abad.id-Peran ulama dalam mendapatkan kemerdekaan dari penjajah umumnya dikaitkan dengan semangat jihad saat perang 10 November di Surabaya. Padahal jauh sebelum itu, kelompok ulama sudah menghimpun organisasi yang bertujuan membangun kesadaran sebuah bangsa yang mandiri. Serikat Islam misalnya, menjadi organisasi perlawanan yang menyadarkan pentingnya sebuah negara di bumi Nusantara.
Saat Jepang mengambil alih kekuasaan dari Belanda tahun 1942, rupanya sadar perlu melibatkan umat Islam untuk membangun kesadaran perjuangan bersama. Letnan Jendral Kokubu Shinshichoto dan Kolonel yamamoto Moishiro mendapatkan tugas memobilisasi seluruh rakyat. Kedua perwira militer ini merangkul kalangan pemimpin Islam, dengan tujuan ingin mengambil simpati Islam agar mau mendukung perang melawan negara-negara Barat
Baca Juga : Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Pernah Menyatu di Masyumi
Kolonel Yamamoto Moishiro Pemimpin Bagian Pengajaran dan Agama mulai melakukan penjajakan dengan mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama Islam dari seluruh Jawa Timur. Dari kota ini memindah organisasi MIAI awalnya dari kenuju Jakarta pada 4 September 1942. Adapun tugas MIAI menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia, mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman dan ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Melihat MIAI mulai berkembang mengarah ke kegiatan politik, Jepang mulai waspada. Apa lagi MIAI dianggap tidak berkontribusi terhadap perang. MIAI akhirnya dibubarkan pada November 1943 dan diganti dengan Majelis Penasehat Islam Indonesia yang dalam Bahasa Indonesia disingkat Masyumi.
Kepemimpinan Masyumi diambil alih ulama kharismatik Hasyim Ashari. Wakilnya dari Muhammadiyah antara lain KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, KH Wahid Hasyim, dan Kartosudarmo.
Baca Juga : Gus Ardhi: Ingat, NU Keluar Dari Masyumi Secara Demokratis
Dalam pidato singkatnya Wachid Hasjim pada pada awal pembentukan tahun 1943 saat rapat besar Umat Islam, selalu mengingatkan agar kelompok Islam jangan terlalu terlena dengan kebaikan hati penjajah Jepang. Jangan sampai kejadian serupa pada jaman Belanda terulang. Yaitu diberi fasilias berorganisasi namun lupa terhadap tujuan utama. “kita mendjadi bangsa seperti anak-anak. Jaitoe selaloe meminta minta, selaloe berharap belas kasihan orang selaloe mengoescelkan inl dan mengoesoelkan itoe,” kata Wachid Hasjim dalam awal pidatonya.
Isi pidato perkenalan Indonesia akan Merdeka
Menurut pendiri NU ini mengatakan, situasi sedang menuju perubahan besar. Maka umat islam harus mengubah gaya perjuangannya. Tidak menjadi kaum kanak-kanak yang menjadi beban bagi Perintah jepang. sebaliknya menjadi bangsa yang dewasa, bangsa laki-laki yang memberikan tenaga.
Wachid Hasjim mengibaratkan, hendaklah tidak seperti bangsa kanak-kanak saja, yang sudah cukup puas diberi coklat saja. Namun tidak mempunyai tenaga untuk menghasilkan uang membeli coklat.Sebaliknya harus menjadi bangsa dewasa, bangsa laki laki yang mempunyai kesanggupan untuk membeli coklat dan selain coklat. Bahkan jika perlu untuk membeli kereta apl, dan pabrik-pabrik.
Wachid Hasjim juga menceritakan perjalanannya sepulang dari Madinah. Seorang pejiarah di kota suci itu dimarahi Gubernur setempat. Sebab “Sampai kapan toean-toean memperboedak manoesia, sedang mereka itoe diperanakkan iboenja sebagal orang MERDEKA?" Dari oetjapan itce kita tahoe, bahwa Islam adalah agama kemerdekaan,” kata Wachid Hasjim.
Wachid Hasjim merasa perlu menghargal keni'matan Allah yang diberikan dengan perantara Dai Nippcn. Yaitu janji kemerdekaan di kemudian hari. Jika tidak menyiapkan diri secara sungguh-sungguh maka akan menjadi sebuah bangsa yang tidak jauh beda dengana penjajahan Belanda. “Soenggoeh hidoep kita sangat soesah dan sengsara,” tegas Wachid Hasjim.
Wachid Hasjim mengajak untuk melupakan keburukan dan kesalahan yang sudah dilakukan pada masa lampau. Harus pula menyatukan satu kekuatan dengan pengalaman mudah dipecah belah. “ Maklum saudara-saudara, kaoem pendjadjah itoe sama sekali tidak memikirkan kemanoesiaan. Tidak mengenal keadilan, tidak tahoe arti belas kaslhan. Mereka membikin anak-anak kita loepa dan bodoh tentang sedjarahnja, loepa dan bodoh tentang kebesaran nenek mojangnja, loepa dan bodoh tentang nasib mereka dibelakang hari, loepa akan Toehannja dan tidak tahoe arah Qiblatnja. Didalam lapangan ekonomi, soenggoeh nasib kita menjedihkan sekali dibawah penindasan mereka,” kata Wachid Hasjim.
Selama tetap menjadi beban pemerintah Balatentara Dai Nippon, keadaan bangsa akan tetap tidak berubah. Dan kemerdekaan yang di impi-impikan itu akan tetap bergantung di awang-awang. “Hari kiamat akan 'tiba koerang 3 hari, baroe kemerdekaan itoe toeroen pada kita. Tetapi tidak ada lagi harganja sebab sebentar sesoedah itoe kita semoea soedah dillang koeboer,” kata Wachid Hasjim.
Maka Wachid Hasjim mengajak semua pihak membuang jiwa kanak-kanak itu, dan berjanji untuk berjuang mati-matian bersama Balatentara Dai Nippon, untuk menuju bangsa yanag merdeka. “Djandji Dal Nippon akan mempertjepat hasilnja kemenangan achir dan djandji pada diri sendiri akan meoedjoedkan Indones'a Merdeka,” kata Wachid Hasjim. (pul)