Kedung Baruk Surabaya
Abad.id - Kedung Baruk adalah salah satu kelurahan di kota Surabaya. Menilik namanya jelas sebuah nama tua. Ternyata di peta 1892, ada desa bernama Baruk. dan di selatannya bernama Kedung
.
Peta tahun 1892
Boleh jadi, nama Kedung Baruk adalah penyatuan kedua desa ini, yaitu desa Kedung Asem dan desa Baruk, menjadi Kedung Baruk. Hal ini sangat lumrah dan banyak dijumpai, salah satunya berkait administrasi desa.
Nahhh mencari makna kata Baruk, terasa sangat asing, aneh dan tak biasa. Ada pendapat bahwa nama Baruk merujuk ke kata Waruk. Istilah Baruk atau Waruk itu merujuk kepada lahan-lahan yang ada di tepian sungai. Biasanya sungainya tidak terlalu besar seperti bengawan.
Dalam kamus Jawa Kuno Zoetmulder ada di entri "waruk" (bunyi w dan b sering bersubtitusi).
Dan memang, kawasan desa ini ada di tepian Kali Jagir.
Dalam salah satu sumber yang dipakai Zoetmulder, istilah "waruk" bersanding dengan "gaga" (ingat padi Gogo) atau lahan pertanian kering.
Toponimi yang menggunakan istilah waruk atau baruk selalu dilintasi sungai kecil. Nama ini konon ada di Lamongan dan Bangkalan. Mungkin di daerah lain juga ada.
Kali atau sungai Jagir, konon dibuat oleh belanda kisaran tahun 1852 dengan tujuan salah satunya agar air sungai Kalimas, yang berasal dari Sungai Brantas tidak melimpah ketika di dataran Soerabaia, sehingga tak terjadi banjir.
Peta Ekspedisi Cina di sepanjang Kali Brantas
Selanjutnya, pada tahun 1912, dibangunlah pintu air Jagir Wonokromo, yang sekarang sering disebut dengan Rolak Jagir.
Pembangunan pintu air yang disaat masa lalunya disebut dam itu sudah dilakukan Belanda pada beberapa kawasan sekitar tahun 1889-an, seperti; Dam Gubeng, Ngagel, Wonokromo, dan Gunung Sari. Pintu air Gunung Sari itu kini sering disebut dengan Rolak Gunungsari.
Benarkah dibuat dan dibangun oleh Belanda ? Ataukah sudah ada kali kecil, atau rawa rawa, yang kemudian diluruskan dan diperlebar oleh Belanda?
Jika melihat nama Baruk, yang berkonotasi kuno, boleh jadi kali Jagir itu sudah ada sebelum kedatangan Belanda, meski mungkin tidaklah besar.
Karena menilik skesta peta dari Von Faber, dikisaran abad 9 kawasan itu dulunya masih berupa pulau pulau kecil, hal ini makin menguatkan bahwa dahulu memang kawasan muara. Nah... berkait dengan muara sungai, lalu ada fenomena buaya, buaya muara yang beberapa masih ditemukan di sekitar bantaran kali. Lalu terciptalah folklore, cerita rakyat Legenda Buaya Putih.
Peta abad 9 masehi
Cerita tutur tersebut berkembang di sekitaran Kali Jagir/Kali Londo yang mengarah ke timur, kemudian dikenal namanya saat itu sebagai Rolag Lanang. Sedangkan pecahan Kali Bratas yang ke utara atau Kalimas, dikenal dengan istilah Rolak Wadon. Cerita tutur yang berkembang di Kali Londo adalah mereka meyakini bahwa di sepanjang Kali Londo itu dihuni Buaya Putih.
Di sepanjang aliran Kali Londo, ternyata di kawasan Medokan Semampir ada punden yang terkait dengan keyakinandan cerita masyarakat tentang buaya. Apalagi sejak zaman lampau, kawasan itu adalah rawa-rawa. Disana terdapat punden yang dikeramatkan warga terkait dengan Buaya Putih. Punden itu berada di sebelah selatan Perumahan Medokan Semampir.
Cerita tutur menyebut sebagai Punden Nyai Angon Boyo. Sebuah makam seorang perempuan, di posisi tengah , diapit oleh dua buaya. (mbahDok)