Jan Pieterszoon Coen Gubernur Jenderal tahun 1619-1623 dan 1627-1629
abad.id- Ini cerita tentang kehidupan Kota Batavia yang teratur dan penuh kenangan tahun 1828. Kehiduan warga Kota Batavia dikisahkan Kapten Woodes Roger dan dr Stehler yang ditulis Frieda Amran. Ada sebuah kota yang penuh warga lalu lalang. Digambarkan Kota Batavia sangat indah. Beberapa tempat usaha sangat maju dan menguntungkan. Usaha penginapan selalu penuh pada saat Sabtu malam. Juga tempat hiburan juga bebas, namun harus mengikuti aturan. Sebab saat-saat tertentu ada prajurit-prajurit tampan melakukan patroli berkuda. Sesekali mereka mendekati kereta-kereta yang berisi wanita-wanita cantik. Acara seperti ini merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh nona-nona berbangsa Eropa dan Indo-Eropa untuk memamerkan kecantikan serta perhiasan kepada dunia.
Menurut dr Stehler, musik yang diperdengarkan di sebuah tempat penginapan tak kalah dengan yang ada di Eropa. Masyarakat di Batavia merangkul pemusik dan seniman dari Eropa. Di negeri sendiri, tidak banyak pemusik yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan keahliannya. Di Batavia, pendidikan musik mahal harganya dan orang bersedia mengeluarkan uang beberapa gulden untuk dapat belajar bermain musik.
Jika sore hari menjelang petang, udara terbuka di Batavia sangat menyenangkan. Saat telinga menikmati musik yang mengalun, setiap mata tak henti berputar mencari wanita-wanita cantik. Di sana-sini terdengar tawa meledak dan suara orang berkelakar. Banyak orang membawa bekal makanan dan minuman dari rumah. Berisi aneka cemilan ditemani gelas-gelas anggur merah dan bir.
Di Batavia semua orang tidur siang antara pukul. 13.00 dan 16.00. Bila tidak beristri, seorang lelaki yang merasa penat namun tak juga dapat tertidur, memanggil satu atau dua pembantu perempuan untuk memijatnya. Perempuan-perempuan itu mulai memijat perlahan-lahan. Di Hindia-Belanda, pijat-memijat butuh sebuah keahlian tersendiri.
Peraturan bagi tamu yang menginap di hotel. Foto facebook
Pertama-tama, dilakukan apa yang disebut pidjit, lengan, kaki, punggung, leher, dan kepala diberi tekanan-tekanan halus. Pidjit diikuti oleh sapoe-sapoe, yaitu gosokan-gosokan halus dengan telapak tangan. Setelah tubuh tuan besar rileks, para pembantu itu melanjutkan dengan gosok-gosok. Yaitu menyeka tubuh dengan handuk hangat. Ini diikuti oleh tombok, yaitu melakukan tekanan halus dengan kepalan tangan. Dr Stehler menyebutnya tjowit, cubitan-cubitan kecil di kulit dan ramas, yaitu menarik jari-jari kaki dan tangan hingga berderak, menutup seluruh rentetan pijat-memijat pada siang hari. Ketika akhirnya, kedua perempuan pembantu itu menutup pintu kamar, hanya terdengar dengkur Sang Tuan sebagai ucapan terima kasih.
Pada sore hari, semua orang Batavia bersiap pergi. Saat itu, hari Kamis dan Sabtu ada latihan Korps Musik Militer di depan istana Weltevreden. Setelah matahari terbenam, dari segala arah berdatangan kereta-kereta kuda. Setiap kereta dipenuhi wanita-wanita cantik. Kereta-kereta itu berhenti berdampingan membentuk setengah lingkaran mengitari barisan Korps Musik Militer. Tidak lama kemudian kereta kuda bergerak ke segala penjuru Batavia.
Batavia Dibangun Menjadi Kota Religius
Cita-cita Jan Pieterszoon Coen membangun Kota Batavia sebagai Gubernur Jenderal tahun 1619-1623 dan 1627-1629, ingin mendidik warganya untuk taat kepada Tuhan. Ia bertindak sebagai penjaga moral. “Tiada ampun bagi orang Belanda yang melanggengkan praktik perzinaan di Batavia, terutama pedofilia. Mereka diancam hukuman mati,”
Tepat setelah dua tahun berdirinya Batavia, Coen memperketat peraturannya. Isinya terpampang jelas jika semua laki-laki dengan jabatan apapun dilarang melakukan perzinahan. Apapun bentuknya. Peraturan itu juga ditunjukkan kepada wanita Eropa. Kaum wanita Eropa dilarang berhubungan seksual tanpa ikatan dengan sesama kaumnya, apalagi dengan kaum lain – dari Mardijker hingga orang Moor.
“Untuk mengendalikan arus balik tersebut, Pemerintah Agung menerapkan sejumlah peraturan ketat yang mengatur kehidupan bermasyarakat sesuai norma hidup di ‘Republik Kristen.’ Pergundikan dan ‘kumpul kebo’ dilarang keras dan mereka yang tertangkap basah melakukannya dihukum amat berat. Untuk menerapkan kebijakan itu jaksa kota dengan menunggang kuda dan pendeta dengan berjalan kaki rajin menyisir lingkungan pemukiman dan rumah-rumah,” tulis Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII.
Coen sebagai Gubernur Jenderal yang berkantor pusat di Batavia, banyak didedikasikan untuk memberantas penyakit moral. Pemberantasan makin kuat ketika Coen menaklukkan Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia pada 1619. Ia serta merta menginginkan Batavia muncul sebagai kota yang menganut nilai-nilai religius.
Coen mengupayakan segala cara untuk memberantas penyakit moral. Peraturan mengikat yang berlaku untuk semua orang Belanda yang tinggal di Batavia dikeluarkan olehnya. Orang Belanda di Batavia dilarang memiliki satu atau lebih budak wanita untuk dijadikan gundik dengan alasan apapun. Bagi Coen, terlalu banyak kasus aborsi di Batavia sangat menyedihkan. (pul)