abad.id- Ratu Kulon adalah istri pertama Sultan Agung, dan putra-nya, Raden Mas Syahwawrat, artinya putra pertama. Sehingga, Raden Mas Syahwawrat mestinya yang menjadi putra mahkota yang sebenarnya. Akan tetapi, Ratu Wetan berhasil melengserkan posisi Ratu Kulon. Dengan berhasilnya menyingkirkan Ratu Kulon, maka anak dari Ratu Wetan yang kemudian menjadi ratu utama. Adapun Raden Mas Sayidin kemudian menggantikan putra mahkota yang seharusnya (Raden Mas Syahwawrat) dengan disetujui oleh Sultan Agung.
Ketika Sultan Agung wafat, sempat terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putra mahkota tersebut. Pihak yang memenangkan perebutan kekuasaan Amangkurat I atau Raden Mas Sayidin, sehingga ia duduk di tahta Kerajaan Mataram Islam. selama menjadi raja Mataram, Amangkurat I memiliki anak raden Mas Rahmat atau Amangkurat II yang sudah disiapkan menjadi raja.
Namun sosok putra Sultan Agung ini kerap kali memicu konflik dan memimpin dengan kontroversial, sehingga banyak musuhnya. Bahkan Sultan Amangkurat I pernah berselisih dengan putranya sendiri Raden Mas Rahmat. Perselisihan ini tergolong cukup aneh. Apalagi status Raden Mas Rahmat yang merupakan putra mahkota kerajaan, perselisihan antara ayah dan anak dilatarbelakangi adanya berita bahwa jabatan Adipati Anom/putra mahkota akan dialihkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya). Kejadian pada tahun 1661, membuat Raden Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta terhadap ayahnya. Namun aksi Kudeta gagal.
Perselisihan antara putra dan ayah ini tidak berhenti sampai di situ. Untuk membalas dendam atas perbuatan putra mahkotanya itu, Amangkurat I melakukan serangan terhadap Amangkurat II. Serangan itu dilakukan secara diam-diam, yakni dengan meletakkan racun di dalam makanan. Akan tetapi, serangan yang terjadi pada tahun 1663 ini gagal setelah Amangkurat II lolos dari racun ayahnya itu.
Kemudian, perselisihan masih terus berlanjut hingga mencapai puncak pada tahun 1668. Dalam buku Sejarah Mataram tulisan Soedjipto Abimanyu mengatakan, pada tahun tersebut, Amangkurat II merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi. Namun, Amangkurat II akhirnya diampuni setelah terlebih dahulu diperintahkan untuk membunuh Rara Oyi dengan tangannya. Bila tidak, maka Amangkurat II akan dihukum. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lagi bagi Amangkurat II, kecuali membunuh Rara Oyi yang tidak berdosa itu, sehingga dirinya dimaafkan oleh sang ayah.
Kontroversi lain juga muncul ketika Amangkurat I, memutuskan berkhianat dengan amanah Sultan Agung dengan memberikan karpet merah berkerjasama dengan VOC pada tahun 1646. Beberapa poin kerjasama yang disepakati Mataram antar lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan.
Stabilitas pemerintahan di Kerajaan Mataram juga kian parah ketika sang raja kerap kali melakukan kekerasan dan bermain siasat jelek. Hal ini diikuti dengan para bupati, mantri, dan keluarga istana yang bertindak semaunya dengan menyalahgunakan kedudukan. Alhasil ketertiban bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Konon di saat itulah, Kerajaan Mataram kerap kali dilanda gerhana bulan dan matahari. Bahkan hujan turun menyalahi musim dan bintang berekor terlihat setiap malam hingga terjadi pula hujan abu dan gempa bumi.
Sultan Agung berhasil membawa Mataram kepada puncak kejayaannya lantaran mampu menerapkan doktrin keagungbinataraan secara sempurna. Namun, Amangkurat I tidak bisa melakukan hal yang sama. Mengapa? Sebab, sifat atau budi pekerti Amangkurat I jauh bertolak belakang dari sifat sang ayah. Bila sang ayah bersifat tegas, keras, pemaaf, dan memperhatikan kesejahteraan rakyat,maka Amangkurat I bersifat sebaliknya.
Amangkurat I adalah sultan yang terkenal kejam dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Kekejaman Amangkurat I di kebijakan politik dan tindakannya. Salah satu contohnya, dia mengeluarkan perintah untuk membunuh seluruh pengawal adiknya, Pangeran Alit, dan keluarganya. Peristiwa itu terjadi hanya karena muncul kabar burung, bahwa Pangeran Alit akan melakukan kudeta.
Puas membunuh semua pengawal dan keluarga, Amangkurat I kemudian meme-rintahkan agar Pangeran Alit juga dibunuh. Ketika mayat sang adik tergeletak di alun-alun, Amangkurat berusaha tampak berduka sambil merancang kekejaman lain.
Politik Amangkurat I berusaha menggeser peran para ulama. Peran ulama menjadi tergeser sejak Mataram dikuasai oleh Amangkurat I. Amangkurat I menganggap ulama sebagai saingannya dalam merebut simpati rakyat. Oleh karena itu, timbullah keretakan hubungan di antara keduanya. Puncaknya, para ulama dan keluarganya yang berjumlah sebanyak 6.000 orang dibunuh di alun-alun Pleret. Adapun orang yang diperintahkan untuk melakukannya Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa (Kiai Suta), Tumenggung Suranata, dan Kiai Ngabei Wiraprata. Tidak hanya itu, Amangkurat I juga menghabisi kekuasaan Giri sebagai simbol kekuasaan agama di wilayah Mataram.
Dalam hal penggunaan gelar misalnya, Amangkurat I sudah tidak lagi menggunakan gelar sultan sebagaimana digunakan oleh ayahnya Sultan Agung, tetapi kembali pada gelar susuhunan. Sejak peristiwa itu, penulis Soedjipto Abimanyu meyakini kesultanan di Mataram telah selesai. (pul)