Kontroversi Sultan Pertama Demak Bintoro
Abad.id - Benarkah Raden Patah pendiri Kerajaan Demak adalah putra raja Majapahit beribu Tionghoa? Atau sebenarnya Raden Patah justru berdarah Cina asli yang bernama Jin Bun? Inilah hasil penelusuran dua sejarawan senior HJ De Graaf dan Slamet Mulyana.
Mitos, legenda dan sejarah, biasanya bercampur menjadi satu. Termasuk menyangkut nama Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak pada pertengahan abad 15, yang diyakini sebagai putra Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, yang lahir dari seorang selir berdarah Cina.
Sejumlah babad dan karya sastra masa silam, sering menyebut tokoh ini dengan pasti – yang belum tentu semuanya benar. Sebut saja Babad Tanah Jawi, ataupun Serat Kandha. Namun kedua kitab ini, yang ditulis setelah ratusan tahun dari zaman kehidupan tokoh-tokoh tersebut masih bisa dipakai sebagai referensi untuk menelusuri lebih jauh tentang sosok pendiri kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa ini.
Disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, bahwa Raden Patah, adalah putra Prabu Brawijaya dengan seorang putri berdarah Cina. Karena Ratu Dwarawati, istri terkasih raja yang berasal dari Campa tidak menyukai putri Cina itu dan mendesak raja untuk menceraikannya. Prabu Brawijaya memenuhi tuntutan permaisuri itu. Putri Cina asal Gresik yang sedang hamil muda itu dihadiahkan kepada Aria Damar, Adipati Palembang, yang juga putranya. Ketika di Palembang, putri hadiah itu melahirkan anak lelaki, dan diberi nama Raden Patah. Aria Damar-lah yang mengasuh dan mendidik Raden Patah bersama Raden Kusen. Nama terakhir, menurut babad tersebut, adalah putra Aria Damar dari putri Cina (yang juga ibu Raden Patah).
Kedua pemuda inilah nantinya yang mengubah wajah sejarah Tanah Jawa. Keduanya kabur dari Istana Palembang, karena diminta menggantikan posisi Aria Damar. Raden Patah sebagai adipati, dan Kusen sebagai patih. Karena berkeberatan dengan rencana Aria Damar, diam-diam keduanya lolos, dan kabur ke Tanah Jawa. Mereka ingin ke Majapahit, menemui ayah kandung Raden Patah. Tapi karena mendarat di Surabaya, mereka tertarik melihat adanya Pesantren Ngampel Denta yang kelihatan berwibawa dan besar. Mereka memutuskan belajar di Ngampel Denta, dan menjadi santri di pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh Raden Rahmat atau Sunan Ngampel tersebut.
Setelah beberapa lama, Kusen mengingatkan saudaranya untuk melanjutkan niat mereka ke Majapahit. Tapi Patah enggan menghadap raja kafir itu – meskipun raja itu adalah ayah kandungnya. Terpaksa Kusen berangkat sendiri ke Majapahit, dan mengabdi di sana. Karirnya membaik, sehingga nantinya dia diangkat sebagai Adipati Terung. Sementara, Raden Patah menikah dengan cucu Sunan Ngampel. Setelah berkeluarga, pada tahun 1475, Raden Patah diperintahkan oleh kakek mertuanya untuk membuka hutan di daerah Glagah Wangi, Bintara, sebelah selatan Pegunungan Muria. Perlahan-lahan, wilayah yang dibuka Raden Patah terus berkembang dan menjadi ramai.
Perkembangan ini tidak luput dari pendengaran Prabu Brawijaya, dan memerintahkan Adipati Terung untuk menghadirkan pemuka Bintara itu ke hadapannya. Ringkas kata, Raden Patah dikenali sebagai putranya, maka raja kemudian menetapkan Patah sebagai Adipati Demak.
Inilah sepenggal cerita dalam Babad Tanah Jawiyang sudah menjadi mitos bagi masyarakat Jawa. Namun sejarawan senior, almarhum Profesor Slamet Mulyana dalam bukunya : Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, mencoba mengritisi cerita itu. Menurut Profesor Slamet, agak janggal hubungan antara Aria Damar dengan Raden Patah, juga menyangkut nama Brawijaya. DalamBabad Tanah Jawitersirat mengatakan bahwa Aria Damar dan Raden Patah adalah se-ayah,tapi lain ibu. Bahkan, Raden Patah se-ibu dengan Raden Kusen yang lahir dari rahim putri Cina tersebut, dengan ayahnya adalah Aria Damar – yang merupakan kakak seayah Raden Patah.
Kejanggalan ini tampak setelah dicocokkan dengan data lain, yaitu dalam Kronik Tionghoa dari Kelenteng Sam Po Kong di Semarang, Slamet Mulyana mendapat catatan bahwa ayah dari Aria Damar adalah Hyang Wisesa. DalamPararaton ditegaskan, bahwa Hyang Wisesa nama lain dari Prabu Wikramawardhana, raja ke lima Majapahit, yang memerintah pada tahun 1389 – 1427.
Dalam Kronik Tionghoa Kelenteng Sam Po Kongitu juga disebutkan bahwa Jin Bun (nama Raden Patah dalam catatan bahasa Tionghoa) adalah putra dari Kung Ta Bu Mi. Di sini jelas, bahwa nama Kung Ta Bu Mi dalam dialek Tionghoa yang dimaksudkan adalah Prabu Kertabhumi, raja Majapahit ke 13 yang memerintah pada tahun 1474 – 1478. Atau lebih tepatnya, raja terakhir Kerajaan Majapahit yang masih merdeka. Nantinya ada dua raja lagi, penerus Kertabhumi, tapi sudah menjadi vasal Kerajaan Demak.
Jadi nyata ada beda waktu yang cukup panjang antara waktu hidup kedua tokoh sejarah tersebut. Dalam Kronik Tionghoa Kelenteng Sam Po Kong, Aria Damar bernama Swan Liong yang menjabat sebagai Kapten Cina di Palembang, sebelumnya adalah seorang prajurit di Kerajaan Majapahit. Karena keahliannya membuat mesiu, Swan Liong diangkat sebagai kepala pabrik mesiu di Semarang, sebelum diangkat sebagai Kapten Cina di Semarang oleh Gan Eng Cu, perwakilan Kekaisaran Cina di Jawa. Nantinya, setelah ditunjuk menjadi Adipati Palembang, Swan Liong, juga menjadi Kapten Cina di Palembang. Dua posisi dari penguasa yang berbeda dia pikul. Dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, Swan Liong ini bernama Jaka Dilah, karena berjasa kepada Majapahit, oleh ayahnya Hyang Wisesa diangkat sebagai Adipati Palembang, dan diberi gelar Aria Damar.
Jadi sebenarnya persamaan antara Swan Liong (Ario Damar) dengan Jin Bun (Raden Patah) : keduanya adalah putra raja, dan masing-masing ibunya berdarah Cina. Aria Damar lahir ketika Majapahit masih berjaya, sedang Raden Patah lahir ketika kerajaan besar itu sedang menyurut. Aria Damar adalah putra Prabu Hyang Wisesa Wikrama Wardhana (1389-1427), dan Raden Patah adalah putra Prabu Kertabhumi (1474-1478). Ibu keduanya, adalah sosok yang berbeda, meskipun keduanya adalah putri Cina.
Masih dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Profesor Slamet Mulyana juga membongkar catatan Residen Poortman, yang bertahun 1928. Catatan Residen Poortman untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda ini sebenarnya berdasarkan dokumen rampasan dari Kelenteng San Po Kong di Semarang. Dari hasil dokumen rampasan sebanyak tiga tikar yang digelar itu, teringkas bahwa Jin Bun alias Raden Patah adalah peranakan Tionghoa. Demikian juga bapak asuhnya, Aria Damar. Juga Kusen atau Kin San.
Disebutkan dalam ringkasan Poortman, bawah antara tahun 1456-1474, Swan Liong di Kukang (Aria Damar di Palembang, pen) membesarkan dua peranakan Tionghoa, yaitu Jin Bun (bahasa Yunan, artinya Orang Kuat), dan Kin San (=Gunung Emas). Katanya, Jin Bun sebenarnya adalah putra Kung Ta Bu Mi – raja Majapahit. Pada tahun 1475, Jin Bun diminta oleh Bong Swi Hoo (Sunan Ngampel Denta, Raden Rahmat, asli Campa, pen) untuk membuka hutan tak bertuan, dan membentuk masyarakat Tionghoa Islam bermazhab Hanafi baru. Masyarakat Islam Tionghoa di Semarang banyak yang murtad dan tak bisa dikendalikan lagi. Pembukaan lahan itu untuk pembentukan masyarakat Islami yang baru.
Tanah hutan dan berawa-rawa itu, terletak di sebelah selatan Pegunungan Muria, di Timur Semarang dan persis di pantai Utara Jawa. Jadi secara geopolitik dan ekonomi, wilayah yang nantinya bernama Demak itu memang sangat strategis dan berkembang cepat.
Pada tahun 1478, masih ringkasan Poortman, bahwa Adipati Jin Bun menyerbu Majapahit, dan menawan ayahnya, Kertabhumi. Sang prabu meskipun tak mau memeluk Islam, diperlakukan dengan baik. Pada tahun itu pula, guru Jin Bun, Sunan Ngampel meninggal dunia. Tahun ini sangat terkenal dalam bentuk sengkala : sirna ilang kertabing bumi – yang diartikan sebagai tahun 1400 Jawa. Tahun akhir dari kejayaan Majapahit – meskipun kerajaan itu baru total hilang pada tahun 1527.
Menurut sejarawan Belanda, HJ De Graaf (dan TH Pigeaud) dalam bukunya : Kerajaan Islam Pertama di Jawa, menyebut bahwa pendiri Demak adalah seorang patih bernama Cek Ko Po dari Kekaisaran Cina. Pernyataan De Graaf ini didasarkan dari dokumen Suma Oriental yang ditulis oleh seorang musafir Portugis pada awal abad 16. Pires menulis dalam bukunya Suma Oriental itu berdasarkan cerita-cerita yang didengarnya di Jawa pada permulaan abad 16 itu. Catatannya (dikutip ulang oleh De Graaf), bahwa kakek raja Demak yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang budak belian dari Gresik.
Bagi De Graaf, ada kesesuaian antara catatan Pires dengan buku-buku sejarah Jawa Barat, seperti Sadjarah Banten, dan Hikayat Hasanuddin. Kesesuaian dalam tiga catatan itu tentang tiga raja pertama Demak. Pires menyebut secara urut raja-raja itu : Moyang yang berasal dari Gresik, Pate Rodin Senior, dan Pate Rodin Junior. Pate Rodin di sini mungkin yang dimaksudkan adalah Patih Raden.
Sedangkan Sadjarah Banten menyebut sosok-sosok berikut : Patih Raja dari Negeri Cina (tidak disebut namanya), Cun-Ceh (meninggal muda), Cu Cu yang disebut Arya Sumangsang, dan raja ke tiga adalah Ki Mas Palembang.
Sementara Hikayat Hasannudin menyusun urutannya sebagai berikut : Cek Ko Po dari Munggul, Pangeran Palembang Tua (yang meningga muda), Cek Ban-Cun, Molana Arya Sumangsang, dan Molana Tranggana (putra Arya Sumangsang). Jelas, dokumen Tome Pires dan catatan dalam sejumlah sejarah Jawa Barat sangat berbeda dengan catatan dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha. Hanya ada satu kesamaan dari semua dokumen itu, yaitu raja Demak berurutan sebanyak tiga raja, yaitu Raden Patah, Pangeran Sabrang Lor, dan Trenggana.
Dari sejumlah catatan, De Graaf menyimpulkan, bahwa raja pertama Demak adalah orang asli Cina yang sudah beragama Islam, bernama Cek Ko Po dari Munggul. Kata “cek” adalah kata Cina yang berarti paman. Munggul kemungkinan besar adalah Mongolia. De Graaf sangat hati-hati dalam menyimpulkan orang pertama Kerajaan Demak ini. Hal ini terlihat dari uraian dalam bukunya itu, bahwa siapapun orangnya, asal-usul Dinasti Demak itu berasal dari Cina dan sudah beragama Islam. Setelah mendapat gelar patih, dia yang datang dari Gresik ini menjadi orang yang terhormat di Demak. Graaf meyakini bahwa pemula Demak ini belum menjadi raja dan masih mempunyai junjungan di Majapahit.
Jadi mana yang benar?
Kesimpulan kedua sejarawan itu bisa jadi benar, namun bisa jadi keduanya salah. Atau salah satunya benar. Tidak mudah memang mengungkap sejarah. Apalagi bila tidak ada dokumen primer maupun sekunder yang bisa dijadikan pegangan untuk menelusuri fakta-fakta baru – baik tokohnya maupun peristiwanya. Bahwa banyak cerita rakyat, buku-buku babad dan serat, banyak berkisah dengan tarikh waktu yang terkadang tidak akur antara satu dengan yang lain. Apapun, dua sejarawan besar, HJ De Graaf dari Negeri Belanda, dan Prof. Dr. Slamet Mulyono dari Indonesia sudah lama mencoba mengungkap sejarah tokoh legendaris itu.
Sumber :
1. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, karya Profesor Slamet Mulyana
2. Kerajaan Islam Pertama di Jawa, karya HJ De Graaf dan TH. Pigeaud