Peristiwa Kudatuli 1996. Foto dok timesindonesia
abad.id-Tahun 1996 bisa diartikan percikan perpecahan di tubuh ABRI yang pada puncaknya terjadi reformasi dua tahun berikutnya. Ada kelompok ABRI gerakan mantan Panglima Kodam Jaya A.M. Hendropriyono dan Agum Gumelar, mantan Panglima Kopassus. Dua tokoh ini secara terbuka mendukung putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri, untuk menjadi Ketua Umum PDI di sebuah kongres tahun 1993.
Dua jendral ini berada di belakang Megawati saat menghadapi lawan politik para jendral yang ingin menyingkirkannya sebelum Pemilu 1997. Para jenderal itu terdiri dari Panglima ABRI Faisal Tanjung, Panglima Kodam Jaya Sutiyoso, dan Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono.
Baca Juga : Ada Cerita Dibalik Tidurnya Gus Dur
Dalam buku Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998 tulisan Yusuf Wanandi, seakan terlalu memposisikan Benny Moerdani sebagai tokoh yang mengerti sejak awal peristiwa itu. Digambarkan Wanadi, saat itu Benny Moerdani sudah tidak punya jabatan. Namun dari belakang layar Benny Moerdani terlibat dalam pertarungan tersebut. Kepada Agum Gumelar dan Hendropriyono, Benny menyatakan, "Kita harus melindungi Megawati. Jangan sampai mengecewakan dia. Saya tahu orang tua itu ingin menggesernya. Ini tidak adil," tulis Yusuf Wanandi.
Namun mereka tidak dapat berbuat banyak, dan hanya bisa melindung Megawati sampai batas tertentu. Sebab ruang gerak para jendral ini juga dibatasi. Hingga muncul sebuah keputusan pada tanggal 20-22 Juni 1996, Fraksi PDI yang mendukung pemerintah mengadakan kongres untuk menggantikan Megawati.
Baca Juga : Cerita Gus Dur Siap Mengerahkan Seribu Jin
Hasilnya nama Soerjadi disiapkan untuk menjadi ketua umum. Faisal Tanjung menyediakan dana dan pengamanan untuk mendukung Soerjadi. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan, seorang pendukung Megawati asal Flores, Jacob Nua Wea, menjadi penyelamat Megawati. Jacob Nua Wea, yang kelak menjadi Menteri Tenaga Kerja saat Megawati menjadi presiden itu menghantam gedung pertemuan dengan beberapa kendaraan. Akibatnya muncul kekacauan. Ulah Jacob Nua Wea berhasil menggagalkan kongres. Soerjadi tidak pernah dipilih oleh kongres yang sah, sementara Megawati mendirikan partai tandingan PDI, yang kemudian dikenal sebagai PDI Perjuangan.
Dalam buku Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998 tulisan Yusuf Wanandi, lagi lagi digambarkan kekuatan politik Megawati menjadi besar karena campur tangan Benny. Menurut Yusuf, dimulai pada pemilu tahun 1987, Benny mengizinkan PDI mengadakan pawai politik besar-besaran dengan menggunakan poster dan foto Soekarno. Menggunakan koneksi pribadinya dengan PDI dan keluarga Soekarno. Benny bekerja sama dengan Agum Gumelar dan Hendropriyono. “Benny bercerita kepada Harry Tjan dan saya di kemudian hari bahwa hanya memberikan nasihat dan memantau kejadian," cerita Yusuf.
Yusuf Wanandi mengaku sangat tahu posisi Soerjadi pesaing Megawati dalam pemilihan ketua PDI. Sebab Soerjadi pernah bekerja di perusahaan Sofjan Wanandi adiknya. Itulah sebabnya, Sofjan Wanandi tokoh Golkar tersebut mendukung Soerjadi dan tidak percaya kepada Megawati, putri Soekarno yang pernah ia paksa turun dari jabatan presiden pada tahun 1965-1966.
Baca Juga : Alasan Gus Dur Senang Ziarah Kubur
Hubungan Sofjan dan Soerjadi sudah dimulai sejak tahun 1965 ketika ia memimpin gerakan mahasiswa PNI yang anti-PKI. Soerjadi asal Semarang dan menantu Hadisubeno, seorang tokoh dalam jajaran pimpinan PNI. Sebagai pemimpin mahasiswa, Soerjadi dekat dengan Sofjan yang ketika itu adalah aktivis KAMI. Itulah sebabnya, di kemudian hari Soerjadi menjadi pemimpin di salah satu perusahaan Sofjan.
“Bagi saya, Megawati menjadi pilihan yang lebih baik karena populer dan tokoh oposisi. Soerjadi hanya didukung militer. Kekhawatiran saya saat itu, ketika para jenderal melakukan gerakan untuk menyerang kantor PDI di Jalan Diponegoro,” kata Yusuf Wanandi.
Baca Juga : Dua Jendral Bertarung di Peristiwa Malari 1974
Ternyata kekawatiran itu menjadi kenyataan. Hari Sabtu 27 Juli 1996 terjadi insiden buruk. Dua kelompok berebut kantor PDI hingga banyak jatuh korban. Peristiwa ini dikenal istilah Kudeta 27 Juli (Kudatuli). Kelompok Soerjadi mengerahkan preman untuk melakukan penyerangan. Baru kemudian tentara datang untuk mengamankan situasi. “Saya merasa situasi tersebut berkembang lebih buruk karena menggunakan preman, tak terbayang apa lagi yang dapat mereka perbuat dan jumlah korbannya,” cerita Yusuf Wanandi. (pul)