abad.id-Sejarah gelar Haji diberikan Pemerintah Hindia Belanda kepada umat Islam di Nusantara yang baru saja pulang dari Tanah Suci setelah selesai menunaikan rukun Islam kelima. Pemberian gelar bukan sebagai bentuk penghormatan, melainkan sebagai langkah antisipasi Pemerintah Kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia yang biasanya dipimpin para haji.
Baca Juga : Politik Gelar Haji Pemerintah Kolonial Belanda
Cerita labelel haji ini berawal dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang tidak pernah melihat ibadah haji dari sudut pandang politik, melainkan dari perdagangan yang membawa keuntungan. Sebab, para pegawai VOC bisa menyediakan kapal-kapal untuk perjalanan ke Saudi. Penyelenggaraan haji sebagai gerakan politik baru terasa ketika VOC bangkrut dan digantikan Kerajaan Belanda. Sejak tahun 1825, Pemerintah Hindia Belanda membatasi jumlah umat Islam yang ingin berangkat ke Tanah Suci. Tujuannya tak lain agar tidak ada pergolakan politik.
Warga sedang menunggu kapal di pemondokan haji. Foto dok net
Salah satu cara yang dilakukan adalah menaikkan biaya haji. Tapi bukannya berkurang, jumlah umat Islam tetap mengalami lonjakan. Cara kedua membatasi yaitu dengan memberlakukan "ujian haji". Mereka yang mengaku baru pulang dari Tanah Suci harus bisa membuktikan kebenaran benar-benar mengunjungi Mekkah. Jika dianggap lulus, mereka berhak menyandang gelar gaji dan diwajibkan memakai "pakaian khusus haji" berupa jubah, serban putih atau kopiah putih. Dari Ujian Haji itulah penyematan haji diberlakukan.
Baca Juga : Brak !, DC 8 Martin Air Menabrak Gunung, Ratusan Haji Langsung Husnul Khatimah
Pemerintah Kolonial Belanda juga mendatangkan ahli Islam Snouck Hugronje untuk didengarkan pendapatnya. Sejak tahun 1887 Snouck Hugronje diangkat menjadi penasehat pertama departemen Pribumi. Apapun pernyataan Snouck Hugronje menjadi panduan pemerintah Kolonial Belanda untuk membentengi ancaman kelompok Islam.
Snouck Hugronje memberi nasehat agar selama tidak melibatkan diri dalam aktifitas politik, sebaiknya pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap netral dengan kelompok Islam. Serta tidak menghalangi kegiatan penyebaran agama Islam dan ibadah haji ke tanah suci. Khusus kebijakan soal ibadah haji ini, pemerintah Kolonial Belanda melakukan langkah-langkah ekstra hati-hati.
Baca Juga : Misbach Dijuluki Haji Merah
Pemerintah Kolonial Belanda selalu kewalahan karena setiap ada warga pribumi pulang dari Tanah Suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan. Maka dibuatlah politik gelar haji yang hanya ada di Nusantara. Gelar ini tidak hanya mengandung pengakuan kesalehan, dan derajat sosial-budaya, namun juga bentuk derajat politik untuk memudahkan pengawasan pemerintah Kolonial Belanda. Maka pada 1916, penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar haji. Tujuannya agar gampang diawasi intelijen.
Pendapat Abdul Mun’im seorang sejarawan NU mengatakan, gelar haji disandang oleh umat Islam sudah lama ada dan bukan atas dasar ordonansi Belanda. Gelar haji disandang umat Islam bukan atas dasar ordonansi Belanda pada 1859. Para ulama dan raja di Riau sejak dahulu sudah menggunakan gelar haji pada abad 17. “Ordonansi Belanda terjadi pada 1859, penggunaan gelar haji baru efektif dilakukan tahun 1872. Sebab pada tahun itu Belanda baru bisa mendirikan konsulat di Jeddah,” kata Abdul Mun'im,.
Baca Juga : Mengenal Langgar Gipo, Pernah Jadi Markas Laskar Hisbullah
Gelar haji digunakan untuk mengontrol dan mencatat pergerakan kaum nasionalis. Sebab dikawatirkan para haji ini membawa pulang nilai nilai kebangsaan. Sepulang dari haji, mereka menjadi seorang yang militan dalam pergerakan kebangsaan. (pul)