Selamat Ber-Halal Bihalal Indonesia
Abad.id - Jika menilik asal muasal bermaaf-maafan setelah melakukan sholat Iedul Fitri, di Saudi Arabia asal agama Islam sana tidak ada tradisi Halal Bihalal atau yang orang Indonesia sering bilang bermaaf-maafan. Masyarakat Indonesia punya tradisi unik usai merayakan Lebaran atau sholat hari raya Idul Fitri yakni halalbihalal. Saling berkunjung untuk saling bermaafan. Kata-kata yang sering terlontar biasanya; minal aidzin wal faizin ya, maaf lahir batin...kosong-kosong, impas, kupat santen...menawi lepat nyuwun pangapunten dan lain-lain, yang mungkin disetiap daerah sangat berbeda tradisi mengucapkannya. Menarik jika melihat sejarah tradisi ini dan manfaatnya bagi bangsa.
Menurut beberapa sumber, tradisi halalbihalal dimulai usai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepatnya 3 tahun usai Proklamasi, yakni 1948. Saat itu Republik muda ini diambang perpecahan nasional. Masing-masing kekuatan politik bersaing. Bahkan muncul pertikaian politik yang berujung pada peristiwa “Madiun 1948”.
Di sisi lain, Republik yang masih muda ini sudah diambang agresi militer Belanda. Tentu saja, tanpa persatuan nasional, agresi militer tersebut akan gampang mematahkan kekuatan Republik. Melihat situasi itu, pada pertengahan Ramadhan tahun 1948, Bung Karno memanggil kyiai Nahdatul Ulama (NU), KH. Wahab Chasbullah, ke Istana Negara. Beliau meminta saran dan pendapat kyai atas situasi tersebut.
Saat itu Kyai Wahab mengusulkan agar diadakan silaturrahmi nasional. Momentumnya, kata Kyai Wahab, sangat cocok karena mendekati Idul Fitri. Disamping itu, umat Islam memang di-sunnah-kan melakukan silaturrahim. Bung Karno setuju ide silaturrahim, tetapi kurang setuju penamaannya. “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” kata Bung Karno.
“Itu gampang,” kata Kyiai Wahab. “Begini, para elite politik tidak mau bersatu karena saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu dosa. Dosa itu haram..” tukasnya.
“..Supaya tidak punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan,” jelas Kyai Wahab.
Nah, untuk menamai forum silaturrahmi itu, atau rekonsiliasi nasional, Kyai Wahab mengusulkan istilah “Halal Bihalal”. Istilah itu memang terkesan berbau bahasa Arab, tetapi tradisi halal bihalal sendiri tidak dikenal oleh masyarakat Arab. Esensi Halal Bihalal adalah saling menghalalkan atau saling memaafkan. Singkat cerita, atas saran Kyai Wahab itu, pada perayaan Idul Fitri 1948 Bung Karno mengundang semua tokoh politik dan agama untuk bersilaturrahmi dengan judul “Halal Bihalal”.
Dari uraian historis itu, bisa disimpulkan :
Pertama, Halal Bihalal merupakan bentuk konsolidasi nasional yang tidak formal, yang mengambil momentum keagamaan, untuk menyambung tali persaudaraan dan persatuan nasional.
Kedua, Halal Bihalal diciptakan dari kebiasaan bangsa Indonesia yang melakukan silaturrahmi saat lebaran. Artinya, kendati terkesan menggunakan bahasa Arab, Halal Bi Halal adalah tradisi asli masyarakat Islam Indonesia.
Pertanyaannya, mungkinkah ide Halal Bihalal seperti ditahun 1948 ini bisa dilaksanakan saat sekarang ini?
Sejarah perpecahan kembali terulang hari-hari ini. Masyarakat terpolarisasi sedemikian dahsyat semenjak Pilkada DKI dan Pilpres 2014. Tahun-tahun mencekam karena persatuan dan kesatuan bangsa menjadi centang perenang akibat perbedaan pilihan politik. Ada konflik tak berkesudahan yang sengaja ditiupkan oleh yang punya hajat kekuasaan dengan cara adu domba.
Maka dengan Halal Bihalal, diharapkan semoga konflik yang belakangan merobek kohesi sosial kita ini diakhiri dengan keseimbangan dan keselarasan, dengan saling menghalalkan, Halal Bihalal alias bermaaf-maafan.
Karena keseimbangan adalah modal untuk berbuat lebih banyak kedepannya. Keseimbangan akan membuahkan stabilitas sosial dan politik yang menjadi dasar dari pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Eksamin samaye bhagavan chravastyam. Mari berhalalbihalal dan saling memaafkan. Menyepikan konflik, masuk ke dalam gua(cravasti/chravastyam) artinya, masuk ke dalam diri (mudik/pulang), lalu membentuk mind set dan paradigma untuk membangun ulang kesepakatan-kesepakatan seperti awal terbentuknya negara dan bangsa Indonesia, seperti termaktub di pembukaan UUD45; merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.(mda)