images/images-1678771145.jpg
Sejarah
Budaya
Liputan

Surabaya Ring Pertarungan antara Urban Developmen Vs Heritage Management

Malika D. Ana

Mar 14, 2023

409 views

24 Comments

Save

Surabaya Ring Pertarungan antara Urban Developmen Vs Heritage Management

 

 

Abad.id - Ketika Urban Development dalam satu ruang dengan Heritage Management, maka yang terjadi adalah gontok gontokan. Suasananya bagai di dalam ring oktagon UFC. Salah satu di antara keduanya ingin menang dan mengalahkan.

 

Di kota kota besar, yang bermula dari desa kecil, kerap menghadapi persoalan ini. Itulah perubahan suatu peradaban. Hasil karya manusia memang terus berganti dan berevolusi. Ini bagaikan evolusi teknologi.

 

Semakin canggih teknologi, maka teknologi itu memang semakin membantu manusia. Akibatnya teknologi lama pun ditinggalkan. Tidak ada yang menyesal atas perubahan itu. Tapi bagi sebagian kecil manusia, teknologi lama justru kian dicari.

 

Proses perubahan teknologi adalah ilmu. Di sana apa pola pikir manusia. Hasil karya teknologi adalah pancaran pikir, karya dan karsa manusia dari suatu masa. Karenanya bagi mereka yang mencermati proses perubahan sesuatu dalam suatu masa akan memberinya wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat sebagai dasar pembangunan masa depan.

 

Sayang, tidak banyak orang mau melihat dan mempelajari hasil karya manusia masa lalu. Mungkin mereka berfikir, masa lalu tidak bermanfaat karena manusia hidup untuk masa depan. Maka masa depan lah yang menjadi pusat perhatian dan tujuan. Mereka tidak lagi memperhatikan masa lalu.

 

Undang Undang Republik Indonesia nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan justru mengajak warga negara Indonesia tidak melupakan masa lalu, baik yang merupakan bendawi maupun yang tidak bendawi, seperti tradisi dan cara cara hidup manusia. Soekarno berpesan melalui "Jas Merah", jangan sekali sekali melupakan sejarah.

 

Benda benda itu, bendawi dan non bendawi, sungguhlah bersifat heritage. Heritage yaitu sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa atau Negara selama bertahun-tahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter bangsa tersebut. (Sumber : Kamus Oxford hal:202).

 

Sementara UNESCO memberikan definisi “heritage" sebagai warisan (budaya) masa lalu, yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur.

 

Dalam buku Heritege Management Interpretation Identity, karya Peter Howord memberikan makna heritage sebagai segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam.

 

Sedangkan menurut Hall & McArther(1996:5) dalam bukunya Heritage Management memberikan definisi heritage sebagai warisan budaya dapat berupa kebendaan (tangible) seperti monument, arsitektur bangunan, tempat peribadatan, peralatan, kerajinan tangan, dan warisan budaya yang tidak berwujud kebendaan (intangible) berupa berbagi atribut kelompok atau masyarakat, seperti cara hidup, folklore, norma dan tata nilai.

 

Sehingga produk produk peradaban masa lalu, baik yang bendawi maupun non bendawi, layak menjadi perhatian dan pertimbangan untuk dikaji yang selanjutnya ditetapkan sesuai dengan aturan yang berlaku menjadi benda cagar budaya (heritage).

 

Ketika struktur, benda, bangunan dan bahkan kawasan telah ditetapkan sebagai cagar budaya (heritage), maka ada tanggung jawab terhadapnya. Di Indonesia lahir undang undang tentang cagar budaya dan pemajuan kebudayaan sebagai dasar hukum pelestarian banda dan nilai nilai. Undang undang ini mengamanahkan kepada warga negara akan adanya penyelamatan, pelestarian, perlindungan, pengelolaan hingga pemanfaatan.

 

Ketika cagar budaya (heritage) berada di tengah tengah peradaban yang berkemajuan, di sanalah lahir gaya tarik menarik antara kebutuhan pembangunan perkotaan (urban development) dan pengelolaan cagar budaya (heritage management).

 

 

Surabaya Ring Pertarungan 

 

Kota Surabaya bagai ring oktagon UFC dimana Urban Development bertarung melawan Heritage Management. Mereka saling bergelut hingga berdarah darah. Di atas ring itu, jika tidak ada wasit, maka salah satu bisa berujung kamatian.

 

Di atas ring oktagon Surabaya, disana berlagalah kedua belah pihak dalam kelas yang berbeda beda: Kelas Menengah, Kelas Menengah Super dan Kelas Berat. Peringkat kelas ini menggambarkan variasi bobot persoalan yang dipertarungkan antara Urban Development dan Heritage Management.

 

Di kelas Menengah ada persoalan Perubahan Nama Jalan. Di Kelas Menengah Super ada persoalan Pemasangan Papan Reklame pada titik cagar budaya dan di Kelas Berat ada persoalan Pembongkaran Cagar Budaya.

 

 

Pertarungan di Kelas Menengah

 

Saat ini yang sedang naik ring di Kelas Menengah adalah isu Persoalan Perubahan Nama Jalan Bubutan yang diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi A, DPRD Kota Surabaya, Camelia Habibah.

 

Jalan Bubutan, etalase sejarah kampung Bubutan. Ist.

 

Bubutan tidak hanya sebuah kawasan, tapi sekaligus nama Jalan yang menjadi etalase kawasan dan kampung Bubutan. Dalam peta Surabaya yang berangka 1825, nama jalan Bubutan sudah tercantum. Usianya hampir 200 tahun pada 2025. Nama Jalan Bubutan adalah hasil karya cipta manusia, yang sudah ada di tahun 1825. Diduga bahwa sebelum 1825, nama jalan Bubutan sudah ada.

 

Selain sebagai etalase kawasan dan kampung Bubutan, di dalamnya adalah etalase kesejarahan Bubutan. Secara klasik jalan Bubutan adalah benteng yang bernama Butotan. Di era kolonial, jalan Bubutan adalah jalur penting yang menjadi jalur utama perkembangan kawasan Bubutan.

 

Di sepanjang jalan Bubutan terdapat Penjara Bubutan atau Koblen, gereja Kristen, komplek gedung GNI, kantor Polisi, gedung Panti Asuhan yang berikutnya menjadi rumah sakit serta di kenal dimana rumah tokoh yang membuat logo organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatoel Oelama (NO).

 

Jika masing masing entitas itu dibedah, maka banyak sekali percikan sejarah yang menjadi latar belakangnya dan jalan Bubutan bagai urat nadi arteri yang menjadi jalur hidup dan kehidupan. Jalan Bubutan sendiri menjadi sebuah entitas peradaban kota Surabaya.

 

Kini entitas, yang sudah menjadi kearifan lokal Surabaya itu, ada yang mengusik untuk diganti namanya menjadi nama lain. Nama lain, yang diusulkan itu, dianggap memiliki sejarah.

 

Padahal sejarah yang dimaksud itu adalah bagian sejarah baru, yang baru mulai tumbuh di 1920-an di kawasan yang sudah ada di era klasik Surabaya, pada 1677.

 

Usulan perubahan nama itu adalah hasil pola pikir manusia moderen yang justru kurang mengetahui sejarah kota Surabaya.

 

 

Pertarungan di Kelas Menengah Super

 

Kelas ini kerap tergelar dan masih sangat berpotensi menyajikan laga laga berikutnya. Seru. Ini adalah pertarungan Pemasangan Reklame di titik dan obyek cagar budaya.

 

Sekarang yang lagi naik ring adalah pemasangan reklame di titik cagar budaya viaduk kereta api Kertajaya. Anggota Dewan DPRD Surabaya memprotes kebijakan pemasangan di titik cagar budaya itu. Pemkot Surabaya meloloskan pemasangan meskipun melanggar peraturan yang ada. Yaitu Perda 5/2005 tentang Cagar Budaya dan PP 56/200 tentang Perkereta-apian.

 

Isu Pemasangan Reklame di titik Cagar Budaya ini adalah dampak pertarungan antara Urban Development melawan Heritage Management.

 

Hal serupa pernah terjadi di titik yang sama pada 2015. Di masanya, dengan alasan menjaga estetika dan pelestarian cagar budaya, reklame reklame yang menjadi topeng di persil persil di Koridor jalan Tunjungan Surabaya dibersihkan. Kini jalan Tunjungan telah bersolek dengan gaun Tunjungan Romansa.

 

Ketika isu pemasangan reklame di titik cagar budaya masih terjadi pada saat ini, bukan tidak mungkin hal serupa masih akan terjadi pada masa mendatang. Inilah persoalan perkotaan yang memiliki warisan budaya (heritage).

 

Karenanya dalam ajang pertarungan ini, perlu ada wasit yang mumpuni dalam pertarungan antara Urban Development dan Heritage Management. Siapakah wasit itu?

 

Siapapun wasit nya adalah mereka yang bisa dengan bijak menjadi penengah agar kepentingan Urban Development tidak terhenti karena kepentingan Heritage Management. Pun sebaliknya Kepentingan Heritage Management tidak terganggu oleh Urban Development.

 

 

Pertarungan di Kelas Berat

 

Pada kelas ini, yang terjadi adalah pembongkaran bangunan cagar budaya. Demi dan alasan perkembangan kota, maka bangunan cagar budaya menjadi korban. BCB dibongkar. Contohnya adalah Stasiun Surabaya Kota (Semut), Rumah Radio Bung Tomo dan Rumah Ibadah Synegog.

 

Emplasemen stasiun Kota (Semut)

 

Ancaman serupa masih menghantui beberapa bangunan cagar budaya (BCB) dan obyek diduga cagar budaya (ODCB). Selama ini banyak Obyek Diduga Cagar Budaya yang telah rata dengan tanah karena statusnya yang belum ada penetapan cagar budaya.

 

Jika Urban Development sering memenangkan pertarungan dalam melawan Heritage Management, maka cepat atau lambat lansekap kota Surabaya bisa berubah. Perubahan lansekap ini sangat dimungkinkan akan menghilangkan nilai nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Maka ke depan Surabaya akan tumbuh menjadi sebuah kota masa depan yang kehilangan jati diri.

 

Surabaya akan tetap seperti Surabaya, tapi bukan Surabaya. Nah bingung kan? (Nanang)

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Pertukaran Budaya Indonesia Jepang Dalam Subtrack

Pulung Ciptoaji

Mar 02, 2023