Suasana kemacetan Jakarta pada tahun 1966. Foto Fb
abad.id- Persoalan lalu lintas dan angkutan tak ubahnya dengan gelombang di lautan. Datang, mereda, gemuruh, lalu mereda lagi. Tak henti-hentinya. Lalu lintas di Jakarta menjadi persoalan yang rumit. Sejak Ali Sadikin jadi gubernur masalah ini sudah menyita waktu untuk memikirkan dan memecahkan masalahnya. Salah satu masalahnya kurangnya jumlah dan panjang jalan serta sempitnya jalan-jalan yang sudah ada. Jalan tak sebanding dengan jumlah kendaraan.
“Kalau kita memperhatikan perkembangan jalan-jalan di Jakarta, permasalahan peledakan penduduk juga akan muncul pula masalah transportasi. Kondisi ekonomi yang lebih membaik sejak tahun 1972 memberi pengaruh pada gairah hidup, memberi gairah masyarakat untuk lebih maju lagi. Ini berarti makin meningkat pula tuntutan masyarakat Jakarta,” kata Bang Ali seperti yang dikutip dalam buku Bang Ali Demi Jakata 1966-1977 tulisan Ramadgan KH.
Baca Juga : Hikayat Sesak Nafas Penumpang Bus Kota Jakarta
Khusus lalu lintas ini, Ali Sadikin selalu ingat angka pertumbuhan pemilik kendaraan bermotor. Pada tahun 1970 jumlah tambahan kendaraan bermotor ada 220.000 lebih, pada tahun 1972 sudah hampir 300.000 buah, serta pertumbuhan tahun 1976 sudah jadi 560.000 buah lebih. Dengan kenaikan kendaraan rata-rata lebih dari 16,5 persen terasa tidak seimbang dengan penambahan jalan-jalan yang hanya 4 persen setahun. Dari angka-angka tersebut dapat dibayangkan pasti muncul masalah lalu lintas. Bahkan dapat dilihat pula dari data-data kepadatan lalu lintas pada jalan-jalan tertentu yang sudah di luar kapasitas kemampuannya.
Akhirnya, Ali Sadikin terpaksa mengambil kebijaksanaan untuk menentukan beberapa jalur jalan dengan sistem satu arah. Selain itu pengendalian secara umum diatur dengan trofle lighte. Penggunaan komputer untuk pengaturan lalu lintas juga dilakukan. Namun kebijaksanaan yang sudah Bang Ali tempuh terakhir itu baru merupakan pemecahan sementara.
“Selain usaha untuk menyusun penyempurnaan pola lalu lintas yang baik, sekaligus juga berkaitan dengan sistem angkutan umumnya, polanya telah selesai disiapkan dengan bantuan ahli-ahli dari Jerman,” kata Bang Ali.
Di tahun 1967 jumlah kendaraan bermotor di ibukota meliputi setengah juta. Sedang yang mendapat kecelakaan setiap harinya rata-rata dua orang meninggal dan 17 orang menderita luka-luka. Jadi dalam satu tahun yang meninggal akibat kecelakaan meliputi 726 orang.
Baca Juga : Celana SMP, Baju SMA, Wajah Kepala Sekolah
Terkait becak, sebenarnya sudah menjadi masalah lama di ibu kota. Namun apapun resikonya tetap harus ditertibkan. Tak bisa dibiarkan terus, sementara jumlah kendaraan naik terus. Mulai September 1970 ketentuan-ketentuan lalu lintas dan tindakan-tindakan tegas diambil terhadap pelanggaran peraturan lalu lintas. Misalnya mengenai rebewes, tempat parkir, dan sebagainya. Ali Sadikin mengerti, bahwa tindakan Pemerintah DKI terasa berat oleh para pengemudi becak. “Tapi percayalah bahwa tujuan tindakan kami adalah baik, yakni untuk memperlancar lalu lintas dan untuk mengamankan jiwa pemakai jalan pada umumnya, termasuk jiwa para pengemudi becak sendiri," terang Bang Ali
Maka Ali Sadikin memutuskan pendaftaran kembali becak-becak. Lalu ditentukan warna becak menurut wilayahnya, ketentuan mengenai pangkalan becak. Sementara itu di jalan-jalan strategis polisi lalu lintas memberikan penerangan tentang ketertiban lalu lintas, bagi para pengemudi becak maupun pejalan kaki dan pengendara mobil.
Ada tiga zone bebas becak, zone A, B dan C. Seketika orang ramai membicarakan soal ini. Pers pun mencerminkan buah pikiran masyarakat tentang aturan Ali Sadikin ini. Pada awalnya media menyuguhkan pemberitaannya kurang tepat. Maka Ali Sadikin tidak jemu memberikan penjelasan kepada pers bagaimana sesungguhnya policy mengenai becak ini. “Tahap demi tahap becak harus bisa dihilangkan dari tengah kota Jakarta. Banyaknya becak menimbulkan 1001 macam masalah. Jika macet semua pihak merugi. Lalu lintas di Jakarta harus lancar,” jelas Ali Sadikin.
Sejak awal menjabat, Ali Sadikin sudah berpikir bahwa pada satu saat nanti, bemo pun harus menyisih juga, diganti dengan yang lainnya. “Waktu itu kami sudah menghitung, berapa jumlah bemo yang bisa kami tenggang, yakni 2.000 buah saja,” tambah Ali.
Kekurangan bemo bisa saja diimpor dari Jepang. Sedangkan soal tarifnya diatur oleh DLLAD bahwa per rit Rp. 50,. Angka itu masih ditinjau lagi karena dalam prakteknya sering menemukan kesulitan bagi penumpang. Maklumlah, bemo masih suka menarik orang lain di tengah jalan. Padahal jika sudah dinaiki orang, maka tidak boleh narik lagi.
Baca Juga : Celana Jeans Bukan Busana Biasa
Pada kuartal pertama di tahun 1972, Bang Ali juga menertibkan rute oplet-oplet secara menyeluruh. Oplet-oplet diatur untuk menjadi angkutan ke arah luar kota saja. Mengisi kekosongan disebabkan diubahnya rute oplet, didatangkan pula 500 bis. Bis-bis itu untuk rute jalan utama dalam kota.
Di samping itu didatangkan taksi-taksi secara bertahap. Maka kelihatan pengangkutan umum di Jakarta membaik. Artinya lebih baik daripada sewaktu Ali Sadikin mulai awal bertugas. Tapi toh masalah masih timbul terus, dan Ali Sadikin tidak bisa berhenti memecahkan persoalannya. (pul)