images/images-1681923083.jpg
Sejarah

Strategi Geopolitik Kertanegara Dalam Ekspedisi Pamalayu

Malika D. Ana

Apr 19, 2023

437 views

24 Comments

Save

Strategi Geopolitik Kertanegara Dalam Ekspedisi Pamalayu

 

 

Abad.id - Benarkah pemahaman sejarah tentang ekspedisi Pamalayu dipersepsikan sebagai sebuah penaklukan Jawa atas Sumatra? Tampaknya, inilah yang membuat para sejarawan dan arkeolog berpendapat pro dan kontra. Mereka menuding para ilmuwan Belanda yang menjadi biang keladi pemahaman tersebut. Padahal, sejauh ini hasil penelitian belum pernah menemukan bukti otentik yang mendukung bahwa ekspedisi Pamalayu adalah penaklukan Jawa atas Sumatra.

 

Pendapat yang mendukung bahwa Ekspedisi Pamalayu bukanlah penakhlukan tetapi persahabatan saya rangkum sebagai berikut. Bukti temuan sejarah berupa patung Amoghapasa dan Bhairawa, menarasikan bahwa sampai saat ini belum ditemukan bukti mendukung yang menguatkan bahwa ekspedisi Pamalayu adalah merupakan penaklukan Jawa atas Sumatra.

 

Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah perjalanan muhibah yang dilakukan kerajaan Singasari di Jawa Timur ke Kerajaan Swarnabhumi yang terjadi di abad pertengahan. Ketika itu Prabu Kertanegara dari Singasari memerintahkan sebuah perjalanan ekspedisi ke Tanah Malayu dengan membawa patung Amoghapasa. Sepaket dengan archa itu, Prabu Kertanegara mengirim surat, bahwa patung Amoghapasa itu merupakan hadiah darinya untuk didirikan di Dharmasraya sebagai simbol persahabatan agar rakyat Swarnabhumi bersukacita karenanya.

 

Arca Amoghapāśa yang ditemukan di kampung Rambahan, sedangkan lapiknya ditemukan di Kampung Padangroco. Pada bagian lapik dipahatkan prasasti pada keempat sisinya, dikenal dengan nama Prasasti DharmmasrayaArca Amoghapāśa yang ditemukan di kampung Rambahan, sedangkan lapiknya ditemukan di Kampung Padangroco. Pada bagian lapik dipahatkan prasasti pada keempat sisinya, dikenal dengan nama Prasasti Dharmmasraya

 

Prasasti Dharmmāśraya (dipahatkan di bagian alas) menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Masehi sebuah arca Amoghapāśa dengan keempatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhūmijawa ke Swarnnabhūmi untuk ditempatkan di Dharmmāśraya sebagai punya (hadiah pemberian) Śrī Wiswarupakumara. Pejabat tinggi kerajaan yang diperintahkan oleh Śrī Mahārājādhirāja Kṛtanāgara untuk mengiringkan arca tersebut ialah Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrāhma, Rakryān Sirīkan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payāṅan Haŋ Dīpaŋkaradāsa, dan Rakryān Dmuŋ Pu Wīra. Seluruh rakyat Mālayu-Dharmmāśraya dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya, ialah Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa (Hasan Djafar 1992: 56-58).

 

Isi prasasti tersebut jelas memberikan informasi kepada kita bahwa penguasa Mālayu- Dharmmāśraya pada waktu itu adalah Śrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa, dan berkedudukan di Dharmasraya. Lokasi Dharmasraya ini ada di sekitar daerah Kabupaten Dharmasraya di Kampung Ram¬bahan, tempat di mana prasasti ini ditemukan pada sekitar tahun 1880-an (Krom 1912: 33-52). Di sekitar daerah ini ditemukan juga beberapa kelompok bangunan suci yang terdapat di beberapa lokasi, yaitu Padangroco, Pulau Sawah, Siguntur, dan Rambahan (Bambang Budi Utomo 1992: 158-192).

 

Ekspedisi Pamālayu oleh beberapa sarjana ditafsirkan sebagai pendudukan atau penguasaan atas Mālayu-Dharmmāśraya. Namun berdasarkan isi Prasasti Dharmmāśraya petunjuk tersebut tidak tampak indikasi pendudukan ‘Siŋhasāri atas Mālayu’, seperti tercantum dalam kalimat “Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya Śrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa”. Arca Amoghapāśa yang dikirimkan oleh Kṛtanāgara ditemukan kembali di Rambahan yang letaknya sekitar 4 km. ke arah hulu dari Padangroco. Meskipun ditemukan terpisah, namun berdasarkan isi Prasasti Dharmmāśraya yang dipahatkan pada bagian lapik arca, arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan ternyata merupakan pasangannya.

 

Arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an (Krom 1912: 48) memberikan pentunjuk kepada kita bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di daerah itu (Mālayu) adalah Śrī Mahārājā Ādityawarmman, upacara yang bercorak tantrik, pendirian sebuah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Informasi yang terdiri dari 27 baris itu dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa yang dikirim oleh Kṛtanāgara. Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana beranggapan bahwa pada tahun 1347 merupakan tahun awal pemerintahan Ādityawarmman di Mālayu.

 

Kesimpulan bahwa ekspedisi Pamalayu merupakan bentuk penaklukan Jawa atas Sumatra dilakukan oleh seorang lmuwan Belanda. Dia menuding, Belanda sengaja memutarbalikkan sejarah untuk memuluskan pelaksanaan politik pecah belah di tanah air.

 

Ekspedisi Pamalayu merupakan wujud politik luar negeri atau strategi geopolitik Prabu Kertanegara untuk membangun kekuatan dalam rangka menghambat pengaruh Mongolia ke Nusantara. Sejak semula, kerajaan Singasari telah dbayang-bayangi dengan invasi pasukan Mongol dibawah raja Kubhilai Khan. Oleh karena itu, Prabu Kertanegara membangun persahabatan dengan raja raja di Sumatera yang kala itu lebih dikenal dengan sebutan tanah Malayu.

 

Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan menjalin kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Mongol dari Dinasti Yuan yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang). saat itu Dinasti Yuan atau dikenal sebagai Dinasti Mongol sedang melakukan ekspansi wilayah besar - besaran, bahkan memiliki bentangan wilayah kekuasaan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Mongol juga berhasil menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Eropa Timur.

 

*Baca juga : https://abad.id/newsDetail/936-kekalahan-mongol-di-jawa

 

Pada saat itu Dinasti Mongol berusaha mengadakan perluasan pengaruh kekuasaanya diantaranya ke wilayah Jepang dan Jawa. Jelas sudah apa yg dipikirkan oleh Raja Singhasari masa itu Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa adalah upaya antisipasi sejak dini untuk menghadang langsung armada Mongol yang sewaktu - waktu datang dan masuk ke perairan Jawa sekaligus mengamankan daerah strategis Selat Malaka. Pengiriman pasukan ke Sumatera dilakukan pada tahun 1275 di bawah pimpinan KeboAnabrang. Kemudian pada tahun 1286 Raja Kertanagara mengirim kembali utusannya yang dipimpin langsung oleh elit Singhasari Rakryan Maha Mantri Dyah Adwayabrahma membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Dharmasraya yang saat itu rajanya adalah Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa.(mda)

 

*Baca juga :

https://abad.id/newsDetail/721-kontroversi-mahisa-anabrang

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022