upahnya hingga masa kerja musim panen tahun berikutnya.

 

 

Keadaan menggenting, planter atau penanam tebu yang terlibat kerja onderneming tersebut tidak mau melunasi pajak natura yang dibebankan, melainkan justru berbalik melakukan tuntutan untuk kenaikan upah dari 14,22 gulden menjadi 25 gulden. Protes planter ini terjadi pada 24 Oktober 1842, dan diikuti 600 planter dari 51 desa.

 

 

Di Yogyakarta tahun 1882 terjadi pemogokan buruh dan petani berlangsung sejak awal minggu terakhir bulan Juli 1882 sampai tanggal 4 Agustus 1882 di empat pabrik gula (PG). Gelombang kedua berlangsung dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 22 Agustus 1882, melanda 5 pabrik dan perkebunan. Gelombang ketiga berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai pertengahan Oktober 1882, melanda 21 perkebunan. Lokasi pemogokan adalah Kabupaten Kalasan (pabrik gula Barongan), Kabupaten Sleman (PG. Padokan, PG. Cebongan, PG. Bantul). Isu pemogokan masalah upah, kerja gugur-gunung yang terlalu berat, kerja jaga (wachtdiensten) yang dilakukan 1 hari untuk setiap 7 hari dan kerja moorgan yang tetap dilaksanakan padahal tidak lazim lagi. Serta  upah tanam (plaantloon) yang sering tidak dibayar, banyak pekerjaan tidak dibayar padahal itu bukan kerja wajib,  harga bambu petani yang dibayarkan oleh pabrik terlalu murah bila dibandingkan harga pasar,  serta beberapa pengawas Belanda sering memukul petani.

 

 

Pemberontakan petani Banten terhadap pemerintah kolonial Belanda terjadi dalam beberapa tahap, yaitu pada 1850, 1888, dan 1926. Perlawanan paling yang paling besar adalah pemberontakan petani Banten pada 9 Juli 1888, atau disebut dengan Geger Cilegon 1888.

 

Lantas, apa penyebab Geger Cilegon dan dimana peristiwa ini terjadi? Latar belakang Geger Cilegon 1888 Antara 1882 dan 1884, rakyat Serang dan Anyer telah ditimpa dua malapetaka, yaitu kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Hal itu disebabkan oleh musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan tanaman tidak tumbuh dan munculnya wabah pes.

 

Penetrasi Tertinggi di Banten Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kolonial menginstruksikan untuk membunuh semua ternak, termasuk binatang yang tidak terkena penyakit. Akibatnya, muncul kebencian rakyat terhadap pemerintah Belanda yang dianggap telah melakukan kekejian dan kesewenang-wenangan. Sebab, bagi petani binatang ternak juga dianggap sebagai teman yang membantu pekerjaan mereka di sawah.

 

Karena jumlahnya sangat banyak, tidak semua ternak dapat dikubur, sehingga bangkainya ditemukan dimana-mana dan mengundang penyakit baru bagi rakyat. Sebanyak 120.000 orang lebih tercatat telah terkena penyakit dan 40.000 di antaranya meninggal dunia.

 

Rakyat pun semakin sengsara saat Gunung Krakatau meletus pada 1883 dan menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter. Gelombang yang menghancurkan Anyer, Merak, dan Caringin tersebut merenggut kurang lebih 22.000 jiwa. Musibah yang datang bertubi-tubi masih diperburuk oleh pemerintah kolonial yang melaksanakan sistem perpajakan yang baru. Berbagai pajak dikenakan kepada penduduk, yaitu pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar kemampuan penduduk. Di tambah lagi, kecurangan pegawai pemungut pajak membuat rakyat semakin resah dan membeci penjajah. Akibat penderitaan tersebut, rakyat yang percaya takhayul mulai memberi sesajen di pohon kepuh besar yang dikeramatkan supaya permohonan mereka untuk memusnahkan segala macam bencana dapat terkabul.

 

Seorang ulama bernama Haji Wasid yang tidak ingin membiarkan kemusyrikan kemudian menebang pohon tersebut. Akibatnya, Haji Wasid dibawa ke pengadilan kolonial pada 18 November 1887 dan didenda karena melanggar hak orang lain. Murid dan pengikut Haji Wasid semakin tersinggung saat mengetahui menara musala di Jombang Tengah dirubuhkan atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan mengganggu ketenagan masyarakat. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik, dan budaya inilah yang menyulut api perlawanan Geger Cilegon 1888.

 

Persiapan Geger Cilegon 1888 Sejak bulan Februari hingga April 1888, para ulama dari Serang, Banten, dan Tangerang mulai mengadakan pertemuan. Mereka adalah Haji Marjuki, Haji Asnagari, Haji Iskak, Haji Wasid, dan Haji Ismail. Pertemuan tersebut membahas mengenai ketersediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerak pengikut, serta pelatihan. Pada 7 Juli 1888, diadakan pertemuan para kiai untuk persiapan terakhir pemberontakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Para kiai yang hadir adalah Haji Sa'is, Haji Sapiuddin, Haji Madani, Haji Halim, Haji Mahmud, Haji Iskak, Haji Muhammad Arsad, dan Haji Tubagus Kusen.

 

Agar Belanda tidak curiga, pertemuan tersebut dilaksanakan pada suatu kenduri besar. Kemudian setelah lewat tengah malam, para kiai tersebut menghadiri pertemuan kedua di rumah Haji Iskak dan bertemu dengan Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail. Mereka memastikan bahwa pemberontakan akan dimulai pada 9 Juli 1888. Keesokan harinya, Haji Wasid dan Haji Ismail menemui murid-muridnya, sementara utusan-utusan yang lain dikirim ke berbagai daerah untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer.

 

Kanidin, Nyai Kamsidah, dan Jako, tiga warga Cilegon yang divonis mati setelah Geger Cilegon, 1888. Kanidin divonis atas pembunuhan terhadap Ulrich Bachet (Kepala Dinas Penjualan Garam), Henri Francois Dumas (juru tulis di kantor Asisten Residen), dan Wadana Cilegon. Sedanhkan Nyai Kamsidah divonis atas pembunuhan terhadap istri dari Johan Hendrik Hubert Gubbels (Asisten Residen). Jako Misal divonis atas pembunuhan terhadap Wadana Cilegon. Sumber : Herrmann & Co. (Batavia) / Universiteit Leiden

 

Jalannya pemberontakan Geger Cilegon 1888 Pada 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan dari Jombang Wetan ke rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Mereka mengenakan pakaian putih dan membawa pedang serta tombak. Pada malam harinya, mereka dipimpin oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail menuju Saneja, yang dijadikan sebagai pusat penyerangan. Senin malam, 9 Juli 1888, serangan umum terhadap para pejabat pemerintah kolonial di Cilegon dimulai. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman memimpin serangan dari arah selatan, sementara Haji Wasid, Haji Usman, Haji Abdul Gani, dan Haji Nuriman menyerang dari utara.

 

Pasukan dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan tugas masing-masing. Ada yang menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan, ada yang menyerbu kepatihan, dan ada yang menyerang rumah asisten residen. Dalam keadaan yang sangat kacau tersebut, beberapa orang yang tidak disenangi rakyat berhasil ditumpas. Mereka adalah Henri Francois Dumas (juru tulis asisten residen), Raden Purwadiningrat (ajun kolektor), Johan Hendrik Hubert Gubbels (asisten residen Anyer), Mas Kramadireja (sipir penjaga Cilegon), dan Ulri Bachet (kepala penjualan garam). Kekacauan ini tidak dapat diatasi oleh Belanda dan Cilegon dapat dikuasai oleh para pemberontak. Namun, seorang pembantu rumah tangga Gubbels berhasil melarikan diri ke Serang dan melaporkan kejadian itu.

 

Menanggapi hal itu, Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon bersama 40 serdadu untuk memadamkan pemberontakan. Pada akhirnya, Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan 94 pemimpin perlawanan lainnya diasingkan.

 

Jika dilihat dari jumlah warga desa yang terlibat aksi ini, tentu dianggap sangat besar. Namun karena belum ada organisasi modern berupa serikat buruh dan petani atau partai maka, seringkali aktivitas politik buruh dan petani berhenti di tengah jalan.

 

 

Pada abad ke-19 banyak kejadian yang diangkat berawal dari persoalan protes petani. Hal lain yang membuat situasi sangat parah, petani di jaman Hindia Belanda tidak dapat dikategorikan sebagai farmer (tuan tanah kapitalis). Mereka lebih merupakan peasant (petani gurem/miskin) dan sebagian buruh dari kegiatan sektor pertaian yang tidak memiliki lahan. Kaum tani gurem ini untuk hidupnya sudah susah dan harus bekerja pada industri perkebunan yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

Begini Respon TACB Perihal Reklame di Lokasi Cagar Budaya

Author Abad

Feb 26, 2023

A.H. Thony: "Dulu jadi panutan pembongkaran, kini kok mau dipasangi reklame lagi. Mesakne Mas Wali"

Malika D. Ana

Feb 24, 2023

Duar..!  Pesawat PANAM Tabrak Gunung, 107 Penumpang tewas

Pulung Ciptoaji

Jan 17, 2023