abad.id- Jangan remehkan buruh migran Indonesia yang saat ini merantau di penjuru dunia. Mereka berangkat mencari penghidupan yang kebih baik bukan karena terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia, namun mereka berangkat merantau karena gila kerja. Semangat gila keja ini mereka buktikan saat di negara tujuan dalam bentuk loyalitas. Banyak buruh migran Indonesia telah menjadi warga kelas dunia setelah melewati generasi ke 3 di tanah rantau.
Bermula dari aturan "Koeli Ordonantie" pada tahun 1880 yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja di perkebunan Belanda di Sumatra. Prancis kemudian meminta buruh untuk pertambangan nikel dan perkebunan di NC, (Kaledonia Baru).
Maka gelombang pertama imigran Jawa di Kaledonia Baru terdiri dari 170 orang buruh kontrak, yang tiba di Noumea pada tahun 1896. Empat puluh dua tahun sebelumnya, Napoleon III telah mendirikan koloni hukuman milik Perancis di Kaledonia Baru. Sebagian besar narapidana yang dikirim ke sini adalah tahanan politik dari Komune Paris. Pada tahun 1894, Gubernur Kaledonia Baru Perancis, Paulus Feillet, menghapuskan imigrasi dan menggantikan tenaga pidana penjara dengan tenaga kerja imigran Asia, terutama dari Jepang, Jawa (Indonesia) dan Vietnam, yang datang untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan.
Awalnya dikirim untuk bekerja di bidang pertanian, pada tahun 1899 orang Jawa mulai bekerja di industri pertambangan, yang menawarkan upah yang lebih baik namun kondisi lebih sulit. Setelah masa kontrak mereka berakhir, beberapa dari mereka kembali ke Jawa. Tetapi banyak yang tetap di New Caledonia, sebuah pilihan yang memaksa hak mereka untuk repatriasi. Itu juga pilihan yang mengharuskan mereka mencari pekerjaan baru.
Gelombang kedua imigrasi dari Jawa terjadi pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II ketika ekonomi New Caledonian menghadapi kekurangan tenaga kerja kronis bersamaan dengan ledakan di produksi nikel dan kopi. Antara tahun 1933 dan 1939 lebih dari 7800 orang Jawa meninggalkan Jawa untuk Noumea. Banyak dari mereka telah menandatangani kontrak lima tahun dengan agen mereka.
Ketika tiba mereka menemukan pekerjaan di bidang pertanian dan pertambangan, serta tenaga kerja domestik. Relik kontemporer yang paling menarik dari gelombang pertama dan kedua di New Caledonia Indonesia adalah Tiebaghi, yaitu pemukiman pertambangan di wilayah pegunungan terpencil dekat Koumac di sebelah utara. Ini adalah tujuan bagi banyak buruh kontrak Indonesia (baik pendatang baru dan kelahiran setempat) antara tahun 1896 dan 1949. Di Tiebaghi, orang Jawa bekerja di tambang krom bawah tanah bersama Vietnam dan Jepang. Mungkin karena berperawakan kecil, maka dianggap ‘mudah’ bagi mereka untuk memasuki terowongan bawah tanah. Sekarang lokasi tambang dan peninggalan desa pertambangan ini sedang dipulihkan oleh Asosiasi untuk Perlindungan Pertambangan dan Warisan Caledonian Utara.
Gelombang ketiga emigrasi, terdiri dari sekitar 600 warga Indonesia yang datang ke New Kaledonia selama booming nikel antara 1967 dan 1972, untuk bekerja pada kontrak tahunan terbarukan, terutama dalam industri konstruksi. Di Kaledonia Baru, orang Jawa (Indonesia) meraih reputasi sebagai pekerja yang rajin.
Diperkirakan sekitar tahun 1969-1973, sebuah perusahaan Prancis Citra Pachaue RI merekrut 600 tenaga kerja Baru. Kontrak kerja selama satu tahun dipekerjakan cadangan di tambang nikel di pulau yang memiliki 30 persen. Dalam perkembangannya, pekerja Jawa juga diandalkan untuk membangun infrastruktur jalan, jembatan, dan perumahan di Kaledonia Baru. Sesuai sifat orang Jawa alet kini pun orang Jawa merambah beragam bidang pekerjaan.
Secara sosial, Jawa Kaledonia Baru masih religius menganut agama Islam, Katolik, Protestan dan memunyai perkumpulan kematian serta seiring semakin kokohnya keberadaan masyarakat jawa Kaledonia Baru. Pada peringatan 100 tahun migrasi Jawa ke Kaledonia Baru, seperti dicatat terbitan Le Quotidien Calédonien edisi integral dan mengisi beragam posisi masyarakat Kaledonia. Kosa-kata dan sebutan kekerabatan dalam bahasa Jawa pun sudah diserap dalam masyarakat Prancis-Kaledonia, semisal sebutan Kakang" alias Frères (dalam Prancis ditulis les Kakanes) dan "Mbakyu" alias Soeurs (dalam Prancis ditulis les Bayous).
Beranak Cucu, Hingga Jadi Pengusaha Kaya
Jawa Kaledonia Baru tidak selamanya hidup menjadi buruh. Sejumlah contoh semisal Daryana alias Sunaryo asal Slawi yang menjadi kuli kontrak tahun 1937 dan di tahun 1996 sudah memiliki 15 apartemen yang disewakan. Per unit apartemen disewakan 140.000 franc atau senilai Rp 2,8 juta yang berarti setiap bulan dia menerima 2,1 juta franc atau Rp 42 juta (ketika itu satu dollar AS= Rp 2.000). Itu berarti per bulan,mantan kuli kontrak itu yang beristrikan Tupiyah menerima 22.000 dollar AS. Hubungan dengan Indonesia pun tidak terputus. Dari tiga anak pasangan Daryana-Tupiyah, seorang di antaranya tinggal di Yogyakarta. Sedangkan seluruh keluarga besar lainnya bermukim di Kaledonia Baru dan Prancis.
Ada juga kisah Sutikno migran gelombang terakhir yang tiba tahun 1972 di Kaledonia Baru sebagai ahli mekanik Kimlu Sutikno menjadi pengusaha bengkel, pemilik izin penjualan dan show room Peugeot serta memiliki konsesi pompa bensin.
Lambat laun nasib mereka membaik karena kondisi ditingkatkan dari segala segi. Apalagi di tahun 1970-an kini Kaledonia Baru yang merupakan wilayah Prancis memiliki taraf hidup mendekati kemajuan Eropa Barat. Berbeda dengan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan yang terus mengalami pasang-surut guncangan politik sehingga peri kehidupan rakyat masih banyak tertinggal dan marjinal dibandingkan negeri jiran di kawasan.
Contoh lain Djintar Tambunan berumur 65 masih bekerja sebagai seorang insinyur di Noumea, merupakan anggota dari sebuah minoritas yang tidak biasa. Dia salah satu dari orang Indonesia yang sangat sedikit di Kaledonia Baru yang masih fasih berbahasa Indonesia. Istrinya Soetina yang orang Jawa tidak, demikian pula dengan ke dua anaknya yang sudah dewasa. Seperti kebanyakan teman-teman Indonesia mereka, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Perancis.
"Saya datang ke sini pada 1970, saat pertambangan sedang marak lewat kontrak yang sudah disahkan oleh Departemen Tenaga Kerja," kata Djintar kelahiran Balige, Sumatera Utara.
Menurut Tambunan, hanya beberapa dari mereka migran gelombang ketiga tetap di New Kaledonia, sebagian besar pindah kembali ke Indonesia dan beberapa telah meninggal dunia. Mereka yang tinggal di New Kaledonia bekerja dalam berbagai industri termasuk teknik, transportasi dan pembangunan infrastruktur.
Djintar Tambunan mengatakan setidaknya terdapat tiga kategori masyarakat Indonesia dan keturunannya yang tinggal di NC yaitu golongan niaouli, wong baleh dan wong jukuan. "Niaouli itu adalah keturunan pertama masyarakat Indonesia yang lahir di NC dengan orang tuanya berasal langsung dari Indonesia," kata Djintar.
"Dulu belum ada cuti, termasuk cuti melahirkan jadi begitu si ibu melahirkan anak, tiga hari kemudian, ia harus melaksanakan tugas sebagai orang kontrak, jadi anak tersebut dibalut dengan kain batik dan ditaruh di bawah pohon niaouli saat orang tuanya bekerja," kata Djintar menjelaskan asal usul kata niaouli.
Sementara wong baleh artinya adalah "orang-orang yang kembali (balik)". "Setelah kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1950-an, orang-orang kontrak menuntut pulang ke Indonesia tapi ternyata di sana mereka sulit untuk hidup sehingga kembali lagi ke New Caledonia," jelasnya.
Tercatat pada 1952 dan 1954-1955 terjadi kepulangan massal orang-orang Jawa dan hanya tinggal 2.000 orang yang menetap di NC. Padahal pada akhir 1939-1940 terdapat 20.000 orang keturunan Jawa.
Sedangkan "wong jukuan" artinya adalah bawaan keluarga atau mereka yang lahir di Indonesia namun dibawa ke NC oleh orang Indonesia yang tinggal di NC. Istri Djintar, Soetina masuk dalam golongan niaoli, ayahnya berasal dari Sragen dan ibunya berasal dari Slawi. Soetina sendiri masih menggunakan bahasa jawa ngoko di rumah dan bahasa Prancis --bahasa resmi di NC-- saat berada di luar rumah.
Warga Indonesia dan keturunannya memiliki beragam jenis pekerjaan mulai dari pekerja tambang nikel, pekerja swasta, ibu rumah tangga yang bekerja paruh waktu sebagai penata laksana rumah tangga (femme de menas) atau pengusaha restoran.
Beberapa keturunan Indonesia yang sudah menjadi WN Prancis ada yang menduduki jabatan penting seperti Roesmaeni Sanmohammad yang menjadi anggota parlemen dan aktif melestarikan seni tari Jawa kreasi baru serta pernah belajar tari Jawa di Padepokan Bagong Kusudihardjo, Yogyakarta.
Terdapat juga Corine Voisin yang sekarang menjabat sebagai Walikota La Foa, salah satu wilayah di Provinsi Selatan dan Mohamed Raden Kasim (alm) yang namanya diabadikan sebagai nama taman di daerah Sixeme Km, Noumea karena pada masanya menjadi satu-satunya orang yang pandai memainkan alat musik gitar Hawai.
Tidak ketinggalan Emmanuelle Darman yang pernah menjadi Miss New Caledonia pada 2005 dan setidaknya 25 warga keturunan Indonesia yang ikut serta dalam tim NC dalam Pacific Games periode 1963-2007.
Budaya masyarakat Indonesia, khususnya budaya Jawa juga masih terpelihara dengan baik. "Masih ada sunatan, pernikahan atau upacara kematian yang tetap dilakukan hingga saat ini, termasuk yang dilakukan di Wisma Indonesia ini untuk memperkenalkan dan meneruskan kebudayaan Indonesia," kata kata Djintar Tambunan. (pul)