images/images-1690104037.jpg
Sejarah
Budaya

Akulturasi Budaya Pada Penanggalan Jawa di Jaman Sultan Agung

Malika D. Ana

Jul 23, 2023

332 views

24 Comments

Save

Akulturasi Budaya Pada Penanggalan Jawa di Jaman Sultan Agung

 

 

Abad.id - Dijaman Kerajaan Mataram Islam dipimpin oleh Sultan Agung  Hanyakra Kusuma, waktu itu ada ancaman pengaruh bangsa asing (VOC)  yang sudah menguasai Sunda Kelapa (Batavia) yang mengancam keselamatan rakyat maupun kedaulatan negara. Sehingga Sang Sultan berpikir bagaimana membuat rakyatnya rukun dan bersatu yaitu dengan cara meng-Akulturasi-kan tiga unsur  budaya yang ada  pada waktu itu (Jawa, Hindhu, Islam), disimboliskan pada bentuk perubahan Penanggalan Jawa. Tetapi karena berbeda pedoman dasar peredaran yaitu Matahari (Solar) untuk Penanggalan Jawa dan kalender Hindhu, sedangkan Bulan (Lunar) untuk kalender Hijriah, sehingga walaupun disatukan  (khususnya Penanggalan Jawa dan Kalender Hijriah) dengan cara dihilangkannya  satu masa Penanggalan Jawa (4 windu=4×8=32 tahun), tetapi walau begitu tetap saja berselisih satu hari. Karena hal ini pula akhirnya muncullah istilah tahun ABOGE (tahun Alip, tanggal 1 Suro jatuh hari Rebo Wage) dan tahun ASAPON (tahun Alip, tanggal 1 Suro jatuh hari Seloso Pon). Perubahan ini  bertepatan tanggal  1 Muharram 1043 H = 29 Besar 1554 Jawa =  8 Juli 1633 M.

 

Penggunaan sistem kalender merupakan salah satu bentuk akulturasi. Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah mengenal Kalender Sakka yang dimulai pada tahun 78 Masehi.

 

Dalam kalender Sakka ditemukan 5 nama pasaran hari, yaitu : legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Ini berarti jika putaran hari pasaran di mulai dari legi, maka ketika telah sampai kliwon maka akan kembali lagi dari legi.

 

Setelah Islam berkembang, Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (Komariah) seperti tahun Hijriyah (Islam).

 

Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syura/Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa, dan sebagainya.

 

Sementara itu, nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Bahkan hari pasaran pada pada kalender Sakka juga digunakan.

 

Kalender Sultan Agung dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 8 Agustus 1633 Masehi.

 

Daftar nama hari, pasaran, bulan, tahun Jawa dan neptunya dapat anda perhatikan gambar di atas. Seperti yang tertulis pada deskripsi gambar bahwa orang Jawa sebelum membuat suatu acara harus menentukan terlebih dahulu kapan hari baik dan buruk dengan perhitungan hari, pasaran, bulan dan tahun. Mengapa demikian? Sedang generasi masakini menganggap bahwa semua hari itu baik. Terlepas dari perbedaan tersebut, bahwa pemilihan hari, pasaran, bulandan neptu mencerminkan bahwa orang Jawa itu penuh kehati-hatian dalam bertindak atau berbuat. Sebelum melakukan sesuatu mereka selalu memperhatikan kelancaran dan keselamatan suatu acara yang akan dilaksanakan, agar tidak ada kendala yang datang. Namun, hal itu terkadang dianggap syirik oleh kepercayaan lain. Itulah kebhinekaan budaya Indonesia, kerukunan dalam perbedaan terkadang terlalu susah untuk kita jalani.(mda)

Artikel lainnya

Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari Gedong Nasional Indonesia (GNI)

Author Abad

Oct 29, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

Surabaya Dalam Jejak Kubilai Khan, Cheng Ho dan Marga Han

Malika D. Ana

Jan 14, 2023

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Kapan Indonesia Siap Berdemokrasi?

Author Abad

Nov 01, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023