images/images-1680760332.png
Sejarah
Data

Cerita Bandit Batavia Tinggal di Dunia Badut

Pulung Ciptoaji

Apr 06, 2023

565 views

24 Comments

Save

Sebuah kegiatan di LP jaman Hindia Belanda tahun 1912. Foto dok net

 

abad.id- Dunia perbanditan khususnya dan kriminalitas umumnya tidak akan hilang selama masih ada kehidupan dalam masyarakat. Ada beberapa jenis dan bervariasi menurut perkembangan. Sudah barang tentu, jenis kejahatan tertua untuk mendapat harta, kemudian disusul jenis kejahatan terhadap orang, kejahatan terhadap keselamatan publik dan moral, serta kejahatan terhadap orde sosial.

 

Di daerah Banten dan Batavia, dunia perbanditan merupakan resistensi terhadap penghisapan tuan-tuan tanah partikelir baik orang Belanda maupun Cina. Dalam buku Jawa Bandit-Bandit Pedesaan tulisan Suhartono W Pranoto menyebutkan, para bandit melakukan perlawanan dengan kemampuan fisik dan spiritualitasnya. Meskipun pada akhirnya, para bandit harus menyerah kalah dan mendapat hukuman yang tidak terduga.

 

Di Banten pada abad XIX misalnya, mengenal bandit yang disegani dan kebal peluru bernama Jakaria.  Dia dijuluki bandit sosial yang menolong sesamanya untuk menentang golongan penguasa yang telah mapan. Keturunannya menyebarkan gerakan antiketidakadilan yang akhirnya mengarah pada gerakan politik menentang pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk perbanditan.

 

Saat itu suasana pedesaan Banten masih keruh karena terus-menerus tidak aman. Pegawai pamongpraja rendahan setingkat wedana, sangat kesulitan memberantas perbanditan yang sudah endemis. Di satu pihak masyarakat sepertinya mengambil sikap tutup mulut dan tidak melapor perampokan jika terjadi. Padahal perampokan masih merajalela. Warga yang tidak peduli ini menjadi dilema bagi pamongpraja dan pemerintah kolonial. Di satu sisi pamongpraja selalu menjilat ke atas demi keselamatannya, di satu sisi lain tidak mampu menumpas bandit Jakaria yang makin tersohor.

 

Satu satunya jalan pintas dan mudah dengan membuat pengumuman pemberian hadiah bagi siapa saja yang berhasil menyerahkan bandit.  Cara seperti ini menjadi lazim dilakukan pada masa pemerintah Hindia Belanda.

 

Bandit Batavia

Eksekusi mati dengan di lakukan di tengah alun-alun jaman Hindia Belanda. Cara hukuman gantung pelan-pelan mulai ditinggalkan pemerintah karena dianggap tidak memberikan efek jera. Foto dok net 

 

Ternyata strategi sayembara ini bukan menyelesaikan masalah dunia perbanditan. Justru hingga tengah kedua abad XIX masih diwarnai suasana mencekam dengan marak kriminalitas. Bahkan muncul nama-nama baru lebih muda dan agresif, seperti Sahab, Conat, lja, Sakam dan Kamudin. Aksi mereka semakin tidak jelas arah, sebagai bandit sosial dan bandit politik. Tetapi ada juga yang masih murni sebagai penjahat biasa.

 

Sahab  isalnya, beroperasi di Banten Selatan selama bertahun-tahun. la berpengalaman keluar-masuk penjara. Untuk menghentikan aksi nakalnya, dia diangkat menjadi demang oleh Patih Lebak, agar keamanan dapat ditegakkan. Memang benar bahwa para bandit merupakan "pelindung" dan pemerintahan "bayangan". Tidak mengherankan jika sebuah pedesaan yang dipimpin oleh bandit justru tempat paling aman dan tentram.

 

Sementara itu bandit lja masih agresif dengan melakukan perampokan dengan korban seorang Belanda. Setelah melewati proses hukum, ternyata hanya orang lain yang dipenjara karena kebetulan ketahuan menyimpan benda milik korban. Tak lama menjalani hukuman penjara ia dibebaskan, dan pihak pamongpraja justru merasa terima kasih kepadanya.

 

Seorang bandit kenamaan bernama Sakam, dikenal sangat ganas dengan menyerang desa dan tidak segan-segan membunuh korbannya. Pemerintah putus asa menangkap Sakam hidup-hidup. Akhirnya dicarikan alibi. Seorang bernama Suhari divonis pengadilan Batavia atas nama Sakam sang bandit pada tahun 1886. Sakam sendiri masih berkeliaran dengan leluasa, tetapi akhirnya dapat ditangkap dan dibunuh oleh jaksa Serang. Meskipun kabar tewasnya Sekam asli sudah menyebar, masyarakat masih belum percaya Sakam sudah tewas. Sebab dia dikenal manusia yang sakti. Sakam tidak mati tetapi masih hidup terus dan mengelana karena mempunyai kesaktian.

 

Masyarakat Banten juga mengenal seorang raja jawara bernama Saniin Gede. Dalam catatan Multatuli di buku Max Havelaar, sejak dulu sudah ada perbanditan terorganisasikan. Selanjutnya dikatakan bahwa daerah operasi bandit itu meliputi Banten, Tangerang, Jatinegara, Karawang, dan Bogor. Para bandit ini melawan siapapun termasuk hukum yang diterapkan pemerintah kolonial.

 

Bandit Entong Tolo Kabur Bawa 5 Istri

 

Batavia sudah menjadi pelabuhan besar pada pertengahan abad XIX dan dihuni warga banyak suku. Pedagang-pedagang dari seluruh Nusantara singgah di kota ini dan mendirikan perkampungan sendiri. Demikian pula orang-orang Cina, India, dan Arab mempunyai kampungnya sendiri yang dipimpin kepala kampung yang dipercaya pemerintah. Karena rendahnya rasa solidaritas antar suku dan ketimpangan sosial, tidak mengherankan banyak kerusuhan dan kriminalitas. Perampokan besar petnah terjadi pada tahun 1880. Perampokan tahun ini cukup meresahkan pemerintah dan harus ditanggulangi agar tidak meluas.

 

Pelaku perampokan itu sudah diketahu oleh polisi Batavia, bernama Entong Tolo dan Entong Gendut. Keduanya dikenal sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi poitik meskipun sangat terbatas  wilayah Jatinegara. Mereka juga dikenal sebagai "Robin Hood" Batavia yang anti tuan tanah. Sejak ada peraturan petani yang tidak membayar pajak bisa dikenakan denda dan dipenjarakan atau dibakar harta benda, maka mengetuk hati kedua tokoh ini untuk tampil membela penderitaan petani.

 

Usia Entong Tolo sebenarnya sudah bukan anak muda, sekitar 50 tahun. Awalnya seorang pedagang asal Pondok Gede, kemudian pindah ke Pagerrarang Jatinegara. la dikenal sebagai bandit yang berbuat kejahatan, termasuk melakukan pencurian hewan. Hidupnya tidak teratur, dan tinggal di wilayah campuran etnik yang mendiami kota Batavia. Situasi masyarakat yang tidak "menentu" itu menyebabkan hilangnya wibawa penguasa dan tidak ada kekuasaan dimata warganya. Dalam keadaan seperti ini Entong Tolo mengambil keuntungan, dengan membantu petani yang tinggal di tanah partikelir yang menderita tekanan pajak. la melakukan perampokan besar di tanah partikelir, antara lain di Sawangan dan Jatinegara.

 

Setelah aksi perampokan itu, Entong Tolo hidup sebagai buron yang berpindah-pindah tempat yang ditemani istri-istrinya. Namun ada yang patut disayangkan atas perilaku gaya hidung Entong Tolo ini. Ia dianggap kurang terpuji karena selama menjadi buron justru hidup lebih enak bersama lima orang istrinya,  daripada melindungi petani dengan hasil rampokannya. la hidup dari "kasih sayang" masyarakat sambil melakukan perampokan.

 

Entong Tolo dianggap pemerintah mengganggu keamanan dan sepantasnya jagoan Entong Tolo dibuang keluar Jawa. Rupanya polisi kewalahan untuk membawa Entong Tolo ke meja hijau karena polisi tidak mempunyai bukti perbuatan kejahatan. Selain itu, tidak ada yang berani menjadi saksi, baik penduduk setempat dan polisi. Lagi pula perbuatan Tolo dianggap bukan sebagai pengacauan politik, karena di tempat itu tidak ada penguasa tradisional, tetapi yang ada tuan tanah partikelir.

 

Wibawa pemerintah sangat lemah untuk menindak Tolo, meskipun akhirnya berhasil ditangkap pemerintah pada November 1908. Dua orang anak Entong Tolo, yang pertama dihukum kerja paksa di Bekasi tahun 1904 dan anak ke dua dihukum karena mengikuti jejak orang tuanya menjadi penyamun.

 

Sebenatnya ada bukti yang bisa menjeratnya ke dalam penjara, yaitu kasus pencurian di rumah Gorin pada tahun 1906. Namun pemerintah masih kewalahan untuk menindak dan menjebloskan dalam penjara. Jangan-jangan keamanan reda selama Entong Tolo dipenjara, setelah keluar kasus kejahatan akan muncul lagi dan lebih ganas. Akhirnya diputuskan oleh Residen Batavia, agar Entong Tolo dibuang ke Manado, dengan tunjangan f 10,-/bulan selama enam bulan.

 

Entong Gendut Bandit Paling Religius

 

Selain Entong Tolo, ada tokoh bandit di Batavia bernama Entong Gendut pada tahun 1916. Nama Entong Gendut dianggap simbol resistensi antituan tanah. Gendut meneriakkan suara ketidakpuasan petani di tanah partikelir Tanjung Timur, Asisten Wedana Pasar Rebo, afdeling Jatinegara. Resistensi petani di tanah partikelir ini kemudian berkembang menjadi gerakan quasi-religius.

 

Ceritanya berawal pada 7 Maret 1916, Asisten Wedana Pasar Rebo mendatangi rumah Taba untuk melakukan eksekusi. Rumah dan kekayaannya harus dijual untuk membayar utang sebesar f 7,20. Pada waktu itu Entong Gendut dengan 50 orang pengikutnya mencoba menggagalkan niat Asisten Wedana.

 

Aksi balas dendam Entong Gendut dilakukan satu bulan berikutnya tanggal 5 April, dengan cara pembubaran paksa pertunjukan topeng di rumah Nyonya Van der Vasse Rollinson di Villa Nova. Tidak lama kemudian rumah tuan tanah Tanjung Timur, D.C.Ament, juga dilempari batu oleh kelompok Entong Gendut.

 

Dari awalnya hanya menghalangi eksekusi penduduk Batuampar dan Balekambang karena tidak melunasi utang dan kewajibannya, ternyata pengikut Entong Gendut bertambah banyak. Bahkan massasering menyebut Raja Muda yang dibantu delapan orang patih.

 

Puncak kenalakan Entong Gendut Pada tanggal 9 April 1916 dengan mengancam Asisten Wedana. Sejak saat itulah dilakukan perburuan menangkap Entong Gendut dan kelompoknya. Bukannya berhasil, Asisten Wedana justru menjadi tertawan Entong Gendut. Sehari kemudian April Asisten Residen Jatinegara dengan pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut dan membebaskan Asisten Wedana.

 

Entong Gendut menemui Wedana dengan membawa benda panjang yang dibungkus kain putih, memakai beberapa bilah keris, membawa bendera merah dengan gambar bulan sabit ditengah-tengahnya. Pengikutnya bergerak maju sambil meneriakkan "Allahu Akbar" sebagai wujud sabilillah dan terus menyerang polisi. Baku hantam tidak dapat dihindarkan dan Entong Gendut terkulai kena tembakan. Sebanyak 40 pengikut Entong Gendut memilih melarikan setelah tahu Raja Muda terkena tembakan. Sejak saat itulah dilakukan penggeledahan dan pengejaran terhadap yang masih hidup pengikut Entong Gendut.

 

Suhartono W Pranoto dalam Dalam buku Jawa Bandit-Bandit Pedesaan membuat kesimpulan bahwa, bentuk perlawanan para bandit paling banyak di daerah yang domisili petani. Tumpang tindih lokasi perkebunan dan sawah di pedesaan merupakan refleksi perebutan kepentingan yang merupakan hidup-matinya dua golongan yang berbeda. Pihak perkebunan mewakili kapitalis dalam menjalankan eksploitasinya mendapat bantuan dari pemerintah. Sehingga dalam setiap usaha dan tindakan selalu menang.

 

Sesungguhnya antara kapitalis dengan pemerintah sudah mendapat keuntungan dari kegiatan eksploitasi terhadap petani. Karena itulah petani merasa dirugikan oleh persekongkolan dan berusaha untuk mendapat kembali hak-haknya yang telah diambil itu. Akhirnya hukum yang berlaku dengan memaksa mengunakan kekerasan disertai tindakan fisik. Tujuannya hanya ingin merugikan usaha-usaha para kapitalis.  (pul)

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023