images/images-1682507477.png
Data

Kisah Cinta Sjahrir dan Maria Duchateau, Mirip Sinetron

Pulung Ciptoaji

Apr 26, 2023

1898 views

24 Comments

Save

Kisah cinta Sutan Sjahrir dan  Maria Johanna Duchateau, keduanya benar benar telah membuat sejarah gila. Foto dok net

 

 abad.id- Sutan Sjahrir, salah satu tokoh pegerakan Indonesia punya cerita cinta yang unik. Kisah Sjahrir layaknya sebuah cerita tragedi yang membuat keduanya terpisah. Kisah cinta yang tulus harus dipisahkan oleh peraturan negara dan budaya. Sambil  nyaris putus asa, perjalanan cinta syahrir kepada noni Belanda ini dijadikan cambuk untuk semakin mencintai negaranya.

 

Sebenarnya Sutan Syahrir berasal dari prototipe suatu keluarga belanda coklat.  Syahrir dilahirkan di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Ayahnya Muhamad Rasad begelar Maharaja Sutan bekerja menjadi jaksa. Rasad ayah Syahrir sangat bahagia, sebab tinggal bersama dari 25 anak dari 3 istri. Saat masa keemasan pernah menjadi kepala jaksa dan dianugrahi tanda jasa sebagai ridder in de orde van oranje nassau. Ketika tinggal di Medan, Syahrir memasuki usia sekolah SD Belanda. Lalu melanjutkan di MULO. Dalam rangka kebutuhan pendidikan, pada tahun 1926 Syahrir dikirim ke Bandung untuk menjasi siswa di sekolah AMS. Sekolah AMS ini favoit dan  pendidikan lanjutan bagi lulusan MULO. Lulusannya membuka jalan untuk melanjutkan lebih tinggi di Belanda.

 

Selama di Bandung, Syahrir muda yang berumur 15 tahun telah aktif di gerakan nasionalis. Di gerakan inilah dia sudah kenal dengan Sukarno di beberapa forum diskusi. Padahal Sukarno sudah menjadi lulus dari mahasiswa, sementara Syahrir masih pemuda yang penuh ambisi. Suatu saat Sukarno menjadi pembicara tamu, sementara Syahrir sebagai moderator. Pertemuan itu ternyata tidak berkesan bagi keduanya, sebab justru menimbulkan perang ide antara pelajar dengan pimpinan PNI yang 8 tahun lebih tua. Sukarno sangat tersinggung saat Syahrir memotong pembicaraan dengan mengetok palu. Saat itu tensi diskusi sedang seru-serunya. Penyebabnya Sukarno dianggap terlalu sering menggunakan kata-kata berbahasa Belanda di tengah forum yang dihadiri kaum pribumi.

 

Keluarga Syahrir sangat mampu untuk membiayai sekolah lanjutan ke belanda. Pada tahun 1929, Syahrir dikirim ke belanda untuk mengikuti pendidikan universitas. “ Tidak ada yang terasa asing bagi saya waktu tiba di Belanda,” kata Syahrir bercerita tentang perkenalannya dengan negara kincir angin. Syahrir  dijemput keluarga Djoehana, temopat awal menumpang. Namun Dokter Djoehana dan Sjahrizal, kakak perempuan Syahrir, hanya sampai 1931 saja tinggal di Belanda. Begitu diploma diraih suami kakaknya, Syahrir hidup tanpa kerabat di negeri kincir angin.    

 

Selama di Belanda, Syahrir sempat mendaftarkan diri ke fakultas hukum di Universitas Kotamadya Amsterdam, dan Universitas Negara di Leiden. Dari dua kampus tersebut, belum pernah ada catatan Syahrir berhasil menyelesaikannya. Syarir lebih banyak berkelana di Belanda, dan berdiskusi dari forum ke forum. Pemikiran Syahrir sangat dipengaruhi Marx dan Engels. Juga terdapat guru lain penganut marxis fanatik seperti Rosa Luxemburg, Kautsky serta henriette Roland Hols. Stahrir juga menjadi anggota aktif perkumpulan mahasiswa Indonesia, Perhimpunan Indonesia dibawah ketua Mohammad Hatta. Tidak terlalu lama, Syahrir menjadi sekretaris PI.

 

Setelah berkelana di Amsterdam untuk beberapa waktu, Syahrir mendapat pemondokan di rumah Sal Tas. Keduanya berkenalan di sebuah Perkumpulan mahasiswa Sosial Demokrasi yang diketuai Sal Tas. Perkumpulan ini agak condong ke SDA, tetapi layaknya perkumpulan mahasiswa jauh lebih radikal daripada partai induknya.

 

Saat itu Maria Johanna Duchateau masih sangat cantik. Namun, Maria sudah jadi istri Salomon “Sal” Tas induk semangnya.  Untung ada Sal Tas. Anak tukang roti yang gandrung pada sastra, musik, dan politik itu menampung Syahrir muda. “Dengan mudah Syahrir dan Tas berteman dan setelah keluarga Djoehana pergi, Syahrir pindah ke rumah kecil Tas yang tidak jauh dari situ,” tulis Rudolf Mrazek dalam Syahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.

 

Rumah itu dihuni Sal Tas, istrinya Maria Johanna Duchateau, serta dua anak mereka, dan seorang perempuan bernama Judith van Wamel. Tentu saja ditambah Syahrir yang menumpang. Keluarga ini sering terlihat bersenang-senang ala mereka, mulai pergi ke rumah makan, teater, konser, juga pertemuan politik.

 

Namun pada November 1931, Syahrir harus angkat kaki dari Belanda setelah dipecat dari PI. Penyebabnya beberapa mahasiswa anggota PI menganggap syaahrir dan Hatta tidak solidaritas kepada Sukarno yang saat itu sedang mendekaam di penjara sukamiskin. Sebelum pulang, rupanya Syahrir sudah terlalu akrab dengan Maria Johanna Duchateau. Kala itu, Maria dan Tas sedang mengalami masa suram pernikahan. Meski sudah punya dua anak, keduanya tampak asyik dengan dunianya masing-masing.

 

Maria belakangan bahkan seolah-olah membiarkan Tas berhubungan dengan Judith. Sementara Maria Johanna Duchateau juga terlibat cinta dengan Syahrir. Dua sejoli ini punya panggilan kesayangan. Sidi untuk Syahrir dan Mieske untuk Maria. Sal Tas pun tak ambil pusing atas hubungan istrinya dengan sahabatnya itu.

 

Sjahrir memutuskan kembali ke tanah air untuk bergabung dengan kelompok pergerakan di Indonesia dan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) Baru bersama Bung Hatta. Hubungan antara Sjahrir dan Maria terus dilakukan meski keduanya terpisahkan jarak. Surat menjadi satu-satunya cara mereka memadu kasih di tengah era penjajahan Belanda di Indonesia saat itu.

 

Bulan Desember 1931, Syahrir sudah tiba di Batavia. Dia lalu jadi Ketua Redaksi Daulat Ra'jat. Syahrir tidak menjadi pengekor gaya kaum pergerakan, baik mereka yang dalam pengawasan maupun pemenjaraan seperti Sukarno. Syahrir sering muncul dengan dandanan bohemian: sarung lecek sebagai bawahan, jas sebagai atasan, juga peci di kepala.

 

Pertemuan Syahrir dengan Sukarno terjadi di Bandung pada 4 Januari 1932 di rumah Gatot seorang aktifis PNI. Sebenarnya keduanya tidak asing, meskipun Syahrir berusia lebih muda dari Sukarno. Syahrir juga dikenal seorang yang pintar menyimpan perasaan, sehingga saat pertemuan itu, dia lebih banyak diam dan Sukarno lebih dominan berbicara tentang arah perjuangan.  Atau mungkin pikiran Syahrir sedang tidak nyaman dan masih terkenang perpisahan dengan kekasihnya Maria Duchateau. Sehingga tidak nyambung arah pembicaraan saat diskusi. “Sukarno sudah bebas dan akan mendirikan partai baru dengan tujuan mempersatukan kelompok PNI lama. Saya sudah berbicara dengannya, ia boleh dikatakan memohon bantuan saya. Walaupun demikian saya belum bisa memberi jawaban yang lugas. Saya nasihati dia untuk mempelajari posisi dan sudut pandang kami, dan setelah itu baru berbicara ke kami,” kata Syahrir tentang apa saja yang dibahas dalam pertemuan dengan Sukarno.

 

Saat itu pikiran Syahrir ingin segera ke Medan untuk menjemput kekasih hatinya Maria Duchateau. Dalam surat yang dikirim terakhir, Maria akan datang tanggal 28 Maret 1032 di bersama dua anaknya.

 

Tak sabar menunggu perempuan yang dicintainya, Sjahrir pun menyusul dari Batavia ke Medan, tempat berlabuhnya kapal yang dinaiki Maria dan kedua anaknya. Keduanya kemudian memutuskan menikah setelah lama tidak bertemu. Pada 10 April 1932 mereka menggelar ijab kabul di sebuah masjid di Medan. Mereka pun tinggal di sebuah rumah di kota Medan, berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Kesawen, ataupun sekedar berjalan santai bergandengan tangan mesra di Grand Hotel yang disebut terlarang bagi pribumi.

 

Pernikahan dua ras yang berbeda itu menjadi perhatian warga Medan. Dengan cepat, berita soal Sjahrir bersama Maria tersiar ke kalangan warga Belanda. Surat kabar setempat bahkan memuat artikel untuk mendesak pemerintah bertindak terhadap Sjahrir dan istrinya. Maria pun pernah dihentikan di tengah jalan oleh orang kulit putih lain yang bertanya apakah dia butuh bantuan.

 

Surat kabar De Sumatra Post mengangkat berita utama soal pasangan eksentrik ini dengan judul "Wanita memakai sarung dan kebaya, di bawah pegawasan polisi" pada 13 Mei 1932. Dengan semakin maraknya pemberitaan Sjahrir dan Maria, kabar pun dengan cepat tersiar bahwa Maria belum resmi bercerai dari suami sebelumnya, Sol Tas yang ada di Belanda. Sehingga, pernikahan Sjahrir dengan Maria dianggap tidak syah oleh pejabat Islam, hanya berselang satu bulan pasca pernikahan mereka.

 

Atas keputusan itu, pejabat Belanda memulangkan Maria kembali ke eropa dengan menggunakan sebuah kapal. Peristiwa ini juga dijadikan peringatan dari pemerintah Belanda kepada aktivits PNI. Setelah dipulangkan ke Belanda, Maria terus mencari akal untuk bisa kembali bertemu sang suami. Dia bersurat kepada Ratu Belanda untuk bisa membawa kembali Sjahrir untuk melanjutkan studi di Belanda, namun permintaan itu ditolak. Maria terus berkirim surat, kali ini alasannya ingin kembali ke Indonesia untuk bertemu dengan suami. Namun lagi-lagi permintaan itu tak pernah dijawab oleh sang ratu.

 

Hingga pada tahun 1934, pemerintah Belanda meringkus puluhan anggota PNI, tak terkecuali Hatta dan Sjahrir. Sjahrir ditangkap saat hendak bertolak ke Belanda menyusul perempuan yang begitu dicintainya. Padahal sebuah tiket kapal SS Aramis sudah dipesannya jauh-jauh hari. Pertemuan dengan Maria kembali gagal karena Sjahrir harus mendekam di balik jeruji penjara Cipinang.

 

Setelah empat bulan di penjara Cipinang, kontak Sjahrir dengan dua luar terputus. Satu-satunya kontak yang dilakukan Sjahrir hanyalah surat yang secara rutin satu bulan lima kali dia kirimkan untuk Maria.

 

Selama masa tahanan, Syahrir ternyata dikenal orang yang tidak tahan kesendirian.  Ia selalu berkiirm surat kepada orang yang dikasihinya, sebagai cara mengusir depresi kesendirian. Apa pun diceritakan Syahrir kepada Maria dalam bahasa Belanda, mulai ukuran sel tahanannya hingga makanan di penjara.

 

"Makin lama aku makin banyak melupakan apakah selera dan perangsang itu. Aku kini menganggap makan sebagai kewajiban, dan dengan demikian rasa kenyang beralih dari makan ke arah yang dimakan, kira-kira cara yang sama degan orang yag merasa puas menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kepuasan rohain dari jiwa lebih banyak daripada kepuasan hawa nafsu perut jadi kepuasan dengan spiritualital 'yang lebih tinggi'. Kamu dapat melihat apa yang ditekan jika makan memakai semangkok dari kaleng," tulis Syahrir dalam suratnya untuk Maria.

 

Akhirnya tanggal 16 November 1934, pemerinah Hindia belanda memutuskan lima pimpinan PNI diasingkan ke Boven Digul yang sangat terpencil. Bung Hatta dan Syahrir turut di dalamnya. Meskipun mereka menganggap pengasingan itu sebagai sebuah tamasya yang tak jelas kapan selesainya.

 

Akhir babak hubungan jarak jauh Syahrir dan Maria meskipun rajin bersurat mulai retak. Syahrir di Indonesia paling timur dan Maria di Belanda. Surat menyurat itu sempat terputus oleh Perang Dunia II. Ketika Depresi Ekonomi eropa dampak perang  terjadi, Sjahsam, salah seorang adik Syahrir dengan usia dua tahun lebih muda, diminta untuk membantu Maria dan anak-anaknya.

 

Kisah perjalanan mereka menuju Boven Digul yang saat itu ditakuti karena wabah malaria yang mematikan diceritakan Syahrir kepada Maria dengan pandangan optimis. Dia juga menceritakan buku-buku bacaanya selama menjadi tahanan yakni kitab Injil hingga novel. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik.

 

Dia pun bercerita soal interaksinya dengan "orang buangan" lain di Digoel yang tidak terpelajar. Selama di sana, tingkah laku Syahrir dianggap cukup aneh. Syahrir lebih senang berkelana melalui perahu kano menyusuri Sungai Digoel, berenang, hingga bermain bola. Syahrir juga dikenal sebagai "pengelana jenaka". Selama berada di pengasingan, Syahrir seolah-olah melepaskan diri dari dunia politik. Hal ini berbeda dengan rekannya, Bung Hatta yang masih aktif mengirimkan tulisan-tulisannya ke surat kabar.

 

Setelah ditelusuri, ternyata Syahrir membuat kesepakatan dengan Belanda untuk tidak menuliskan atau pun terlibat dalam pergerakan politik apa pun. Dengan catatan Syahrir akan mendapat tambahan uang dari Belanda untuk biaya korespondensi dengan Maria dari yang semula 2,6 gulden menjadi 7,5 gulden. Sebab bagi Syahrir, Maria adalah penyemangat hidupnya.

 

Ketika Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman, seluruh korespondensi terputus. Ternyata mulai dari 1931-1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4-7 halaman dari Syahrir. Maria sempat berpikir untuk membakarnya namun dicegah suaminya yang juga adik Syahrir, Sutan Sjahsyam. Diputuskan surat surat itu akan dibukukan dengan judul Indonesische Overpeinzingen, dan diterbitkan di Amsterdam pada 1945.

 

Syahrir baru bertemu Maria setelah 15 tahun kemudian, yaitu pada 1947 di New Delhi. Kala itu Syahrir sudah menjadi Perdana Menteri Indonesia dan berkunjung ke India bersama rombongan. Ketika bertemu di bandara, Syahrir sempat mencium pipi kanan dan pipi kiri Maria. Tapi, menurut Maria Duchateau, merasakan Syahrir sudah berubah. Mungkin disebabkan Syahrir telah menjadi negarawan, atau sikap canggung karena sedang punya hubungan dekat dengan Popy sekretarisnya. (pul)

 

Artikel lainnya

Reruntuhan St Paul's College Makau Sangat Memukau

Pulung Ciptoaji

Dec 27, 2022

Surabaya Sambut Kapal Pesiar MS Viking Mars

Author Abad

Dec 20, 2022

Jugun Ianfu Dipaksa Melayani Seks 10 Orang Sehari

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Dari Kolaborasi ke Nominasi

Author Abad

Oct 26, 2022