Soekarno dan Agoes Salim di rumah pengasingan Parapat
abad.id- Proklamator Soekarno dan Hatta selama dalam pembuangan Belanda saat Agresi Militer ke 2, mempunyai kisah heroik. Di antara mereka yang ditangkap di Yogya, sembilan orang ditunjuk untuk diinternir tanpa kriteria tertentu.Tidak mengherankan bahwa Soekarno dan Hatta termasuk kelompok ini. Akan tetapi Sjahrir, sebagai anggota Dewan Penasihat mempunyai kedudukan yang kurang penting, juga termasuk di dalamnya. Dari para menteri mula-mula hanya Agoes Salim yang dipilih. Di samping itu, diasingkan pula ketua KNIP Assaat, Sekretaris Negara Pringgodigdo, dan S. Suriadarma.
Pada 23 Desember mereka naik pesawat terbang yang dikendalikan oleh seorang komandan yang ditetapkan baru boleh membuka surat perintah bersegel 'sangat rahasia' kalau sudah di udara. Baru waktu itu ia tahu bahwa mereka harus pergi ke pulau Bangka dekat Sumatra.
Ketika mendarat di ibu kota Bangka, Pangkalpinang, Hatta bersama tiga orang tahanan lainnya disuruh meninggalkan pesawat. Mereka dipenjarakan di sana.Tiga orang yang masih tersisa, Soekarno, Sjahrir, dan Agoes Salim, diterbangkan ke Medan. Dari sana mereka naik kendaraan ke Brastagi, sebuah kota di pegunungan kira-kira 60 kilometer dari kota Medan. Oleh karena Brastagi menimbulkan masalah penjagaan, mereka bertiga lalu diasingkan ke tempat lain.
Pada 1 Januari 1949 mereka dipindahkan ke Parapat, sebuah tempat wisata tidak jauh dari Brastagi. Disebuah tempat yang menjorok ke danau Toba, mereka ditempatkan di sebuah rumah peristirahatan mewah. Rumah berlantai dua di tepi Danau Toba. Rumah berukuran 10 x 20 meter dibangun Belanda pada 1820.
Dalam buku biografinya tulisan Lambert Giebelt, Soekarno membayangkan masa di Parapat sebagi masa petualangan yang menakutkan, penuh ancaman. Suatu hari misalnya, koki berkata kepada bahwa beberapa hari lagi ia akan ditembak mati. Ia juga menceritakan bahwa kelompok Pemuda yang nekad, dua kali mencoba membebaskannya melalui Danau Toba, tetapi sebelum dapat naik ke darat sudah ditembak mati oleh petugas penjaga. Komandan detasemen penjaga ketika ditanyai mengenai hal ini teryata berbeda keterangan. Menurut para penjaga ketiga orang tahanan merasa betah. Permintaan-permintaan yang diajukan, seperti buku, majalah, dan rokok, langsung dipenuhi. Siang hari mereka jalan-jalan atau duduk ngobrol bersama di kebun selalu dalam bahasa Belanda, tidak luput dari perhatian para penjaga.
Rumah Pengasingan Bung Karno di Parapat, Simalungun.
Pada 9 Januari Komisaris Kerajaan Belanda untuk wilayah Sumatra Timur, M. Brouwer, atas nama Wakil Tinggi Kerajaan Belanda mengunjungi ketiga tahanan di Parapat ini. Mereka bebas bergerak di semenanjung pulau itu,sa mau berjanji tidak akan mengadakan aktivitas politik. Dengan perantara penjaga, keluarga mana saja yang ingin didatangkan untuk bersama-sama dalam pengasingan. Agoes Salim ingin sekali berkumpul kembali dengan istrinya. Soekarno minta supaya selain Famawati, anak-anak dan mertuanya, didatangkan pula tiga orang pembantu. Sjahrir puas dengan dua anak angkatnya, di antaranya Lily. Mereka tidak sempat bersatu dengan keluarga mereka masing-masing.
Bagi para penjaga mereka bertiga tampak hidup rukun dan damai. Namun hanya tampak di permukaan mereka baik baik saja. Padahal sebenarnya ada perbedaan pendapat antara Soekarno dan Sjahrir. Rupanya Sjahrir sangat kesal melihat bagaimana Soekarno merengek-rengek di depan penjaga agar sedikit diberi peluang istimewa. Presiden dalam pengasingan masih ingin berpakaian rapi, meminta agar dari Medan didatangkan kemeja-kemeja Arrow yang mahal.
Kekesalan hati Sjahrir yang terpendam itu meledak ketika Soekarno sekali lagi dengan keras menyanyi lagu-lagu Belanda di kamar mandi. “Tutup mulutmu!” Sjahrir berseru melalui pintu kamar mandi.
Agoes Salim yang tidak pernah marah, namun ketika menyaksikan hal ini segera memperingatkan saudara sepupunya, Sjahrir. “Ingat anda berbicara dengan Presiden Republik Indonesia,”. Untung tidak lama sesudah itu rasa saling kesal ini berakhir.
Pada awal Januari 1949 Drees, Perdana Menteri Belanda yang umurnya sudah 60 tahun, memulai penerbangan ke Jakarta untuk membuktikan kepada dunia bahwa pemerintah kerajaan Belanda berusaha mencapai persetujuan dengan Republik Indonesia. Sang Perdana Menteri mendapatkan Wali Tinggi Kerajaan Belanda yang menganggap Republik Indonesia sebagai suatu dari masa lampau, sehingga merasa bahwa tugas CGD telah berakhir. Walaupun demikian, Perdana Menteri Drees ingin informasi langsung dari para wakil Republik Indonesia sendiri.
Ia meminta Sjahrir datang ke Jakarta untuk berbicara dengannya. Soekarno mencoba untuk menahan Sjahrir, namun tetap memutuskan pergi. Dia berjanji untuk kembali dan memberi laporan tentang pembicaraan dengan Drees. Tanggal 15 Januari 1949 Sjahrir menemui Drees di Jakarta. Mereka hanya berhasil berbicara atas nama sendiri, sebab Sjahrir tidak memiliki kedudukan apapun dalam pemerintahan kabinet Hatta ini. Sjahrir tidak bisa menjanjikan apapun kepada Perdana Menteri Belanda Drees ini. Akhirnya Belanda memutuskan Siahrir tidak kembali ke Parapat, namun dipulangkan di Jakarta. Merasa tidak dibutuhkan, Ia menarik diri ke dalam rumahnya di Jalan Jawa di Menteng.
Sementara itu tempat pembuangan Hatta di Bangka tidak lebih baik dari Parapat. Hampir tidak ada perabot, dan seperti tempat tinggal yang menyedihkan. Lagi pula seorang kapten yang terlampau rajin telah menyuruh memasang kawat berduri di sekelilingnya. Alasannya agar lebih mudah mengawasi para tahanan.
Anggota Panitia Jasa-Jasa Baik, Critchley, mengunjungi Menumbing dan memberitakan kepada Lake Success keadaan para tahanan. Palar dengan sigap menggunakan sepenuhnya rasa malu Van Rooijen ketika berita ini pecah. Di hadapan forum dunia ia menuduh wakil Belanda, pemerintah Belanda, dan wali negara suka bohong. Tuduhan yang menyakitkan hati ini menyebabkan orang Belanda mulai saling menyalahkan, tetapi akhirnya juga menyebabkan tempat tinggal para buangan di Bangka diperbaiki.
Ketika mengunjungi Menumbing,Brouwer juga menawarkan para tahanan keleluasaan bergerak, asal saja mereka berjanji tidak akan terlibat dalam aktivitas politik. Atas nama tahanan lain, Hatta menolaknya. Para tahanan Menumbing mempunyai satu kelebihan dibanding dengan mereka yang ditahan di Parapat yaitu bisa mendengar radio. Oleh karena itu, mereka tahu dampak penangkapan para pemimpin republik ini justru memperkuat posisi Republik Indonesia.
Drees juga meminta Hatta untuk datang menemuinya di Jakarta. Drees tidak bisa datang ke Bangka karena penyakit perut sehingga tidak berani melakukan perjalanan jauh. Dengan alasan politik, Hatta menolak ajakan Drees. Dengan demikian, pertemuan antara perdana menteri Belanda dan perdana menteri Republik Indonesia di dalam pengasingan tidak kunjung terlaksana.
Atas desakan tahanan lainnya, Soekarno dan Agoes Salim akhirnya bisa pindah dari Parapat ke Bangka. Sejak saat itu, pengasingan di Bangka lebih mirip masa liburan daripada masa tahanan. Sebab semua tokoh sudah bisa berkumpul dalam satu tempat. Sejak kedatangan Soekarno di Pangkalpinang sudah mendapat penyambutan meriah dari warga lokal. Di lapangan udara, massa yang menunggu kedatangannya mengaraknya masuk kota. Soekarno tampak menyukainya. Sambutan yang diberikan warga Pangkalpinang dimeriahkan juga oleh sebuah drumband. Di persimpangan-persimpangan jalan yang dilewati dalam perjalanan menuju Muntok, orang berdiri berjejal. Soekarno heran menyaksikan popularitasnya di sebuah pulau terpencil ini. Padahal di Bangka 40 persen penduduknya terdiri dari etnis Tionghoa. (pul)