Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan Net Zero Emission pada tahun 2050 untuk ketenagalistrikan dan 2060 untuk energi lainnya. Net Zero Emission adalah kondisi di mana jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan seimbang dengan yang diserap oleh bumi. Saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang ditenagai oleh batu bara menjadi salah satu penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia. Di samping itu, jumlah PLTU di jaringan Jawa-Bali saat ini juga berlebih. Jika seluruh PLTU tersebut terus beroperasi sampai masa operasionalnya selesai, dikhawatirkan jumlah emisi GRK Indonesia akan melewati batas yang diinginkan. Oleh karena itu, pemerintah berencana akan menutup lebih awal (penutupan dini) beberapa PLTU.
Program penutupan dini PLTU ini menjadi penting karena, pertama, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia secara umum berlebihan (overcapacity). Kedua, Kualitas udara di kota-kota besar menurun yang berkaitan degan beroperasinya PLTU-PLTU raksasa di pulau Jawa dan kawasan pusat penghasil batu bara. Ketiga, PLTU yang ada di Indonesia masih tergolong baru sehingga masa operasionalnya masih panjang. Tiga alasan tersebut menjadi alasan kuat Indonesia untuk menutup lebih awal beberapa PLTU.
Masalahnya adalah penutupan dini PLTU berbiaya mahal. Mengapa mahal? Karena biaya tersebut bukan hanya sekedar mengganti biaya investasi, atau membeli instalasi pembangkit listrik yang sudah tidak digunakan, namun juga mengganti potensi keuntungan komersial PLTU kepada pemiliknya. Hal ini menjadi sebuah dilema yang dihadapi, di satu sisi penutupan dini PLTU sangat perlu dilaksanakan karena dampak negatif yang ditimbulkan baik masalah kesehatan, lingkungan, maupun ekonomi. Di sisi lain penutupan PLTU ini tidak memberikan keuntungan finansial, sebaliknya harus ada pihak yang membayar ganti untung kepada pemilik PLTU.
Transisi Bersih dalam hasil risetnya yang berjudul “Standar Keekonomian dan Keadilan untuk Penutupan Dini PLTU” membuat sebuah standar agar biaya penutupan dini PLTU terdistribusi secara adil. Standar ini bertujuan untuk memaksimalkan manfaat penutupan dini PLTU, meminimalkan biaya, dan mengoptimalkan distribusi biaya penutupan sehingga tersebar secara proporsional dan adil kepada semua pihak.
Penting untuk memastikan bahwa biaya penutupan PLTU dibagi secara proporsional di antara semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, keadilan dalam distribusi beban finansial dapat tercapai. Distribusi beban tersebut haruslah mempertimbangkan kontribusi emisi masing-masing pihak. Pihak yang paling banyak mengeluarkan emisi menanggung biaya paling banyak.
Negara industri harus membantu negara berkembang dan negara miskin karena mereka telah mengeluarkan emisi lebih banyak. Bantuan ini penting untuk membantu negara-negara berkembang dan miskin mengatasi tantangan teknis dan ekonomi dalam menggantikan PLTU yang kotor dengan teknologi energi bersih yang lebih ramah lingkungan.
Perusahaan yang mengeluarkan emisi juga harus menanggung beban paling banyak. Semakin besar emisi yang dihasilkan, beban biaya juga harus semakin besar. Dengan mengambil peran aktif dalam mendukung penutupan dini PLTU, perusahaan-perusahaan ini tidak hanya berkontribusi pada pengurangan jejak karbon mereka sendiri, tetapi juga memainkan peran penting dalam mendorong transisi menuju energi bersih. Selain itu masyarakat berpendapatan tinggi juga harus menanggung beban lebih banyak karena mereka umumnya mengonsumsi energi dan emisi karbon yang lebih banyak.
Agar memenuhi prinsip-prinsip di atas, maka pembiayaan yang paling ideal untuk penutupan dini PLTU adalah hibah dan sejenisnya yang berasal dari pihak yang paling banyak mengeluarkan emisi. Idealnya hibah berasal dari negara industri (kaya) kepada negara berkembang dan negara miskin, atau dari entitas ekonomi lainnya yang mengeluarkan emisi paling banyak seperti perusahaan migas, batu bara, manufaktur, serta perusahaan yang menggunakan energi masif lainnya.
Negara industri, selain melakukan transisi energi di negaranya sendiri, mereka juga perlu membantu negara-negara berkembang lainnya untuk mencapai bebas emisi. Alasan terkuat adalah faktor keadilan. Karena untuk mencapai kemakmuran saat ini, negara-negara industri telah mengeluarkan emisi kumulatif yang sangat besar, sehingga tidak memungkinkan negara-negara berkembang untuk mencapai kesejahteraan dengan cara yang sama. Negara-negara industri telah menghabiskan “jatah emisi global”, sehingga tidak tersedia ruang lagi bagi negara berkembang untuk mengeluarkan emisi yang sama untuk mencapai kesejahteraan seperti negara-negara industri. Sebagai kompensasinya, maka negara industri harus membantu negara berkembang dalam transisi energi.
Alternatif kedua skema pendanaan lainnya adalah pinjaman non-komersial. Pinjaman jenis ini idealnya tidak berbunga. Pinjaman bisa berasal dari lembaga-lembaga non komersial seperti bank dunia, bank pembangunan, pemerintah negara lainnya, dan lembaga non komersial lainnya, atau bisa juga dari lembaga komersial atau perorangan yang memberikan pendanaan non komersial. Selanjutnya pinjaman ini akan dibayar oleh publik (pemerintah).
Alternatif ketiga, pembiayaan dengan dana publik (pemerintah) dan pinjaman komersial. Ketiga sumber pendanaan ini bersifat prioritas dari alternatif pertama, kedua, dan ketiga. Alternatif kedua dan ketiga hanya akan digunakan ketika alternatif di atasnya tidak tersedia atau tidak mencukupi.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa saat ini, sebagian besar pembiayaan untuk penutupan dini PLTU akan menjadi beban pemerintah atau publik. Minimnya hibah dan kesediaan pihak ketiga untuk membayar biaya penutupan membuat pemerintah tidak punya banyak pilihan.
Riset Transisi Bersih juga menemukan fakta lain di lain di lapangan yang dapat menghambat program bebas emisi. Saat membuat rencana penutupan dini PLTU, pemerintah masih memberikan izin pembangunan PLTU captive baru (PLTU yang digunakan dalam industri) dengan alasan mendorong investasi industri. Pembangunan PLTU baru di sektor industri (hilirisasi) ini “tidak koheren” dengan rencana bebas emisi, terutama penutupan dini PLTU. Pembangunan PLTU baru akan membuat penutupan dini PLTU sia-sia. Semua efek pengurangan emisi pada penutupan dini PLTU akan hilang ketika dibangun PLTU baru yang kapasitasnya sama. Ini seperti kita menguras air dalam kolam sementara kita mengisi kolam dengan air yang baru pada saat yang bersamaan. Ini adalah pekerjaan yang sia-sia.
Pemerintah dan semua pihak perlu menggali pendanaan yang paling ideal, terutama dari pihak yang paling banyak mengeluarkan emisi, baik berupa hibah, pajak, atau yang lainnya, untuk mengurangi beban masyarakat umum. Pemerintah juga perlu menata ulang kebijakan industri hilirisasi agar tidak menggunakan energi batu bara, agar sejalan dengan rencana bebas emisi 2060. Standar Keekonomian dan Keadilan yang dibuat oleh Transisi Bersih dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan keadilan dalam program transisi energi secara umum.
Ditulis oleh:
Aditya Silvatama, staf eksekutif Transisi Bersih
Laporan Hasil Riset Transisi Bersih:
Standar Keekonomian dan Keadilan untuk Penutupan Dini PLTU : https://transisibersih.org/publication/detail/standar-keekonomian-dan-keadilan-untuk-penutupan-dini-pltu-2