images/images-1682661108.jpg
Tokoh

Misteri Hilangnya Supriyadi

Pulung Ciptoaji

Apr 28, 2023

573 views

24 Comments

Save

Aksi para pemuda PETA ini penuh dengan semangat dan kepahlawanan, dan benar benar menguasai kota Blitar. Foto dok net

 

abad.id- Hingga hari ini, keberadaan Supriyadi masih misterius dan belum terpecahkan. Muncul bermacam kesaksian dan teori mengenai nasib dan keberadaan Supriyadi. Ada yang berdasarkan akal dan berdasarkan mistis.

 

Ada yang mengatakan bahwa Supriyadi tertangkap oleh Jepang. Supriyadi mendapat siksaan sangat berat, hingga akhirnya tewas. Akan tetapi, dalam persidangan pada masa Pendudukan Jepang, nama Supriyadi tidak pernah disebut. Nama Supriyadi tidak pernah disebut-sebut di dalam sidang-sidang pengadilan. Ada juga sumber yang menyatakan bahwa ia pernah dipidanakan in absentia

 

Setelah melakukan pemberontakan pada tanggal 14 Februari 1945, Supriyadi datang ke rumah Harjomiarso Kepala Desa Sumberagung. Pada saat itu para tentara PETA yang tertangkap telah diangkut ke Blitar. Sedangkan, tentara yang belum tertangkap diperintahkan untuk menyerah dan akan dikirim ke kantor sanco (Camat).

"Apakah Supriyadi juga akan menyerah?," tanya Harjomiarso.

"Tidak! Daripada menyerah lebih baik saya dibunuh oleh bangsa sendiri, saya rela dibunuh oleh Pak Lurah Sendiri," tegas Supriadi menjawab.

 

supriyadi

 

Banyak yang yakin Supriyadi masih hidup

 

Ketika pembicaraan antara Harjomiarso dan Supriyadi belum selesai, datang sebuah mobil yang berisi beberapa orang anggota Kempeitai (Polisi Militer) Jepang. Harjomiarso memerintahkan Suyitno yang merupakan Ketua Rukun Tetangga untuk menyembunyikan Supriyadi di salah satu rumah penduduk desa Sumberagung.

 

Pada tanggal 18 Februari 1945, Supriyadi berpamitan kepada Harjomiarso yang telah membantunya. Supriyadi meminta Harjomiarso agar menyembunyikan kemana sebenarnya dirinya akan pergi.

 

"Kemudian Shodanco Supriyadi minta agar diberitahukan kepada masyarakat luas bahwa Shodanco Supriyadi akan pergi ke Gunung Kelud dan terjun ke dalam kawah gunung itu," seperti dikutip dalam buku Pahlawan Nasional Supriyadi karya Ratnawati Anhar.

 

Sebenarnya Supriyadi menuju ke arah Barat, tepatnya ke Trenggalek. Harjomiarso menyarankan Supriyadi agar menyamar sebagai orang desa, sehingga tidak terlihat seperti seorang bekas anggota PETA. Pada tanggal 21 Februari 1945, Supriyadi meninggalkan desa Sumberagung menuju ke arah barat dan menurut rencana akan pergi ke Trenggalek.

 

Sekitar Februari 1945, Ronomejo yang merupakan seorang kamituwo desa Ngliman mengatakan bahwa dirinya melihat Supriyadi. Saat itu Ronomejo sedang memimpin rombongan romusha di Gunung Gemarakandang. Seorang pemuda bernama Supriyadi datang menghampirinya dengan memakai baju putih dan membawa sebuah keris pusaka.

 

Menurut Ronomejo, pemuda tersebut berniat bersembunyi karena sedang diburu Tentara Jepang. Melihat keinginan pemuda bernama Supriyadi, Ronomejo mengantarkannya ke gua di dekat air terjun Sedudo.

 

Darmadi sag ayah mendengar kabar bahwa Supriyadi anaknya bersembunyi di dalam gua. Dia segera mencarinya. Dengan diantar Ronomejo. Namun Darmadi tidak menemukan Supriyadi di dalam gua.

 

Cerita Masa Kecil Penuh Mistis

 

Supriyadi memiliki nama kecil Priyambodo. Sejak kecil dia terbiasa mendengar cerita kepahlawanan para wayang dan sikap hidup kesatria dari kakek tirinya. Kisah-kisah itu membekas pada jiwa dan kepribadian Supriyadi. Pemuda asal Trenggalek lahir 13 April 1923  ini, ikut kesatuan semi militer Jepang Barisan Pemuda atau Seinendan di Tangerang. Berikutnya, Supriyadi pun terpilih mengikuti PETA yang dibentuk Jepang pada 3 Oktober 1943.

 

Supriyadi pernah menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Belanda, ELS (Europese Lagere School) dan melanjutkannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Sebelum bergabung denan PETA, priyayi Jawa ini sempat  melanjutkan pendidikan ke sekolah pamong praja, OSVIA (Opleiding School Voor Indlandse Ambtenaren) di Magelang.

 

Setelah memperoleh pendidikan militer di PETA, Supriyadi diangkat sebagai Dai Ichi Shodan atau Peleton 1 wilayah Blitar. Tugasnya selama di Blitar mengawasi pekerjaan romusha. Namun, pekerjaan itu ditolaknya dengan alasan terlalu kejam untuk memperbudak bangsanya sendiri.

 

Dalam buku Sukarno biografi 1901-1950, Lambert Giebels menyebutkan supriadi sangat percaya diri mampu melakukan perlawanan. Ia menimba kekuatan dari hubungan mistiknya dengan Pangeran Diponegoro. Atas keyakinan ini, banyak anggota PETA lain yakin dan ikut dengan aksi Supriyadi

 

Sebulan sebelum aksi pemberontakan, terdapat 16 anggota PETA aktif mulai melakukan rapat di sebuah tempat yang tertutup. Para tokoh pemuda itu Supriyadi, Halir, Ismangil dan beberapa tokoh kelompok rakyat. Mereka memutuskan aksi pemberontakan tanggal 14 Pebruari 1945 pukul 04.00 sebelum apel pagi. Dalam keyakinannya, para tokoh pemuda ini akan menyerbu markas dan asrama batalyon PETA di Blitar.

 

Namun rupanya para pemuda ini lupa strategi dan tujuan aksi pemberontakan itu. Bisa jadi aksi serangan pagi hari ini hanya bentuk ketidak puasan atas tentara Jepang, atau ada masalah dendam pribadi. Strategi penyerangan juga belum matang. Mereka tidak mengukur bagaimana menguasai senjata, bagaimana cara melakukan langkah gerilya jika aksi mereka gagal.

 

Seperti yang sudah disepakati, pagi itu menjelang subuh sudah muncul rentetan senjata menyerang markas batalyon PETA. Banyak pasukan Jepang yang sedang tidur langsung disergap dan dibunuh. Para pemberontak juga merampas senjata, mobil pengangkut barang dan kas tentara sebesar 10 ribu gulden. Menjelang fajar, masa pemberontak bergerak menuju penjara kota Blitar yang berada dekat alun-alun. Disana mereka membebaskan 250 tahanan kriminal dan segera bergabung dengan pasukan.

 

Dalam catatan sejarah aksi para pemuda PETA ini penuh dengan semangat dan kepahlawanan, dan benar benar menguasai kota Blitar. Menang dalam satu gebrakan. Pukul 10 pagi sudah banyak mayat tentara Jepang bergelimpangan di markas dan di jalan. Belum puas, massa bergerak semakin bengis dengan melakukan penjarahan toko-toko yang dihuni etnis China. Bahkan Lambert Giebels berani menyebut pasukan liar semakin bengis dengan melakukan aksi pemerkosaan wanita Indo Belanda. Situasi kota Blitar benar-benar tidak bisa dikendalikan. Namun sekali lagi massa ini tidak memperhitungkan strategi pertahanan jika ada aksi balasan dari tentara Jepang. Supriyadi yang menjadi tokoh utama gerakan masih terlalu muda dan emosional tidak bisa mengendalikan massa yang terlanjur euforia.

 

Rupanya Jepang langsung kalap begitu mendengar kabar kota Blitar dilumpuhkan dan banyak tentaranya dibunuh. Serangan para pemberontak PETA ini dibalas Jepang dengan skala lebih besar. Batalyon dari Malang dan Kediri didatangkan untuk mengepung Blitar. Akibatnya situasi tak seimbang. Para pemberontak yang kurang berpengalaman tempur kocar kacir menyelamatkan diri masuk ke hutan dan Gunung Kelud. Sementara para pemimpin berhasil ditangkap dan diajukan ke pengadilan militer Jepang di Jakarta. Di berbagai buku sejarah menyebutkan, Supriyadi tidak ikut diadili dan diduga sudah lebih dahulu dihabisi Jepang.

 

Aksi pemberontakan PETA ini juga dipantau para pemimpin nasional, dan mereka mengambil sikap berbeda-beda. Ada pihak yang menuding Supriadi terlalu gegabah dan terburu-buru. Bahkan ada kelompok nasionalis lain yang menyalahkan cara Supriyadi, sebab dianggap menggangu rencana dan strategi awal untuk menjadi negara merdeka sesuai janji Koiso.

 

Namun ada kelompok lain menganggap justru dengan pemberontakan PETA ini membukikan kekuatan rakyat bisa mengalahkan tentara Jepang. Berkat aksi pemberontakaan ini posisi Jepang yang sebelumnya sudah banyak kalah perang di beberapa wilayah perang pasifik semakit terdesak. Aksi pemberotakan PETA juga membangkitkan rasa patriotik rakyat yang tinggal di batalyon wilayah lain, dan sudah menyiapkan diri akan melakukan langkah sama jika diperlukan.

 

Sementara itu bagi Sukarno, serangan PETA ini membuat posisinya yang sebelumnya sangat aman menjadi dilematis. Sebab aksi pemberontakan itu berada di Kota Blitar tempat tinggalnya. Sukarno kawatir muncul kesan seakan-akan aksi pemberontakan itu dibawah kendalinya. Sukarno harus mencari cara agar keluarga di Blitar aman dari incaran Jepang.

 

Untuk menghilangkan keraguan tentara Jepang terhadap Sukarno,  segera menawakan diri untuk bertindak sebagai salah satu juri pribumi yang diperbantukan kepada pengadilan militer di Jakarta. Mereka yang tertangkap ini para pemimpin mulai Halir dan dr ismail. Namun upaya Sukarno ini ditolak Jepang karena akan berdampak negatif dengan namanya. Dalam sidang militer Jepang itu, para pimpinan pemberonak mendapatkan vonis hukuman mati dengan cara dipancung sesuai tradisi samurai. (pul)

 

 

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Pertukaran Budaya Indonesia Jepang Dalam Subtrack

Pulung Ciptoaji

Mar 02, 2023