Jalan Anyer-Panarukan, Infrastruktur Peninggalan Daendels?
Abad.id - Banyak yang belum tahu bahwa negeri ini pernah dijajah Perancis. Penaklukan Eropa oleh Napoleon Bonaparte menggeser dinamika politik Eropa. Kekalahan Belanda terhadap Perancis dan pembubaran Perusahaan Hindia Timur Belanda berdampak pada koloni mereka di Timur Jauh. Dampaknya tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengambil alih seluruh Koloni Belanda di Tanah Jawa.
Republik Batavia diubah menjadi Persemakmuran Batavia yang kemudian dibubarkan dan diganti menjadi Negara boneka Perancis diperintah oleh saudara laki-laki ketiga Napoleon, yakni Raja Louis Bonaparte (Lodewijk Napoleon). Selama masa tersebut (1804 - 1811) Wilayah Jawa diperlakukan sebagai koloni Perancis.
Di tahun 1806 itu pula Lodewijk Napoleon mengirim salah satu jenderalnya yang bernama Herman Willem Daendels, menjabat sebagai Gubernur jenderal Hindia Timur di Jawa, menggantikan mantan Gubernur Jenderal Belanda Albertus Wiese.
Herman William Daendels
Daendels dikirim untuk tugas mempertahankan Jawa dari invasi Inggris. Daendels tiba di kota Batavia (kini Jakarta) pada 5 Januari 1808. Pemerintahan Daendels dikenal keras dan sangat antisipatif terhadap ancaman Britania Inggris.
Guna mencegah ancaman invasi tentara Britania Raya Inggris tersebut, Daendels mendirikan rumah sakit, barak militer, pabrik senjata baru di Surabaya dan Semarang, Sekolah Militer di Batavia dan benteng pertahanan Meester Cornelis di Jatinegara. Daendels juga membangun Benteng Pertahanan Fort Lodewijk di Surabaya.
Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris. Maka sebagai pertahanan Pulau Jawa, Daendels membuat Jalur pertahanan berupa Jalan Pos di sepanjang jalur pantai Utara Jawa. Guna jalan ini adalah untuk mempermudah lalulintas infanteri, kavaleri dan artileri yang setiap saat dapat mengusir tentara Inggris yang akan berlabuh ke jawa agar kembali ke laut Jawa. Jalan Anyer-Panarukan merupakan jalan yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Pembangunan jalan tersebut diprakarsai Herman Willem Daendels, seorang Gubernur Jenderal Hindia Timur saat Belanda dipimpin Loius Napoleon. Selama kepemimpinannya Daendels telah banyak perubahan dalam pemerintahan Hindia. Salah satunya adalah pembangunan Jalan Anyer Panarukan. Jalur ini dikenal sebagai jalur yang dikenal dengan sebutan Jalan Raya Pos atau Pos Weg.
.
Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di Kampung Cibabat, Cimahi, Jawa Barat. (Tropenmuseum)
Benarkah jalan Raya Anyer-Panarukan tersebut benar-benar dibangun oleh Daendels?
Ada beberapa fakta menarik di lapangan :
1. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja Kaisar Napoleon sebagai junjungannya dan harus minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels memperkerjakan orang-orang pribumi dengan upah bayaran berupa uang kertas (semacam surat hutang) yang melibatkan para Sultan di Jawa sebagai penjaminnya.
2. Daendels meyakinkan kepada Para Sultan bahwa proyek pembangunan jalan harus di kerjakan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat (H.W. Daendels, Staat van Nederlandsch Indische Bezittingen onder bestuur van Gouverneur Generaal en Marschalk H.W. Daendels 1808-1811, 's Gravenhage, 1814).
3. Para bupati diperintahkan menyediakan tenaga kerja terbaiknya dan konsekuensinya para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Bila tidak mau menerimanya, tak segan Daendels menggunakan tekanan agar para Sultan bersedia melaksanakan aturan Daendels.
4. Dan rahasia berikutnya adalah Klaim sepihak Daendels, yang seolah jalan itu adalah hasil karya Perancis dengan meniadakan para Sultan yang telah menginisiasi pembangunan jalan tersebut sejak berabad-abad sebelumnya.
Itu artinya jalan raya pos tersebut sebelum Deandels tiba di Jawa, memang sudah ada, hanya saja banyak jalur yang masih terpotong. Seperti misalnya jalur Karangsambung ke Cirebon. Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada. Daendels hanya memperpanjang hingga panarukan, memperbaiki dan melebarkan jalan yang telah ada sejak sebelum Daendels tiba di Jawa.
Seringkali kebutuhan popularitas dan citra itu harus meninggalkan jejak sejarah yang sesungguhnya. Reeds geschreven historische documenten moeten absoluut "waar" en "verboden" zijn om te worden herzien ... zodat de slachtoffers toekomstige generaties zijn die "blind" blijven en hun voorouders.
Sejarah di tulis oleh subjektifitas sang Penguasa. Saat mereka pergi, catatan sejarah yang sudah terlanjur tertulis seolah menjadi mutlak "Benar" dan tabu untuk direvisi. Target korbannya adalah generasi akan datang yang "buta" siapa leluhurnya.
Di sekitar menara Mercusuar Anyer Desa Tambang Ayam, Serang Banten terdapat tapal yang menandai titik awal pembangunan Jalan Anyer-Panarukan tertulis: “0 KM Anjer-Panarukan 1806 AKL ”. Daendels baru mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808. Jjadi bukan dia yang menandai dan membuat jalan itu.
Herman Willem Daendels menjabat 1808-1811, mustahil dalam waktu 3 tahun membangun jalan dan Dari Anyer ke Batavia,Daendels menempuh perjalanan selama empat hari, ini membuktikan bahwa jalan dari Anyer-Cilegon-Serang-Tangerang-Batavia sudah ada sebelumnya.
Nama jalan pantai selatan Jawa kerap disebut dengan nama Jalan "Daendels" hanya karena jalur tersebut melewati wilayah Ambal yang kala itu dipimpin oleh A.D. Daendels,Jaraknya hanya 130 kilometer menghubungkan kota Bantul di DIY dengan Purworejo, Kebumen, dan Cilacap di Jawa Tengah...jalan pesisir selatan tersebut sudah ada jauh sebelum orang Belanda tiba.
Jalan Daendels Selatan merupakan jalur kuno yang telah ada jauh dari abad ke-14,ini merupakan Jalur upeti kerajaan di Jawa, yang menghubungkan antara kerajaan Kediri, Majapahit, Pajang, Mataram, Cirebon, hingga ke Demak di Utara.
Peta jalan Anyer - Panaruka yang membentang dari barat ke timur pulau Jawa
Pada masa kerajaan Jawa abad ke-14, banyak kerajaan memanfaatkan jalan pesisir Pantai Selatan Jawa ini sebagai jalur penghubung. Salah satunya Kerajaan Mataram Islam pada era Sultan Agung 1613-1645.
Tercatat dalam sejarah Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 Mataram Islam menyebut wilayah ini dengan nama Urut Sewu, satu dari delapan wilayah bagian Negaraagung yang merupakan daerah-daerah pungutan pajak di luar pusat pemerintahan keraton.
Sebelumnya, jalan ini bernama Jalur Diponegoro. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya pernah bergerilya di ruas jalan itu, tepatnya di wilayah Karesidenan Bagelen saat Perang Jawa melawan Belanda yang berlangsung sejak 1825.
Diponegoro memilih jalur ini sebagai rute gerilyanya yang telah digunakan oleh leluhurnya ketika berperang, Amangkurat I pernah menggunakan jalur ini untuk lari dari kejaran Pasukan Raden Trunojoyo yang memberontak Kesultanan Mataram.
Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan kolonialisme Belanda berakhir setelah pada 1827, Pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1830, kemudian diasingkan ke Manado dan wafat di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.
Pasca-Perang Jawa, pemerintah kolonial menjalankan politik untuk menghapus pengaruh dan citra Diponegoro di kalangan pribumi. Tujuan politik ini untuk melemahkan semangat pengikut Diponegoro yang masih bergerilya dan kedudukannya terpecah-terpecah.
Pada 1838, A.D. Daendels menggunakan kesempatan ini untuk mengganti nama Jalan Diponegoro, mengubah nama jalan kuno penghubung kerajaan Jawa ini dengan namanya. Jadilah Jalan Anyer-Panarukan tersebut sebagai jalan Daendels di selatan Jawa.(mda)